Menko Polhukam Pastikan Tidak Ada Kerusuhan di Bandara Palu
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyampaikan bahwa kerumunan massa yang berada di bandara Mutiara Sis Al Jufri, Palu, Sulawesi Tengah bukanlah kerusuhan.
"Ada penumpukan masyarakat yang cukup besar, sekitar 3,000 yang disampaikan kepada saya. Sejak kemarin pada saat saya di sana (Bandara Sis Al Jufri), saya melihat masyarakat berkumpul di sana. Terutama para pendatang, mereka ingin kembali, ingin segera keluar dari Palu," ungkap Wiranto kapada awak media di Media Center Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (01/10/2018).
Menko Polhukam memaparkan bahwa kejadian tersebut berawal dari tidak adanya penerbangan komersil, sehingga masyarakat beramai-ramai ke bandara meminta untuk naik pesawat Hercules milik TNI AU yang membawa perlengkapan, membawa tenda, dan membawa bahan makanan yang datang dari daerah lain.
"Saat kembali, mereka ingin ikut ke Makassar, jumlahnya besar antara yang ingin ikut dengan jumlah pesawat sangat tidak seimbang. Walaupun kita sudah mempersilahkan tapi teratur, makin lama makin banyak, dari mulut ke mulut ada informasi mengenai penerbangan gratis dari angakatan udara. Nah banyaklah datang ke bandara, kelihatannya memang jadi rusuh tapi bukan, sudah dapat dijelaskan, sabar." Jelasnya.
Guna mengatasi semakin ramainya masyarakat yang datang ke bandara, Menko Polhukam juga sudah menyiapkan kapal KRI Makassar yang mengangkut pasukan untuk digunakan sebagai sarana transportasi dari Palu ke Makassar.
"KRI Makassar yang mendarat di sana membawa pasukan, itu dapat membawa 1.000 orang sekali angkut. Agak reda tadi, ada beberapa yang mau diarahkan untuk naik kapal. Tinggal nanti, saya sudah komunikasi dengan BNPB, tolong diatur angkutan dari bandara ke pelabuhan laut. Tentu nanti semua diatur Satgas di sana," terangnya.
Tindakan Warga bukan Penjarahan
Menko Polhukam Wiranto tidak sependapat apabila tindakan warga Palu dan sekitarnya yang terkena musibah disebut sebagai penjarahan, tetapi pengambilan barang karena terjadi di situasi darurat.
"Saya sendiri baru lihat tadi malam, saya tiga hari di sana. Saya lihat langsung bahwa ada perbedaan antara penjarahan dan pengambilan barang dari toko terutama makanan dan minuman," ujarnya
Wiranto mengatakan, kondisi terjadi karena warga merasa tertekan dan panik pasca terjadinya bencana gempa serta tsunami, serta suplai makanan dan minuman sangat terbatas. Pemerintah bersepakat untuk membuka minimarket di lokasi terdekat dari pengungsian warga dan membaginya kepada masyarakat terdampak. Nantinya, semua barang-barang yang diperuntukkan kepada warga akan diganti oleh pemerintah.
"Karena keterbatasan suplai makanan dan minuman, tentu mereka akan mengambil barang-barang dari toko makanan dan minuman itu. Tapi kemarin kita rapat, kemudian kita bijaksanakan ada Mendagri, ada saya, Gubernur, Kapolda, Pangdam, Panglima TNI, kita bicarakan lebih baik daripada penjarahan liar, lebih baik kita buka minimarket itu ambil barangnya nanti diganti oleh uang," tuturnya.
Untuk itu, Wiranto berharap semua pihak tidak lagi memakai istilah penjarahan yang lebih berkonotasi negatif tersebut.
"Kemudian sebenarnya istilah penjarahan itu kurang tepat karena memang akan dibayar. Ini akan kita atur, termasuk bahan bakar. Saya jelaskan bahwa sebenarnya istilah penjarahan perlu dikoreksi. Kemungkinan ada, tapi sementara ini kebijakan kita begitu," paparnya.
Napi Diberikan Waktu 1 Minggu untuk Kembali
Menko Polhukam Wiranto membenarkan informasi yang beredar mengenai kaburnya Nara Pidana (Napi) dari beberapa lapas yang berada di wilayah Palu dan sekitarnya. Ia menyebutkan napi yang kabur di antaranya di Lapas kelas 2 A di Palu. Jumlah penghuni lapas sebanyak 690 yang melarikan diri 588.
"Sisa yang nggak kabur 102. Kenapa kabur? Karena bangunan roboh. 20 hunian roboh. Dengan gunjangan tiap malam. Kalau di situ nggak akan tahan, mungkin juga penyediaan makanan, itu yang buat mereka kabur," kata dia.
Kemudian tahanan yang ada di Rutan di Palu sebanyak 479 orang, dan yang melarikan diri 426 orang, dan sisa 53 orang. Wiranto menjelaskan mereka melarikan diri karena pagar dan blok retak. Selanjutnya Rutan di Donggala jumlah penghuni sebanyak 343 orang. Namun semua penghuninya lari, tidak ada tahanan yang tersisa.
"Sehingga jumlah total tahanan itu 1.512 orang, yang lari 1.357, tersisa 155 orang," kata dia.
Dari jumlah tahanan, tercatat ada lima tahanan terorisme. Tetapi kelimanya sudah dipindahkan sebelum gempa melumpuhkan sejumlah daerah di Sulteng."Dua hari sebelumnya sudah pindah ke Nusakambangan 26 September. Gempa 28 September. Kalau nggak, ya ikut kabur," kata dia.
Wiranto menegaskan, narapidana yang kabur sudah diminta untuk kembali ke sel dalam waktu satu minggu. Selain itu, mereka juga harus menjamin ketersediaan makanan dan air bersih.
"Diultimatum sama kalapas untuk dikasih waktu 1 minggu supaya balik ke tempat tahanan masing-masing. Diimbau. Tentu kita harus siapkan ada makanan air. Ini pekerjaan kita," jelasnya.
(Humas KemenkoPolhukam)