Minggu, 07 Desember 2025
Beranda / Berita / Nasional / Banjir Bandang Sumatera-Aceh: Pakar Lingkungan Ingatkan Bahaya Ekstraktivisme dan Deforestasi

Banjir Bandang Sumatera-Aceh: Pakar Lingkungan Ingatkan Bahaya Ekstraktivisme dan Deforestasi

Minggu, 07 Desember 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Yanuardi, Ph.D., Ketua Pengurus IDEA dan peneliti bidang Environmental Governance di Utrecht University, Belanda. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Yogyakarta - Peristiwa banjir bandang yang melanda beberapa daerah di Sumatera, termasuk Aceh, kembali menjadi sorotan para pakar lingkungan. Diskusi publik yang digelar akhir-akhir ini menegaskan bahwa bencana tersebut bukan sekadar peristiwa alam semata, melainkan konsekuensi dari praktik deforestasi dan eksploitasi sumber daya alam yang berlangsung selama bertahun-tahun.

Yanuardi, Ph.D., Ketua Pengurus IDEA dan peneliti bidang Environmental Governance di Utrecht University, Belanda, menekankan bahwa krisis yang terjadi bersifat multidimensi dan saling terkait. Menurutnya, rangkaian kebijakan ekonomi dan tata kelola yang mendorong ekstraktivisme telah memperparah kerentanan ekosistem sehingga ketika hujan ekstrem terjadi, dampaknya berubah menjadi bencana besar.

“Kita hidup dalam polikrisis. Krisis iklim, sosial, ekonomi, dan politik yang saling terhubung. Di era Antroposen ini, manusialah yang menjadi aktor utama perubahan planet, termasuk aktor kerusakan ekologis,” ujar Yanuardi dalam sesi diskusi tersebut.

Dalam penjelasannya, Yanuardi mengingatkan bahwa pendekatan penanggulangan bencana yang hanya reaktif fokus pada evakuasi dan bantuan darurat tidak cukup. Diperlukan kebijakan preventif yang mengutamakan restorasi ekosistem, pengendalian praktik penebangan dan alihfungsi lahan, serta reformasi tata kelola yang menempatkan aspek ekologis sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan investasi dan pembangunan.

Dia juga menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas komunitas lokal dan keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan dan wilayah aliran sungai. 

“Upaya pemulihan harus melibatkan pemerintahan lokal, masyarakat, dan aktor non-pemerintah. Tanpa perubahan mendasar pada pola ekonomi yang mengedepankan ekstraksi, kita akan terus menghadapi bencana serupa,” tambahnya.

Para peserta diskusi mengusulkan beberapa langkah konkret: penegakan hukum terhadap praktik ilegal yang merusak hutan, insentif bagi pengelolaan lahan berkelanjutan, pemetaan risiko berbasis ekosistem, serta investasi publik untuk restorasi lahan kritis. Mereka menilai bahwa sinergi antar-kebijakan di tingkat nasional dan daerah sangat krusial agar kebijakan pembangunan tidak lagi mengorbankan fungsi ekologis.

Akhirnya, Yanuardi menegaskan bahwa menghadapi polikrisis memerlukan perubahan paradigma dari pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan jangka pendek menjadi pembangunan yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologis. Tanpa itu, upaya mitigasi dan adaptasi akan selalu tertinggal dari laju kerusakan lingkungan yang terus berlangsung.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI