Membaca Pesan Tersirat Pidato AHY dan SBY untuk Presiden Jokowi
Font: Ukuran: - +
(Foto:Republika/Sapto Andiko Condro)
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Munculnya kubu DPP Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) Sibolangit Sumatra Utara memanaskan suhu politik nasional. Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres KH Ma'ruf Amin bisa terseret bilamana pengurus DPP Partai Demokrat versi KLB mendaftarkan kepengurusannya ke Kementerian Hukum dan HAM, di bawah Menkumham Yasonna Laoly. Kepengurusan mana yang akan dianggap legal oleh pemerintah?
Serperti dilansir Republika pada Jumat (5/3), Direktur Tata Negara Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kememkumham, Baroto, enggan berbicara banyak. Ia ditanya soal posisi pemerintah tentang legalitas KLB Partai Demokrat dan DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Baroto hanya menjawab, "Sampai saat ini belum ada informasi resmi ke kememkumham terkait hal tersebut." Ia juga tidak menjelaskan apa yang ia maksud dengan 'informasi' itu dan tidak merespons balik saat dihubungi kembali.
Secara administrasi hukum, surat keputusan Kemenkumham menyatakan DPP Partai Demokrat di bawah ketum Agus Yudhoyono (AHY) sah berlaku sejak 19 Mei 2020. Ini menyusul kongres Partai Demokrat yang dilaksanakan pada Maret sebelumnya. Oleh karena itu, baik AHY maupun Susilo Bambang Yudhoyono, selaku ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, di dalam naskah pidatonya yang mereka bacakan Jumat, juga mengingatkan dan menyinggung peran pemerintah, atau lebih khusus lagi Kemenkumham.
Baca juga : Hasil Investigasi WHO Terkait Asal Mula Corona, Diumumkan 15 Maret
Misalnya, AHY di dalam pidatonya menyebut Kementerian Hukum dan HAM sebanyak tiga kali. Ia menegaskan dan mengingatkan kongres Partai Demokrat tahun lalu disahkan oleh negara, pemerintah dan Kementerian Hukum dan HAM. "Saya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), adalah Ketua Umum Partai Demokrat yang sah dan legitimate. Konstitusi kami, AD/ART, juga tidak ada yang berubah, berdasarkan Kongres V, 15 Maret 2020, yang telah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM."
Di bagian lain, AHY juga menyebut dan meminta kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo, terutama terkait legalitas partainya dan tindak lanjut pemerintah. Ada empat kali AHY menyebut kata 'pemerintah'.
Di halaman empat naskah pidatonya, misalnya, AHY mengingatkan kepada pemerintah melalui surat resmi yang ia kirimkan kepada sejumlah pejabat negara seperti Menkopolhukam, Menkumham dan Kapolri yang memiliki kewenangan menjaga stabilitas politik, keamanan, dan stabilitas sosial.
Baca juga : Kuburan Demonstran Cantik, Dibongkar Junta Myanmar
Kemudian di bagian selanjutnya AHY mengatakan, "Saya meminta negara dan aparat pemerintah untuk tidak melakukan pembiaran, atas kegiatan ilegal yang dilakukan KSP Moeldoko untuk memecah belah Partai Demokrat."
AHY juga menyebut satu kali Presiden Joko Widodo di dalam pidatonya. Terkait dengan aspek legalitas partainya. AHY bahkan meminta kepada Presiden Jokowi sebagai berikut, "Saya meminta dengan hormat kepada Bapak Presiden Joko Widodo, khususnya Menteri Hukum dan HAM, untuk tidak memberikan pengesahan dan legitimasi kepada KLB ilegal yang jelas jelas melawan hukum tadi."
Pidato SBY selaku ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat juga menyebut soal pemerintah, kemenkumham, dan Presiden Jokowi. Berbeda dengan penyebutan AHY yang formal, yakni Presiden Joko Widodo, maka di dalam naskah pidato SBY disebut 'Presiden Jokowi'.
Peyebutan kata 'Presiden Jokowi' ada dua kali. Pertama, SBY menyebut Presiden Jokowi dalam konteks saat AHY mengirimkan surat ke Jokowi tentang pelibatan Kepala KSP Moeldoko dalam gerakan penggulingan kepemimpinan partai yang sah.
Baca juga : Keberadaan Pangkalan Udara Yaman di Saudi Arabia Jadi Target Drone
Yang kedua, SBY menyebut ia percaya kepada Presiden Jokowi, sebagai berikut, "Saya percaya bahwa Bapak Presiden Jokowi, memiliki integritas dan kearifan, dalam menyikapi gerakan pendongkelan dan perebutan kepemimpinan Partai Demokrat ini."
Selanjutnya SBY menyinggung pemerintah dan negara. Ia meminta negara dan pemerintah bisa berlaku adil serta sepenuhnya menegakkan pranata hukum yang berlaku dalam situasi Partai Demokrat [Republika].