Populisme Islam - Agama dan Politik
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Kalaulah populisme diartikan sebagai politik yang mengarus-utamakan kepentingan rakyat, apakah hal yang diharamkan dalam sebuah republik?
Kalaulah populisme Islam memantik kepentingan rakyat yang beragama Islam di republik, yang mayoritas muslim dan secara historis memiliki kontribusi dalam melawan pejajahan dan merumuskan republik ini, adakah yang keliru dengan populisme Islam?
Dalam konteks demokrasi, apakah diharamkan secara konstitusional dan undang-undang, jika seorang kandidat berkampanye dengan spirit populisme Islam? Bukankah mayoritas pemilihnya adalah warganegara yang beragama Islam? Bukankah harus ada kesesuaian antara spirit berkampanye dengan konteks sosialnya?
Populisme Islam menjadi masalah ketika berhadapan dengan perpolitikan rezim atau elite yang yang mengabaikan warga muslim, sebagai kelompok mayoritas. Populisme Islam juga bermasalah bila dipahami secara salah.
Sebagaimana yang dipahami Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bahwa menjadikan Islam sebagai norma politik. Lalu, apakah norma politik bahkan norma bernegara seorang muslim tidak boleh berlandaskan pada etika yang merujuk ajaran Islam?
Dalam hal ini ada cara pandang yang berbeda antara perspektif sekuler dan keagamaan. Memang diskursus Islam dan politik, sudahlah sangat tua.
Bahkan Departemen Agama sendiri adalah buah dari gagasan Snouck Hurgronje yang berikhtiar untuk memisahkan antara agama dan politik untuk kepentingan mempertahankan kolonialisme Belanda, sekaligus sesuai dengan perspektif sekulerisme.
Snouck (1857-1936) sampai menyusup ke Mekkah pada 1885 untuk mempelajari perilaku jamaah haji Nusantara, yang dalam bahasa Weber, sejauhmana afinitas antara etika Islam dan spirit perlawanan terhadap rezim Kolonial Belanda.
Lalu, ia mulai mensimulasikan gagasan pengendalian Islam di Banten. Kemudian lanjut sebagai penasehat J.B. van Heutsz selama Perang Aceh (1873-1913).
Menag mengatakan: "Saya tidak ingin, kita semua tentu saja tidak ingin populisme Islam ini berkembang luas sehingga kita kewalahan menghadapinya".
Dalam hal ini, baik Snouck maupun Yaqut memiliki kesamaan dalam menjadikan Depag sebagai instrument politik untuk mengendalikan Islam agar tidak mewarnai kehidupan bernegara, sekalipun dalam dimensi etis agar tidak mempengaruhi spirit bernegara.
Hal ini dapat kita rujuk pada transformasi Depag sejak masa kolonial Belanda, Jepang hingga hari ini, selain dinamika politik berupa kompetisi antar ormas Islam dalam mengelola Depag.
Begitulah, usia perkara Islam dan politik (dalam bernegara) sudah jauh melampaui umur berdirinya Departemen Agama di Republik ini (3 Januari 1946), yang embrionya Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan Pribumi Islam pada masa kolonial Belanda, lalu berubah menjadi Shumubu (Kantor Urusan Agama) di masa Jepang.
Diawal abad 21, cara mendefinisikan populisme cenderung kenegatif sebagaimana yang dilakukan oleh Jan-Werner Muller dalam bukunya “What is Populism?”, bahwa pemimpin populis cenderung menolak pluralism dan klaim diri sebagai hero masyarakat. Apalagi, sebagaimana sosok Yaqut yang cenderung mendefinisikan populisme cenderung pada intoleranisme dan radikalisme.
Dalam konteks Indonesia sekarang, kita dapat menemukan pemimpin yang populis dalam sosok Anies dan Risma. Bila Anies terpilih dalam pilkada oleh pendukung yang di dalam dirinya sedang menguat identitas keislaman, maka Risma ditunjuk oleh Rezim yang justru dioposisi oleh para warga yang sedang menguat identitas keislamannya.
Jika yang satu kerja-kerjanya dihargai oleh berbagai award, maka yang lain kerja-kerja meledak oleh publikasi dan kerja-kerja buzzer yang dikelola oleh rezim. Lalu, secara sosiologis bisa kita dapat mempertanyakan, dalam istilah yang lebih mapan, yang manakah pemimpin organik dan non-organik?
Akhirnya, sebagai warganegara abad 21, memang kita harus kritis di dalam membaca perilaku para pemimpin populis untuk mengetahui mana yang populis dan yang pseudo-populis!*
• Penulis adalah sarjana Geografi dan Sosiologi.