Beranda / Berita / Nasional / Aceh Bukti Tidak Ada Cawe-cawe Menangkan Prabowo-Gibran

Aceh Bukti Tidak Ada Cawe-cawe Menangkan Prabowo-Gibran

Jum`at, 05 April 2024 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Foto: Pemprov Aceh

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Khalilul Khairi menilai, kecil kemungkinan kepala daerah menyalahgunakan jabatannya atau cawe-cawe untuk mendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu. 

Pasalnya, kinerja kepala daerah diawasi oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Hal ini disampaikannya saat dihadirkan sebagai ahli kubu paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dalam sidang lanjutan sengketa Pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Kamis (4/4/2024). 

"Secara teknis, penjabat telah dilakukan pengendalian sistemik, pengendalian yang tidak mengenakan pada personal, tapi oleh sistem di mana dengan sistem itu penyimpangan yang dilakukan akan mudah terkuak, mudah diketahui, dan mudah dijatuhkan sanksi,” kata Khalilul dalam sidang, Kamis siang.

“Dan pada akhirnya, kalau itu dilakukan, maka dia akan mendapatkan reputasi buruk dalam kariernya sebagai ASN,” lanjutnya.

Ia mencontohkan Provinsi Aceh untuk membuktikan argumentasinya. Di provinsi tersebut, sebanyak 23 dari 24 dari 23 kursi atau 95 persen diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah. Jika Pj kepala daerah digunakan untuk mendulang suara pasangan calon tertentu, seharusnya dukungan untuk paslon tersebut menang telak di wilayah itu.

Namun, di Aceh, Prabowo-Gibran hanya memperoleh 787.024 suara atau 24,43 persen. Kubu paslon 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar justru yang mendulang perolehan suara terbanyak, 2.369.534 suara atau 73,56 persen. 

"Kalau dipakai untuk memobilisasi, atau kalau kita menggunakan preposisi makin banyak Pj Kepala Daerah, maka makin efektif penambahan suara dari pihak pemerintah, logikanya Aceh (mampu mendulang) perolehan suara tertinggi karena dia adalah Pj tertinggi provinsi se-Indonesia," tutur Khalilul. 

"Nyatanya (suara) 02 hanya 24 persen," sambungnya.

Khalilul lalu mencontohkan provinsi Bengkulu. Paslon Prabowo-Gibran mendapat suara tertinggi meski kepala daerah di wilayah tersebut lebih sedikit. 

"Bengkulu paling sedikit penjabatnya, 2 orang dari 11, 1 orang dari 11. Nyatanya calon dukungan pemerintah mendapat suara 70 persen. Maka, kalau kita menggunakan keyakinan itu, empiriknya tidak terlihat," jelas dia. 

Mendengar pernyataan ahli, anggota Tim Hukum pasangan capres-cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Bambang Widjojanto, lantas menyinggung pencopotan Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Achmad Marzuki pada pertengahan Maret lalu. 

Menurut kabar yang beredar, kata Bambang, Achmad Marzuki diganti karena gagal memenangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, di provinsi Aceh.

Bambang mengaitkan pencopotan PJ Gubernur Aceh ini dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang sempat menyebut bakal cawe-cawe dalam pelaksanaan Pemilu 2024.

Ia juga menyinggung kunjungan Jokowi ke puluhan daerah Indonesia yang disinyalir sebagai kampanye terselubung Presiden untuk Prabowo-Gibran. 

Kampanye terselubung itu, menurut Bambang, sebagian besar terjadi di wilayah yang terdapat Pj kepala daerah. Di wilayah tersebut, Kepala Negara disebut mengerahkan aparat daerah untuk menggalang dukungan. Selain itu, di wilayah-wilayah ini pula, digelontorkan bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat.

 “Kalau tadi diberikan contoh Aceh, Aceh sekarang penjabatnya dilengserkan. Informasi yang beredar, dia dilengserkan karena tidak mampu memenangkan Aceh,” kata Bambang dalam sidang yang sama. (Kompas.com)

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda