Kontroversi Rizieq
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Habib Rizieq adalah FPI, Front Pembela Islam. Sama-sama kontroversial.
Memang organisasi berbasis Islam selalu sentral di dalam kancah politik setiap rezim di republik ini. Di zaman orde lama, apa kurangnya Soekarno bersikap melawankan dirinya, bahkan dngan membawa-bawa negara, untuk memusuhi tokoh dan Ormas atau pun partai politik Islam.
Di zaman orde baru, apa kurang sentralnya ulama, partai dan Ormas Islam di hadapan Soeharto. Apalagi ketika rezim menonjolkan isu Komando Jihad (Komji) dan mencanangkan asas tunggal.
Di zaman rezim Jokowi, sebagaimana yang kita saksikan, betapa sentralnya Rizieq dan FPI di dalam perpolitikan rezim. Juga hal itu dicuatkan di dalam konteks penonjolan isu terorisme dan Islam radikal, serta Islam intoleran.
Dipopulerkan juga antitesanya, yakni varian Islam Nusantara, yang tak begitu mendapatkan sambutan oleh publik muslim yang berada di luar wilayah yang berintikan budaya Jawa.
Agaknya, panggung sejarah politik Indonesia seakan terus menerus menjelaskan bahwa setiap rezim ultra nasionalis berkuasa, maka selalu berhadapan dengan ketokohan ulama dan organisasi berbasis Islam.
Meskipun ada ulama, partai dan ormas Islam yang mencoba membaurkan warna hijau ke dalam warna merah, khususnya di tanah Jawa. Pertanda zaman yang memperingatkan kita untuk hal apa?
Rizieq memang kontroversial dilihat dari silsilah pendidikan, politik dan evolusi gerakannya.
Para pembencinya mengatakan Rizieq sebagai kadrun, kearaban. Tapi dia tercatat sebagai orang Betawi keturunan Hadhrami. Kadrun, untuk meminjam label para pembencinya, berayah-ibu yang bersilsilah kepada Nabi Muhammad SAW.
Bahwa, silsilah dari garis ayah dan ibunya sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib melalui Imam Ahmad al-Muhajir, dan Sayyid dari klan Aal bin Yahya.
Para pembencinya melabel Rizieq intoleran. Tapi Rizieq pernah sekolah di SMP Kristen Bethel Petamburan. Justru keragaman silsilah pendidikan yang tidak dimiliki/alami oleh para pembencinya.
Tambahan pula, Rizieq mengikuti program pascasarjana di Universitas Islam Internasional, Malaysia dengan tesis: Pengaruh Pancasila Terhadap Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia.
Banyak ulama membahas Pancasila, dengan aneka ragam niatnya, tapi mereka tidak mengolahnya secara akademik. Apalagi, apalagi para pembenci struktural dan kulturalnya, hanya bermodalkan Pancasila sebagai instrument perang politik ultra nasionalis.
Para pembencinya mengatakan Rizieq pantas keluar dari Indonesia. Tapi silsilah politiknya menjelaskan bahwa bapaknya, Habib Husein bin Muhammad (1920) merupakan salah satu pendiri Gerakan Pandu Arab Indonesia (1937). Hal yang tak terpikirkan oleh sebagian besar kakek-nenek para pembencinya, yang sok nasionalis saat ini.
Banyak ulama mendapatkan Islam secara biologis dan kultural, tidak secara akademis. Tapi Rizieq mendapatkan Islam secara bilogis, kultural dan akademis.
Hal yang juga kontroversial, banyak ulama, bahkan habib yang memiliki jamaah. Tapi Rizieq bukan saja memiliki jamaah, tapi ia juga memiliki organisasi, yakni FPI, yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 di Pondok Pesantren Al-Umm, Tangerang.
Hal yang menarik dari organisasi ini adalah transformasi diri dari organisasi yang menggunakan kekerasan menjadi organisasi yang sangat mobil dalam hal kemanusiaan di daerah-daerah bencana alam, termasuk Aceh pada saat gempa-tsunami 2005.
Mungkin banyak orang yang sudah membaca apa yang telah diingatkan oleh Ali Bin Abu Thalib r.a, dimana para ulama, para habib telah membacanya. “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.
Tapi tidak banyak ulama maupun habib yan sukses di dalam mengkonstruksi jamaahnya menjadi terorganisasikan dengan baik. Ucapan Ali r.a itu diformulasikan oleh Rizieq menjadi: berdakwah amar makruf nahi munkar secara berjamaah.
Begitulah, baik Rizieq maupun FPI memiliki daftar yang panjang sebagai subyek yang dilaporkan ke kepolisian republik ini oleh berbagai pihak, baik secara individual, kelompok maupun organisasi. Bagaimana fenomena kontroversial ini dibaca secara sosiologis?
Agaknya, sudah nasib republik yang dilahirkan paska Kolonial Belanda ini mewariskan ketegangan yang abadi antara agama (ulama) dan politik (rezim). Mungkin sejak Snouck Hurgronje, seorang sarjana sosiologi sekaligus orientalis, mendapat pengetahuan dan pengalaman politiknya di barat, bahwa agama harus dipisahkan dengan agama.
Agama harus diadministrasikan oleh negara. Lalu, Snouck memaksakan konstruksi politik barat itu di Nusantara ini dengan adagium bahwa dalam bernegara, jauhkan diri dari perspektif keberagamaan. Lalu, adagium itu terpatri di benak anak-anak republik ini, hingga zaman now. Dan, jadilah mereka penemu dan pelanjut label kadrun dan pembenci Rizieq cs.
Adalah tidak mustahil, situasi yang semakin dikhotomis itu akan mendorong, di satu pihak rezim dan pendukung ultra nasionalisnya untuk menggunakan aparat sebagai pelaku tindak kekerasannya.
Di lain pihak lawan politiknya kian menjiwai apa yang termaktub dalam ayat suci: “Asyidda 'alal kuffar (bersikap keras terhadap orang-orang kufar), ruhama bainahum (menebarkan kasih sayang terhadap sesama).”*
Runtuhlah kedamaian!
• Penulis adalah Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.