Beranda / Kolom / Aceh: Kemajemukan dan Ketahanan Nasional

Aceh: Kemajemukan dan Ketahanan Nasional

Senin, 18 Oktober 2021 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Sekarang kita berada di zaman yang penuh dengan kontradiksi. Di satu pihak terjadi proses globalisasi, proses yang muncul dikarenakan adanya perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi, yang melarutkan kelokalan ke dalam yang mendunia. 

Dalam istilah Myrdal, terjadi proses spread effect dari pusat-pusat pertumbuhan budaya dunia yang menggilas budaya lokal. Namun, di pihak lain, sebaliknya, terjadi kebangkitan kesadaran identitas diri pada tingkat lokal, sehingga muncul sikap yang resisten terhadap yang budaya global. 

Hal ini  menunjukan identitas diri yang unik (kelokalan). Bahwa kami, misalnya, bangga sebagai orang Aceh yang hadir di pusat-pusat arus globalisasi, sebagaimana yang dipertunjukkan oleh para diaspora; dan generasi melinial yang terlibat dalam perdagangan internasional.

Bahwa kami memiliki sistem nilai sendiri. Bahwa kami memiliki produk kopi kelas dunia. Dan, kami adalah produk dari konstruksi sosial kelokalan. Demikian juga halnya di bidang kehidupan beragama. Di tengah-tengah arus anti-terorisme (global). Tambahan pula, varian sampingannya, bersubyek utama anti-Islam, muncul gerakan muslim yang kian marak.

Kaum berjilbab mengatakan; Kami sudah mengenakan masker, justru sebelum kalian mengenakannya disaat pandemi covid19. Kami juga sudah disunnahkan untuk menutup mulut ketika menguap dan bersin. Dinamika itu semakin marak dengan adanya berita-berita terjadinya konversi keagamaan ke dalam Islam, justru di pusat-pusat produsen budaya global.

Di Indonesia, kita pun menemukan kontradiksi-kontradiksi. Di satu pihak, adanya pengakuan bahwa bangsa ini majemuk (Bhinneka Tunggal Ika). Kemajemukan terdapat pada setiap sudut kehidupan. 

Namun, di lain pihak, ketika berbicara tentang nasionalisme, seakan tiada boleh beragam di dalam mengekspresikannya. Ketika berbicara tentang pembagian kewenangan pusat-daerah, rezim tetap saja memaksakan homogenitas (keseragaman) dan tidak mempertimbangkan kemajemukan.

Aceh, jika dilihat dari Monas adalah sebuah suku bangsa yang homogen (suku bangsa Aceh). Bahkan elite politik di Aceh juga demikian. Hal ini tercermin pada saat memaksakan bahasa, bendera dan hymne daerah.

Padahal jika dilihat pada sejarah migrasi dan pemukiman manusianya, Aceh adalah sebuah area politik yang sangat majemuk. Kemajemukan Aceh dapat dikatakan sebagai miniature Indonesia. Pemukiman-pemukiman yang kini tercatat sebagai kampung adalah cerminan kemajemukan para pemukim diaspora yang berkembang di Aceh, diantaranya: Peunayong, kampong Keudah, kampong Pande, kampong Jawa, dan seterusnya.

Orang Aceh yang dikenal gemar akan sejarah, yang selalu bermimpikan zaman keemasan Kesultanan Aceh, bisa ahistoris ketika mendefinisikan keacehannya. Mereka cenderung memaksakan homogenitas, dan tak sadar akan kondisi faktual yang majemuk.

Tambahan pula, masyarakat Aceh adalah masyarakat pasca konflik, maka cenderung bersifat terpecah (fragmented), yang dipertajam oleh tindakan elite yang cenderung lemah. Bahkan, adanya elite yang berpandangan satu dimensi, dengan kewenangan yang ada padanya, cenderung memaksakan kehendak secara sepihak.

Aceh merupakan wilayah yang memiliki potensi berdinamika yang tinggi. Dari sisi ini, Aceh memiliki potensi ketahanan nasional yang tangguh. Namun, sekaligus rentan apabila salah di dalam pengelolaan pemerintahannya, karena ketangguhan itu akan berkembang ke arah yang kontra produktif terhadap ketangguhan nasional.

Aceh sebagai daerah modal adalah menunjukkan ketangguhan Aceh yang konstruktif terhadap ketahanan nasional. Manakala wilayah Indonesia dikuasai oleh pihak kolonial kembali, maka Aceh menjadi basis modal bagi keberadaan Republik muda ini.

Di lain pihak, Aceh sebagai daerah konflik (baik vertikal maupun horizontal) adalah ketangguhan yang destruktif terhadap ketahanan nasional maupun Aceh itu sendiri. Mimpi akan kegemilangan Aceh di masa lalu, dan pembagian atau distribusi kewenangan oleh pusat yang tidak mempertimbangan kebhinnekaan, adalah selalu memicu konflik vertikal.

Aceh sebagai garda wilayah cincin api (ring of fire), secara alamiah menjadi sangat potensial bagi intervensi asing “demi kemanusiaan”, sebagaimana yang telah terjadi pada pasca bencana gempa tsunami. Bahkan, Aceh menjadi potensial “dibuka paksa” untuk kepentingan kekuatan militer asing, bilamana ada konflik internasional, misalnya konflik di kawasan Laut Cina Selatan dan Indocina. 

Bahkan, Aceh menjadi persinggahan manusia perahu dari kawasan Asia Selatan dan Timur Tengah. Oleh karena itu, pengelola pemerintahan Aceh, baik sipil maupun militer, yang berdimensi tunggal justru menjadikan potensi dinamis keacehan itu mendestruksi ketahanan Aceh, sekaligus nasional.*

*Penulis adalah sosiolog yang berdomisili di Banda Aceh.

*Sebagian materi artikel ini pernah disampaikan dalam acara “Ngopi Kebangsaan” yang diselenggarakan atas kejasama Kesbangpol Aceh dengan Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas (IKAL) Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda