Jangan Seperti Cecak
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Kehidupan sudah ada, sebelum kita hidup saat ini. Lalu, ambil hikmahnya untuk membangun kemaslahatan. Kita akan menuai kemuliaan di masa depan hingga fananya zaman. Tentunya hal ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Inilah keunikan, yang sekaligus kedaifan manusia.
Pada 7 Agustus 1998, setelah status Daerah Operasi Militer, yang dikenal sebagai DOM, di mana digelar operasi militer dengan sandi Operasi Jaring Merah, dicabut oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Lalu, Tim Pencari Fakta dari Jakarta datang ke Rumoh Geudong. Pada saat tim meninggalkan lokasi, Rumoh Geudong yang dikenal sebagai pos sattis pun dibakar oleh OTK.
Cordova pun segera memutuskan untuk meneliti apa yang terjadi di Rumoh Geudong sepanjang satu dasawarsa DOM itu. Staf Cordova, Dalhar Shodiq dan Heri turun ke Cot Baroh, Pidie untuk melakukan penelitian.
Sekitar usai Magrib, saya mendapat telpon dari Dalhar bahwa ia telah ditangkap oleh pasukan Tgk Abdullah Syafii. Ada Tgk Yahya, Radak, Sarjani dan lainnya. Sekarang ia berada di rumah adiknya Ibrahim di Tiba, dekat Beureunun. Saya dipesan untuk menemui Tgk Lah ,esok harinya. Kemudian Heri sampai ke Cordova dan menceritakan secara singkat apa yang terjadi.
Tetapi setelah Isya, saya memutuskan untuk segera berangkat ke Pidie, bersama Heri dan Nurdin El Jodas, dengan tanpa menunggu keesokan hari, karena ini terkait nyawa seorang sobat. Tiba di Beureunun sekitar pukul 11 malam, suasana gelap dan mencekam. Kami mampir di sebuah warkop hingga datang utusan yang membawa kami ke rumah di mana Dalhar berada.
Pagi-pagi kami bersiap ke Cot Baroh. Setibanya, mobil kami diparkirkan pada sebuah Kilang Padi. Lalu, dengan pengawalan bersenjata oleh Radak Cs, kami berjalan menuju sebuah sekolah, dan masuk ke ruang guru. Sudah terhidang kopi susu dan sejumlah makanan warung, seperti timphan.
Tak lama kemudian, Tgk Lah tiba dengan pakaian jas panjang selutut dan warna gelap, topi cowboy, dan senjata laras panjang AK-47. Senjata diletakkan di atas meja. Kami saling menyapa.
+ Tgk Lah: apa yang dilakukan oleh Cordova di Cot Baroh?
- Saya: Cordova melakukan penelitian HAM, yang terkait dengan apa yang terjadi di Rumoh Geudong
+ Tgk Lah: untuk apa itu?
o Saya: hasilnya untuk dibukukan sebagai laporan ke lembaga-lembaga HAM internasional bahwa ada pelanggaran HAM berat di Aceh. Selanjutnya, untuk pelajaran bagi generasi mendatang, dan mengambil hikmahnya untuk kebutuhan di zamannya.
o Tgk Lah: kalau begitu silahkan lanjutkan hari ini juga. Kami akan mengawal.
Begitulah, HAM menjadi salah satu instrument (perjuangan) yang diakui penting, di samping hal demokrasi pada saat masa konflik. Orang tak ingin memperdebatkan secara detail, seperti perdebatan tentang seekor lembu dalam Surah Al-Baqarah.
Sekitar 20 tahun kemudian, saya mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi tentang draf rancangan sebuah qanun yang terkait HAM di Baleg DPRA. Saya mulai mendengar ada kontradiksi antara syariah dan HAM. Jika syariat dinisbatkan dengan timur, maka HAM adalah barat. Metode berpikir biner, dikhotomi menguasai alam pikiran Aceh.
Orang mulai tidak mempertimbangkan, pertama, bahwa jika terkait HAM maka yang dirujuk adalah Universal Declaration of Human Rights, yang dinyatakan PBB pada 10 Desember 1948. Sebagai orang Aceh, mereka tak populer dengan Deklarasi Kairo tentang HAM yang dinyatakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kairo pada 1990.
Kedua, orang abai terhadap Piagam Madinah (622 M), yang lebih dahulu mewacanakan HAM daripada Magna Charta (1215 M).
Ketiga, ada banyak ayat suci yang bicara tentang Timur dan Barat, di antaranya, Al-Baqarah: 142, yang berkenaan dengan kiblat: “….Kepunyaan Allah lah timur dan barat…”
Keempat, cara berpikir biner (mengkontradiksikan) menjadikan terputus dari sejarah perkembangan pemikiran Islam itu sendiri.
Kelima, hal yang menarik, saat ini terjadi perubahan manhaj (metode) berpikir, yang dimodernisasi oleh Jasser Auda. Perubahan dari biner ke sistemik, yang dikenal dengan sebutan Maqashid Asy-Syariah. Jika metode biner mempertentangkan timur dan Barat, maka maqashid melihatnya timur dan barat adalah sebuah system yang bergantian secara siklis.
Agaknya, di Aceh sudah waktunya untuk mensosialisasikan maqashid, dan meninggalkan metode berpikir yang biner sehingga tidak ada konflik batin dan akal di dalam memikirkan tentang HAM, khususnya.
Maqashid harus dijadikan perspektif di dalam merancang setiap qanun, peraturan gubernur, bupati dan walikota, serta fatwa, karena kemaslahatan (public) diutamakan, dan kemudharatan harus segera ditinggalkan.*
*Penulis adalah sosiolog yang tinggal di Banda Aceh.