Beranda / Kolom / Tik- Tok USK

Tik- Tok USK

Selasa, 12 Januari 2021 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Dr Ir Samsul Rizal MEng, mengumumkan perubahan (akronim) Unsyiah menjadi USK, diberlakukan sejak 1 Januari 2020.

Kebijakan itu memunculkan tik-tok- semacam musik pendek Unsyiah-USK, bisa positif dan negative pada berbagai wa, baik wag akademisi maupun publik. Sebagai sebuah instruksi, Rektor memang tidak perlu menjelaskan alasan yang substansial mengapa dirubah.

Rektor hanya mengatakan, karena seiring dengan perubahan statuta Nomor 99 Tahun 2016. Dari Perguruan Tinggi Negeri-Badan Layanan Umum (PTN-BLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTN-BH). Seakan sebuah perubahan yang otomatis.

Berikutnya Rektor mengatakan pertimbangannya. Pertama, kalau USK (sebuah sebuah singkatan) semua unsur kata pada nama Universitas Syiah Kuala terwakili. Rektor memberi contoh pada perubahan Unibraw menjadi UB, Unlam menjadi ULM. Logika tik-tok yang siapa pun dapat menggunakannya.

Jadi perubahan sebutan hanyalah persoalan akronim dan singkatan semata. Jka merujuk pada KBBI, memang memiliki karakternya sendiri. Jika akronim ada unsur gabungan huruf atau kata berikut lafal, maka singkatannya hanya gabungan huruf.

Sebetulnya, setiap perubahan ada konteks historis dan sosiologisnya, bukanlah sekedar apa artinya sebuah nama, bahkan sebutan sekali pun. Seseorang yang biasa dipanggil Agam, tiba-tiba diganti dengan sebutan Ucok, tentu punya perubahan makna yang substansial.

Hal itu bukan persoalan tubuh, dan karakter saja, melainkan ada perubahan konstruksi budaya,di mana seseorang dilahirkan dan tumbuh sebagai sosok yang memiliki konstruksi budaya dan sejarah tertentu.

Mengapa diubah Unsyiah menjadi akronim, bukanlah sekedar seperti tik-tok. Hal ini lebih jelas kita temukan dalam catatan pengalaman akademisi itu sendiri.

Pertama, sebagaimana pengakuan Dr Sulastri MSi (P3KKN) ketika mengirim mahasiswa Unsyiah untuk KKN Internasional di Malaka, Malaysia (Serambinews.com). Saat saya berada di ruang tunggu bandara, mahasiswa menelepon dan mengabarkan bahwa mereka ditolak oleh pihak dinas pendidikan setempat. Intinya mahasiswa kita tidak diizinkan melakukan kegiatan KKN karena dianggap membawa ajaran Syiah ke Malaka.

Kedua, pengalaman Dr Ir Mirza Irwansyah MBA, MLA, yang mengisahkan (Serambinews.com). Ditanyai macam-macam, apa benar universitas ini beraliran Syiah. Saya katakan tidak.

Saya beri penjelasan bahwa nama itu berasal dari ulama terkemuka Aceh abad 17, Abdurrauf As-Singkily atau Syiah Kuala, tapi mereka tak percaya dan akhirnya rencana kerja sama batal.

Apakah perubahan dari Unsyiah (akronim) menjadi USK (singkatan) sudah menjawab persoalan itu? Agaknya, terlalu naif para akademisi di Universitas Syiah Kuala bila mengatakan singkatan itu ajalah jawabannya.

Setiap nama, akronim maupun singkatan memiliki konteks historis dan sosiologisnya. Namun sayangnya mneyangkut masalah ini, para dosen terutama para petinggi Unsyiah, tidak pernah berupaya menyusun sejarah Universitas sehingga mereka menjadi ahistoris.

 Mereka tak mengenal sejarah keagamaan di Aceh, misalnya sejauhmana pengaruh Syiah di Aceh? Siapakah Syiah Kuala? Mengapa akademi ini, oleh para pendirinya, ditabalkan dengan nama Syiah Kuala? Mengapa akronimnya adalah Unsyiah? 

Para civitas akademika mengalami disorientasi dalam pengembangan akademi. Hal ini dapat diperiksa dengan pertanyaan, apakah dalam perumusan visi misi akademi berakar pada pemikiran Syiah Kuala?

Apakah para perumus generasi akademisi sekarang mempertimbangkan aspek historis berdirinya akademi? Mengapa akademi ini berada di Kopelma Darussalam? Apa itu Kopelma Darussalam? Atau, mereka merumuskan visi misi akademi semata-mata atas pertimbangan akademi yang dikorporasikan dengan nalar tik-tok?

Begitulah, bilamana para petinggi akademi saja tidak menguasai latar historis dan sosiologis perguruan tinggi ini, tentu demikian pula dengan para akademisi dan stafnya. Apalagi dengan para alumni dan mahasiswanya. Lalu, siapakah yang harus bertanggungjawab perihal ini?

Ini bukan persoalan apakah arti sebuah nama, sebagaimana yang dikatakan oleh Shakespeare; melainkan nama yang tak memberikan arti pada sebuah akademi di Kopelma Darussalam! Alangkah naifnya para akademisi, bila dengan penuh percaya diri, bahwa hal itu bisa diselesaikan dengan bernalar tik-tok, yakni dengan merubah akronim menjadi sebuah singkatan.*

• Penulis adalah sarjana Geografi dan Sosiologi, yang tinggal di Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda