3 Desa Fiktif Sedot Dana Desa, Ini Penyebabnya
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Indonesia dikejutkan dengan kabar keberadaan 'desa siluman' yang menyedot Dana Desa dari pemerintah.
Belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan terdapat tiga desa tak berpenghuni di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara yang berdampak pada penggunaan dana desa tidak tepat sasaran.
Tiga desa yang diduga fiktif itu adalah Desa Ulu Meraka Kecamatan Lambuya, Desa Uepai Kecamatan Uepai, dan Desa Morehe Kecamatan Uepai.
Sri Mulyani mengklaim desa itu sengaja diciptakan untuk menyelewengkan dana desa yang sudah beberapa tahun ini disalurkan pemerintah. Kabar itu diketahui setelah mendengar laporan dari Kemendagri belum lama ini.
Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Anwar Sanusi menuturkan pihaknya akan segera melakukan koordinasi dengan Kemenkeu dan Kemendagri terkait penemuan fakta desa 'siluman' itu.
Sebab, bisa jadi sebenarnya desa itu bukannya tak berpenghuni sama sekali, melainkan jumlah penduduknya yang amat sedikit.
"Karena kan memang secara administratif ada ketentuan jumlah penduduk untuk sebuah desa. Nah, bisa saja jumlah penduduknya tidak memenuhi. Jadi, perlu dilihat tidak ada sama sekali atau seperti apa," ungkap Anwar kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/6/2019).
Sejauh ini, ia belum bisa berspekulasi mengenai keberadaan sejumlah desa yang tak berpenghuni tersebut.
Anwar mengaku tidak bisa asal menyebut berapa jumlah desa yang kemungkinan jumlah penduduknya sepi atau tak berpenghuni.
"Harus cek dulu lintas kementerian dulu untuk data desa," terang dia.
Total desa saat ini sebanyak 74.954 wilayah. Masing-masing desa mendapatkan dana yang bervariasi dari pemerintah setiap tahunnya.
"Formula perhitungannya dilihat dari kondisi desa, misalnya kemiskinan. Jadi ada desa minimal Rp800 juta, tapi juga ada yang dapat Rp2 miliar, kalau memang lebih miskin," kata Anwar.
Terkait pengawasannya, ia mengatakan tidak dilakukan oleh Kemendes PDTT semata. Kemendagri dan Kemenkeu juga ikut memantau penggunaan dana desa yang dikucurkan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kejaksaan Agung (Kejagung), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga ikut mengawasi aliran dana desa. Anwar menyebut akan melakukan evaluasi dengan berbagai lembaga itu terkait kejadian ini.
Basis Data LemahEkonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengaku tak terkejut dengan penemuan desa fiktif. Masalahnya, basis data yang dimiliki pemerintah juga masih terbatas, khususnya di daerah.
Dengan demikian, ketidakcocokkan data antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat rentan terjadi. Pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat pun dinilai tidak ketat.
"Ini permasalahan tata kelola. Ini pekerjaan rumah pemerintah bagaimana pengawasan diperketat, basis data dibuat lebih serius," tutur Fithra.
Di sisi lain, dana desa yang jumlahnya tak sedikit juga dinilai begitu menggiurkan bagi sejumlah pihak. Jangankan desa fiktif, dana desa juga tak menutup kemungkinan dimainkan oleh pejabat desa setempat.
"Ini kan dana triliunan, puluhan triliunan sangat menggiurkan. Dana desa diatur aparatur desa yang secara kapasitas timpang antara pemerintah daerah dan pusat, maka bisa saja penyelewengan terjadi," imbuhnya.
Andai saja basis data yang dimiliki pemerintah sudah 'apik', pastinya tak ada kucuran dana ke desa fiktif. Sebab, verifikasi yang dilakukan juga bisa dilakukan dengan benar.
"Kalau sistemnya benar, harusnya ada verifikasi. Jadi, mungkin ada masalah di basis data," ujar Fithra.
Diketahui, pemerintah menyediakan dana besar untuk dikucurkan ke desa. Tahun ini saja, pemerintah mengalokasikan dana desa sebesar Rp70 triliun untuk 74.954 desa.
Mengutip Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, dana desa tahun depan naik Rp2 triliun. Walhasil, pemerintah akan menggelontorkan Rp72 triliun untuk desa pada 2020.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus berpendapat mengalirnya dana desa ke tempat fiktif lantaran kurangnya pengawas di masing-masing desa.Ia mensinyalir pemerintah kekurangan sumber daya manusia (SDM) agar program dana desa berjalan efektif.
"Pendamping relatif sedikit, beberapa desa bisa saja hanya dipegang oleh satu pengawas," kata Ahmad.
Belum lagi jika terjadi hal-hal berbau politis di lapangan. Makanya, Ahmad menganggap pemerintah perlu menambah pendamping di masing-masing daerah.
Kendati begitu, penambahan pengawas bukan satu-satunya jalan. Pemerintah juga harus membenahi sistem pembagian dana desa.
"Sistem integrasi dari daerah ke pusat harus benar, sistem ini bisa kembangkan jaringan lalu dibuat platform. Jadi semua data ada di situ," ucap Ahmad.
Selama sistem tidak diperbaiki, maka celah untuk menyelewengkan dana desa akan selalu ada. Sekali pun jika pemerintah nantinya berhasil menindak pelaku dari pembuat desa 'siluman' ini, kalau tata kelola tak dibenahi, dana desa berpotensi terus bermasalah.
"Masih ada celah, masih bisa diakalin. Harus bangun sistem yang benar," pungkasnya. (me/cnnindonesia)