Gerindra Kritik SKB Cegah Radikalisme: Jadi Ingat Orde Baru
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Partai Gerindra mengkritik penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh 10 menteri perihal pencegahan radikalisme di kalangan aparatur sipil negara (ASN). Gerindra mengkhawatirkan SKB itu menjadi kemunduran demokrasi.
"Saya jadi teringat pegawai negeri zaman Orde Baru. Nanti jangan-jangan, nanti pemilu pun dilaksanakan di kantornya. Ini sesuatu yang harus kita waspadai, sebuah kemunduran dari rezim ini menuju ke rezim yang selama ini dengan katanya kita gulingkan," ujar Ketua DPP Gerindra Sodik Mudjahid di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (25/11/2019).
Sodik mengimbau semua pihak untuk bereaksi. Menurutnya, reaksi publik diperlukan supaya SKB tersebut tidak menjadi pengekang kebebasan ASN dalam berpendapat.
"Nah karena itulah, teman-teman media, kami di DPR, dan semua elemen pendukung demokrasi, pendukung kebebasan berpendapat harus bereaksi untuk mengawal agar jangan SKB menteri itu menjadi pembatas segala-galanya, pembatas berpendapat, pembatas menentukan sikap," jelasnya.
Sodik menilai pencegahan radikalisme tidak perlu sampai membuat SKB seperti yang belum lama ini ditandatangani. Anggota Komisi II DPR itu menyebut pencegahan radikalisme, salah satunya dengan penguatan intelijen.
"Saya kira harusnya tak usah dengan kelembagaan formal ini, cukup dengan penguatan intelijen, cukup dengan penguatan aparat keamanan," jelasnya.
"Tapi intelijennya jangan seperti sekarang. Yang sekarang sekarang, ketika terjadi penusukan belum pencegahan, tidak pencegahan," imbuh Sodik.
Diberitakan sebelumnya, SKB 10 menteri dan 1 lembaga itu ditandatangani pada 12 November 2019. Para pihak yang menandatangani SKB itu yaitu Kemendagri, Kemenag, Kemenkominfo, Kemenkum HAM, KemenPAN-RB, Kemendikbud, BIN, BNPT, BPIP, BKN, dan KASN.
"Soal radikalisme ASN, kami sudah punya SKB. Masyarakat kini bisa mengadukannya melalui saluran aduanasn.id," kata Sekjen Kementerian Agama (Kemenag) M Nur Kholis Setiawan dalam keterangannya, Sabtu (16/11).
Ada sejumlah kriteria pelanggaran ASN terkait radikalisme yang bisa diadukan masyarakat melalui website tersebut. Masing-masing:
1. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
2. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antar-golongan.
3. Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1 dan 2 melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost Instagram, dan sejenisnya).
4. Membuat pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
5. Menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial.
6. Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
7. Mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
8. Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislikes, love, retweet, atau comment di media sosial.
9. Menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
10. Melakukan pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial.
11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada poin 1 sampai 10 dilakukan secara sadar oleh ASN.
(im/detik)