Korupsi: Simbiosis Antara Yang Di Luar dan Di Dalam Birokrasi
Font: Ukuran: - +
Otto Syamsuddin Ishak
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Korupsi di Indonesia, rupanya sudah lebih tua dari usia Republik. VOC bangkrut karena korupsi. Kompeni bisa dikalahkan oleh para pejuang karena dalam kondisi bangkrut. Lalu, lahir Republik. Kemudian korupsi berkelanjutan sejalan dengan lahirnya orde-orde rezim politik, atau rezim-rezim politik tergantikan ketika rezim telah keropos oleh korupsi.
Kalau korupsi lebih tua dari Republik, maka sindikasi tenaga administrasi Republik untuk berkorupsi tentunya juga sudah tua. Hal ini dengan mudah dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari di dalam bernegara. Artinya, setiap berurusan dengan apparat negara, baik sipil maupun keamanan, maka perilaku korupsi terjadi, minimal dalam hal sogok-menyogok, atau tindakan transaksional.
Uniknya lagi, Republik terus membangun payung hukum untuk institusi yang memberantas korupsi. Bahkan jumlah lembaga dan kewenangannya terus ditingkatkan sehingga semakin rumit, dan menimbulkan rivalitas di antara lembaga itu sendiri. Boleh dikata, sementara korupsi terus berlangsung, dan lembaga anti korupsi mengalami involusi sehingga terbentuk kong-kali-kong di antara lembaga itu sendiri.
Di Era Reformasi, Rezim membuat undang-undang anti korupsi: UU 31 tahun 1999, dan UU 20 tahun 2001. Institusi-institusi berdiri dan tupoksi didistribusikan: ada Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), 4. Kepolisian dan, 5. Kejaksaan. Belum terhitung jumlah unit-unit ad hoc seperti Tim Saber.
Dalam perspektif sosiologis, korupsi tidak berlangsung di ruang yang vakum, tapi justru terjadi di ruang yang padat sturktur dan kultur. Ada banyak instrument hukum, padat institusi anti-korupsi, bahkan sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Artinya, korupsi lahir dan membiak dalam sebuah konteks yang sarat. Bahkan dalam konteks maraknya demokrasi itu sendiri, yang ditunjukkan oleh maraknya politik transaksi.
Baiklah, kita ambil saja sebuah episode politik, misalnya, saat kelahiran Republik adalah dalam konteks kecamuk perang, penggarongan, administrator kolonial masuk ke dalam rumah baru, Republik. Korupsi pun marak.
Konteks kelahiran Republik (1945) memiliki kemiripan dengan konteks kelahiran kembali Aceh (2005) sebagai daerah otonomi khusus, yang banyak limpahan uang, baik uang otsus maupun uang rehab-rekon. Rezim baru politik muncul berkat system demokrasi diberlakukan, lalu, mereka bekerjasama dengan administrator lama (warisan). Nilai syariat dilembagakan, tapi korupsi pun merebak.
Singkatnya, konteks kelahiran Aceh Otsus mirip kelahiran Republik, dan sama-sama melanjutkan gen koruptif. Sebagaimana diketahui bahwa kata korupsi dalam Bahasa Indonesia, menurut Andi Hamzah (2005), merupakan kelanjutan dari Bahasa Belanda yaitu corruptie, korruptie. Lalu, korupsi tidak dikenal dalam Bahasa Aceh, melainkan masuk dari Bahasa Indonesia, yang bermakna sebuah tindakan yang negatif.
Tindakan korupsi bukanlah hal baru di Aceh, namun korupsi justru marak dalam konteks pasca konflik, pasca bencana gempa tsunami dan di dalam struktur pemerintahan ala Otsus. Orang pada lupa dengan jargon "uang mayat". Orang pada mengabaikan bahwa negeri ini sedang mulai merekonstruksi negeri di atas landasan syariah, baik bagi bangunan politik, ekonomi, maupun budaya Aceh. Dalam kata lain, struktur yang baru sesuai dengan otsus, untuk kultur sesuai dengan syariah.
Namun, hal yang terjadi justru kian tajam gap antara tindakan dengan sistem nilai yang menjadi sumber rujukan (syariah), untuk tidak mengatakan maraknya perilaku munafik. Kontradiksi: di satu pihak, syariah semakin dilambungkan, tapi di lain pihak perilaku koruptif merajalela secara vulgar.
Ketika rezim mulai bekerja, maka tim sukses berperan sebagai agensi untuk menghimpun dana bagi partai, tetapi di dalam prakteknya juga untuk mengakumulasi kekayaan individual melalui aksi percaloan. Aksi yang terakhir ini melahirkan hubungan simbiosis antara mereka yang berasal dari luar sistem birokrasi dengan mereka yang telah berada di dalam sistem tersebut.
Saya pun menjadi teringat pada sebuah kisah yang beredar di kalangan sufi: jika pemimpin mengambil telor, maka agensi akan menjarah ayam-nya, lalu aparat akan menyita kandangnya untuk dijadikan ATM.*