Beranda / Klik Setara / Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Aceh Meningkat?

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Aceh Meningkat?

Jum`at, 02 Februari 2024 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Abdullah Abdul Muthaleb
Ilustrasi stop kekerasan terhadap perempuan dan anak. [Foto: Net]

DIALEKSIS.COM | Klik Setara - Tak dapat kita pungkiri, intensitas pemberitaan media massa terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin meluas, update beritanya pun sangat cepat. Bukan hanya terjadi di Aceh, melainkan tersebar luas di seluruh nusantara. Banyak penelitian dan diskusi publik pun digelar di berbagai ruang yang membahas fenomena ini. Di sisi lain, seiring kian kencangnya media sosial membombardir apa yang terjadi di ruang publik hingga ruang domestik, membaiknya kinerja lembaga layanan, kian terbukanya pula akses informasi dan kesadaran kritis perempuan khususnya untuk melaporkan kasus yang dialaminya, menjadi faktor kunci mengapa angka kekerasan disebut-sebut kian membumbung tinggi.

Pertanyaannya, benarkah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat di Aceh? Apakah tersedia data yang valid atau sekedar kabar tanpa fakta ? Apakah juga semua peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh sudah terdokumentasikan tanpa ada yang tak terungkap? Nah, jika dilihat dari data kasus dalam empat tahun terakhir, trend apa yang berubah? Apakah ada perbedaan jumlah kasus terlapor di masing-masing kabupaten/kota di Aceh? Deretan pertanyaan serupa menjadi pembuka tulisan ini untuk melihat spektrum kekerasan berbasis gender ini di tengah masyarakat dalam kurun empat tahun terakhir di Aceh.

Apresiasi itu Harus

Mengawali tulisan ini, apresiasi patut diberikan kepada semua pihak yang sudah bekerja keras, mendedikasikan dirinya dalam kerja-kerja penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh. Terima kasih yang tulus kepada mereka, baik yang bergabung dengan P2TP2A/UPTD PPA, Unit PPA di jajaran kepolisian, paralegal komunitas, organisasi masyarakat sipil, gerakan perempuan, dan para pihak lainnya yang sudah berkontribusi, menyuarakan kepedulian dan upaya mendorong pencegahan, penanganan, pemulihan, dan pemberdayaan perempuan dan anak korban kekerasan di Aceh.

Kerja penanganan kasus kekerasan bukan juga pekerjaan tanpa risiko. Tantangan tidak ringan, karena banyak hambatan yang menghadang, yang kadang juga mengancam keselamatan nyawa para petugasnya. Akan tetapi, sejumlah capaian dengan segala kekurangannya, patut diapresiasi untuk semua pengabdiannya. Tidak semua individu punya passion untuk bekerja dan tahan banting yang cukup pada isu ini. Di tengah anggaran yang minim, perhatian elite politik baik dari eksekutif maupun legislatif yang naik-turun, kerja-kerja kemanusiaan ini masih terus berlangsung. Sekali lagi, dengan kerja keras tersebut, segepok data ini pun bisa dianalisis menjadi bahan refleksi kita bersama.

Mengurai Sembilan Fakta

Sesuai dengan tema tulisan ini, terdapat sembilan fakta yang akan diuraikan dengan membaca data kasus kekerasan (dalam tulisan ini yang dimaksud kekerasan selanjutnya yakni kekerasan terhadap perempuan dan anak berbasis gender) yang sudah dipublikasikan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh. Data tersebut penulis akses melalui https://dinaspppa.acehprov.go.id, yang kemudian diolah, dianalisis, dan dibandingkan dalam masa emat tahun terakhir.

Fakta 1. Total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tercatat mencapai 3.956 kasus dalam kurun waktu empat tahun terakhir di Aceh. Artinya, setiap hari terjadi sebanyak 3 kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak. Angka ini bisa sangat mengerikan bagi sebagian orang, tetapi bisa saja tak bermakna apa pun bila tak memiliki sensitifitas atas problematika yang saban hari makin mengkhawatirkan. Atau bahkan disepelekan, karena belum ada dari anggota keluarganya atau bahkan anak kandung sendiri yang jadi korbannya. Banyak yang merasa tergerak hatinya jika kasus kekerasan sudah mengetuk pintu dan jendela rumah sendiri.


Penulis menekankan maksud “tercatat” di sini bahwa data tersebut merupakan data yang kasusnya ditangani oleh lembaga layanan. Sebab, deretan angka yang terdokumentasikan sekarang ini ibarat fenomena gunung es yang kemungkinan jauh lebih besar dibandingkan dengan fakta lapangan. Masih banyak kasus kekerasan yang tidak muncul ke permukaan sehingga tidak diketahui publik dengan berbagai faktor penyebabnya. Kuatnya budaya patriakhi dan masih minimnya pemahaman mengenai hak-hak perempuan dan anak secara bermartabat ikut andil terjadinya kasus kekerasan di Aceh. Melaporkan kasus kekerasan dalam keluarga misalnya, masih cenderung dianggap sebagai mempertontonkan aib keluarga sehingga harus ditutup rapat-rapat meskipun sang isteri sudah nyaris mati dengan perlakuan kekerasan yang cukup lama.

Tantangan melaporkan kasus bukan bukan hanya dari keluarga, tetapi lingkungan masyarakat belum sepenuhnya memberikan ruang bagi perempuan menentukan keputusannya sendiri menghadapi kasus kekerasan yang menimpanya. Tafsiran yang bias atas ketentuan agama juga bisa menjadi faktor yang menyebabkan masih banyak korban mengurungkan niatnya untuk melaporkan perlakuan kasar yang ia terima. Kasus dilaporkan korban, tak sedikit kemudian yang dirinya dikucilkan karena dianggap membawa aib keluarga ke ruang publik yang dinilai tak layak dilakukannya.

Akan tetapi, puncak dari alasan tinggi-rendahnya angka yang tercatat tersebut sebenarnya juga tergantung bagaimana pemerintah di masing-masing kab/kota menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya terkait urusan perlindungan perempuan dan anak. Kesadaran masyarakat, khususnya kesadaran perempuan untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya misalnya, tidak terlepas dari keseriusan proses edukasi dan sosialisasi yang dilakukan pemerintah kab/kota di Aceh. Pada akhirnya akan bermuara bagaimana peran mencerdaskan masyarakat dan memperluas akses informasi dan layanan tersebut dilakukan hingga ke tingkat gampong, termasuk ke wilayah-wilayah terjauh dari pusat ibukota.

Fakta 2. Kota Banda Aceh menjadi wilayah yang paling banyak menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mencapai 517 kasus. Selanjutnya, Kab. Aceh Utara menduduki posisi kedua (392 kasus), dan pada posisi tertinggi ketiga yakni Kab. Bireuen (279 kasus). Sebaliknya, Kab. Aceh Jaya berada diurutan paling rendah (21 kasus), Kab. Simeulue (45 kasus), dan Kab. Gayo Lues (48 kasus).

Sajian data ini, sekali lagi harus dibaca dengan bijak seperti penjelasan pada fakta sebelumnya sehingga tidak dilihat dengan kacamata kuda. Sebaliknya, data tersebut harus juga menjadi alat untuk menakar komitmen Pemerintah Kab/Kota di Aceh dalam merespon persoalan krusial ini. Komitmen politik akan menentukan dukungan terhadap Dinas yang menangani urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Pada akhirnya, akan menentukan pula kekuatan yang dimiliki P2TP2A/UPTD PPA yang sudah dibentuk. Semakin rendah komitmenya, maka dapat dipastikan dukungannya akan nihil yang akan berdampak pada kinerja P2TP2A/UPTD PPA.

Dengan demikian, apabila ada kab/kota di Aceh yang minim catatan angkanya, bukan berarti di daerah tersebut benar-benar sah disimpulkan jika minim pula kasus kekerasan yang terjadi. Selain faktor kesadaran masyarakat, juga terbuka kemungkinkan kasus yang ditangani sebuah P2TP2A/UPDT PPA jumlahnya tinggi karena lembaga tersebut bekerja ekstra dengan dukungan cukup baik dari Pemerintah Kab/kota setempat. Pastinya, setiap kasus yang terjadi, kemampuan lembaga tersebut untuk meresponnya cukup cepat dan mampu menjangkaunya dengan baik pula. Sebaliknya, harus menjadi refleksi juga ketika minimnya pelaporan kasus dapat saja mengindikasikan belum maksimalnya kinerja P2TP2A/UPTD PPA dengan segala dinamika internalnya.

Di sisi lain, kita memang tidak bisa mengabaikan kondisi geografis yang menjadi tantangan bagi korban (yang rata-rata dengan kondisi ekonomi pas-pasan), setidaknya juga berimplikasi pada akses bagi korban untuk menjangkau ibukota. Menjadi masuk akal apabila semakin sulit aksesnya, maka semakin kecil peluang kasus yang terjadi dapat muncul ke permukaan hingga ditangani oleh lembaga layanan. Dalam konteks ini, “penjangkauan kasus” oleh lembaga layanan menjadi penting sebagai bentuk respon cepat dalam melihat situasi korban. Dengan cara tersebut, kasus-kasus demikian akan muncul dan dapat ditangani secara cepat.


Data menunjukkan ada sejumlah kab/kota dengan angka kasus kekerasan yang bisa disebut rendah. Secara akumulatif sejak tahun 2020 s.d 2023, selain Kab. Aceh Jaya, Kab. Simeulue, dan Kab. Gayo Lues, terdapat beberapa kab/kota lainnya yang catatan kasus ditangani P2TP2A/UTPD setempat yang angkanya juga minim. Kab. Nagan Raya (73 kasus), Kab Aceh Besar (81 kasus), Kab. Aceh Selatan (82 kasus), Kab. Aceh Barat Daya (98 kasus), dan Kota Sabang (99 kasus) merupakan daerah yang dalam kurun empat tahun terakhir jumlah kasus yang terlapor di bawah angka 100 kasus.

Catatan kekerasan dari Kota Sabang menarik untuk ditelusuri. Kota Sabang, dengan wilayah yang kecil dan jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit, catatan kasusnya justru lebih tinggi

(99 kasus). Mengapa demikian? Inilah yang dimaksud sebelumnya bahwa ada banyak faktor yang menentukan kasus kekerasan bisa muncul dan terdeteksi untuk ditangani. Artinya, melihat data kekerasan tidak bisa hanya berhenti pada angka semata. Kita mesti melihat banyak faktor untuk mengungkap informasi lainnya di balik deretan angka tersebut.

Hal lainnya bisa bisa dicermai juga dari data yang dipublikasikan secara resmi oleh DPPPA Aceh yaitu tidak diterlihat data dari Unit PPA Polresta/Polres lainnya di Aceh selain dari Unit PPP Polda Aceh dan Unit PPA Polresta Banda Aceh. Data kasus yang dicatat mencapai 1.098 kasus pada tahun 2023 tersebut, 57 kasus diantaranya berada di lembaga layanan kepolisian dengan rincian yaitu pada Unit PPA Polresta Banda Aceh sebanyak 41 kasus dan Unit PPA Polda Aceh sebanyak 16 kasus.

Pasti akan ada yang bertanya, mengapa hanya dari Unit PPA Polda Aceh dan Unit PPA Polresta Banda Aceh yang dimunculkan datanya? Bagaimana dengan data kasus yang ditangani Unit PPA Polres lainnya di Aceh? Hal ini wajar mengingat publikasi dimaksud hanya dalam bentuk rekapitulasi data saja. Mestinya, akan lebih baik publikasinya juga disertai penjelasan singkat sehingga publik tidak dibiarkan memberikan tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda-beda.

Karena tanpa penjelasan, publik akan menilai jika data tersebut merupakan total kasus yang ditangani oleh Unit PPA Polresta Banda Aceh dan Unit PPA Polda Aceh, padahal besar kemungkinannya bukan demikian. Keyakinan penulis ini karena mengingat dalam ekspose akhir tahun terkait jumlah kasus kekerasan yang ditangani Unit PPA Polresta Banda Aceh misalnya, jumlahnya jauh dari angka tersebut. Pada tahun 2022, dalam pemberitaan media disebutkan jika Unit PPA Polresta Kota Banda Aceh bahkan sudah menangani sebanyak 126 kasus kekerasan.


Penulis menyakini keberadaan 57 kasus tersebut merupakan kasus yang dilaporkan/diterima langsung oleh Unit PPA Polresta Banda Aceh dan Unit PPA Polda Aceh, yang kemudian dalam penanganan lanjutan dirujuk kepada UPTD PPA Aceh. Karena keduanya berada dalam satu area yang berdekatan, sehingga koordinasi dalam pelayanan langsung bisa dilakukan dengan UPTD PPA Aceh. Hal ini berbeda dengan Unit PPA Polres lainnya di Aceh yang tentunya akan berkoodinasi dengan P2TP2A/UPTD PPA kab/kota setempat. Penulis meyakini jika Unit PPA Polda Aceh, Unit PPA Polresta Banda Aceh, dan Unit PPA Polres lainnya di Aceh memiliki rekapitulasi data tersendiri.

Fakta 3. Kekerasan terhadap perempuan maupun kekerasan terhadap anak, keduanya menunjukkan trend yang meningkat, meskipun lonjakan kasus kekerasan pada anak lebih tinggi. Dalam masa empat tahun tersebut, total kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 1.798 kasus (rata-rata 449,5 kasus per tahun), sedangkan kasus kekerasan terhadap anak mencapai 2.158 kasus (rata-rata 539,5 kasus per tahun). Dengan data tersebut, anak-anak Aceh terutama anak perempuan kian berada pada zona yang tidak aman. Mereka saban hari dihadapkan pada potensi kekerasan yang menimpanya. Bahkan dirumahnya sendiri pun, kekerasan yang tidak patut mereka terima pun juga terus terjadi.


Jika dilihat angka kekerasan terhadap anak per kab/kota dalam masa empat tahun terakhir, Kota Banda Aceh dengan catatan kasus terbanyak (223 kasus), Kab. Aceh Utara (171 kasus), dan Kab. Bireuen (137 kasus). Sebaliknya, catatan penanganan kasus anak terendah di Kab. Aceh Jaya (15 kasus), Kab. Simeulue (35 kasus), dan Kab. Gayo Lues (36 kasus). Sedangkan pada kasus kekerasan terhadap perempuan, Kota Banda Aceh juga memiliki catatan penangan kasus tertinggi (294 kasus), Kab. Aceh Utara (221 kasus), dan Kab. Bireuen (142 kasus). Sebaliknya, catatan kasus terendahnya di Kab. Aceh Jaya (6 kasus), Kab. Simeulue (10 kasus), dan Kab. Singkil dan Kab. Gayo Lues, keduanya sama-sama 12 kasus.

Sekali lagi, deretan angka di atas merupakan angka yang kasusnya dilaporkan, dicatat, dan ditangani. Bisa jadi, masih banyak kekerasan terhadap anak yang terjadi di gampong misalnya, diselesaikan di tingkat gampong, yang data tersebut belum masuk dalam rekap data yang dipublikasikan oleh DPPPA Aceh. Bisa jadi pula, tidak sedikit kasus kekerasan yang sama sekali tidak terungkap dan diketahui oleh masyarakat, dan atau sudah dideteksi oleh masyarakat tetapi belum terlaporkan kepada lembaga layanan seperti halnya P2TP2A/UPTD PPA, Unit PPA yang berada di jajaran kepolisian, atau pihak lainnya yang juga bekerja sebagai lembaga layanan.

Fakta 4. UPTD PPA Aceh merupakan lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Aceh untuk memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, diskriminasi, perlindungan khusus dan masalah lainnya bidang perlindungan perempuan dan anak. Dalam kurun empat tahun terakhir telah menangani 299 kasus, atau rata-rata mendekati 74,75 kasus pertahunnya. Dengan demikian, lembaga yang dibentuk melalui Peraturan Gubernur Aceh Nomor 59 Tahun 2019 ini, rata-rata per bulan menangani sebanyak 6,23 kasus.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi jika pada tahun 2023 tersebut, perkiraan penulis jika UPTD PPA Aceh bukan hanya menangani 71 kasus yang dilaporkan langsung kepada lembaga ini. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, UPTD PPA Aceh juga kemudian menangani 57 kasus yang diterima oleh Unit PPA Polresta Banda Aceh dan Unit PPA Polda Aceh. Otomatis, penulis menilai jika jumlah kasus yang ditangani lembaga tersebut pada tahun 2023 sebenarnya mencapai 128 kasus. Jadinya, rata-rata kasus yang ditangani per bulan pada tahun 2023 mencapai mencapai 10,66 kasus.


Fakta 5. Setiap kekerasan terjadi dengan bentuk-bentuk kekerasan, yang sifatnya tidak tunggal. Artinya, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya satu bentuknya, melainkan umumnya terjadi lebih dari satu bentuk kekerasan yang dialami oleh setiap perempuan korban kekerasan. Data menunjukkan, dengan total kasus kekerasan terhadap perempuan yang mencapai 1.798 kasus, bentuk-bentuk kekerasannya sudah mencapai 3.129 yang tersebar dari bentuk KDRT, penelantaran, pemerkosaan, kekerasan psikis, perdagangan orang (trafficking), hingga eksploitasi seksual. Sajian data ini menunjukkan semakin beratnya beban kekerasan yang dihadapi perempuan di Aceh, yang setiap korban rata-rata mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan pada setiap kasus yang terlapor.

Akibatnya, butuh waktu dan sumberdaya (pemulihan, pendampingan, pemberdayaan) yang tidak akan tuntas dalam masa kasus tersebut dinyatakan selesai secara hukum belaka. Sayangnya, penanganan kasus kekerasan seperti terasa tuntas ketika putusan majelis hakim diperoleh. Kasus dinyatakan sudah diterminasi sedangkan korban belum benar-benar pulih dan terberdayakan. Padahal, luka batin dan rasa trauma mendalam para korban, terutama terutama anak-anak yang jadi korban, tidak bisa dihilangkan hanya karena kasus itu selesai vonisnya secara hukum. Satu alasan yang sering muncul, sebab SDM dan anggaran kita yang terbatas!

Fakta 6. Dalam kurun empat tahun terakhir, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi bentuk kekerasan terhadap perempuan paling tinggi yang mencapai 1.209 atau rata-rata mencapai 302 kasus per tahun. Data menunjukkan jika pada tahun 2020 (267 kasus), tahun 2021 (311 kasus), tahun 2022 (301 kasus), dan tahun 2023 (330 kasus). Secara umum, tergambar jelas adanya lonjakan kasus yang dilaporkan pada tahun 2023, menjadi angka tertinggi dalam masa empat tahun terakhir.


Mirisnya, dengan kondisi demikian, publik cenderung memberikan stigma negatif kepada perempuan. Makin maraknya KDRT tersebut sering sekali tidak dilihat dengan mencari penyebab KDRT secara adil dan setara. Perempuan lebih sering dikambinghitamkan dengan berbagai alasan, yang semestinya peristiwa tersebut bisa dilihat secara lebih fair dan jernih dengan konteks relasi kuasa dan bagaimana keduanya (suami-isteri) membina rumah tangganya. Keduanya adalah pasangan yang mesti saling menguatkan, bukan sebaliknya.

Fakta 7. Jumlah bentuk kekerasan yang dialami anak sebagai korban terus meningkat. Sama halnya dengan bentuk kekerasan pada kasus kekerasan terhadap perempuan, pada kasus kekerasan anak juga serupa. UPTD PPA Aceh mendokumentasikannya dalam 13 bentuk kekerasan terhadap anak mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, penelantaran, perdagangan orang (trafficking), pemerkosaan, pelecehan seksual, hingga sodomi. Data menunjukkan bahwa bentuk kekerasan yang menimpa anak makin berat dengan jumlah bentuk kekerasan cenderung naik.

Pada tahun 2020 (671 bentuk ), tahun 2021 (816 bentuk), tahun 2022 (773 bentuk), dan tahun 2023 (792 bentuk). Artinya, dalam 1 kasus kekerasan terhadap anak yang terlapor - sama dengan kekerasan terhadap perempuan “ sang korban umumnya tidak mengalami bentuk kekerasan yang tunggal. Ini yang dimaksud dengan bentuk kekerasan yang dialami korban itu berlapis seperti lapisan kulit bawang. Misalnya, 1 korban yang dicatat sebagai sebuah kasus, maka sang korban telah mengalami kekerasan fisik sekaligus menderita karena kekerasan psikis, bahkan lebih dari itu.

Fakta 8. Anak yang diperkosa, dilecehkan secara seksual, dan disodomi makin tinggi di Aceh. Dari 13 bentuk kekerasan yang didokumentasikan oleh UPTD PPA Aceh, terdapat lima bentuk kekerasan yang menyasar tubuh dan seksualitas anak. Kelima bentuk tersebut mulai dari pemerkosaan, pelecehan seksual, sodomi, incess, dan eksploitasi seksual. Dalan kurun empat tahun terakhir, pemerkosaan dan pelecehan seksual menduduki posisi paling tinggi. Akan tetapi, harus dilihat juga trend sodomi anak yang tercatat juga makin tinggi meskipun secara angka belum setinggi pemerkosaan dan pelecehan seksual. Mengerikan!


Fakta 9. Meskipun kasus kekerasan yang tercatat angkanya terus meningkat, namun jumlah UPTD PPA yang sudah terbentuk dan beroperasi di Aceh belum sesuai harapan. Hingga saat ini, baru ada enam UPTD PPA yang sudah terbentuk dan beroperasi yakni Kota Banda Aceh, Kota Langsa, ⁠Kota Lhokseumawe, ⁠Kab. Bireuen, ⁠Kab. Aceh Tengah, dan ⁠Kab. Bener Meriah. Sedangkan ⁠Kab. Nagan Raya, ⁠Kab. Gayo Lues, ⁠Kab. Aceh Barat, dan ⁠Kab. Aceh Utara, semuanya belum beroperasi karena belum ada penempatan pejabatnya meskipun secara kebijakan pembentukan kelembagaan sudah tersedia.

Peraturan Menteri PPPA Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak memang tidak disebutkan secara tegas batas waktu pembentukan lembaga tersebut. Akan tetapi, dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) kembali disinggung hal dimaksud. Disebutkan dalam Pasal 90 ayat (2) bahwa dalam hal UPTD PPA belum terbentuk, pembentukannya dilakukan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan. Sedangkan bagi yang sudah membentuknya, pada ayat (1) dalam pasal yang sama disebutkan agar UPTD PPA yang telah terbentuk sebelum UU ini diundangkan tetap menjalankan tugas dan fungsinya terkait dengan tindak pidana kekerasan seksual dan wajib menyesuaikan dengan UU ini paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan.

Sedangkan dalam Peraturan Menteri PPPA Nomor 2 Tahun 2022 tentang tentang Standar Layanan Perlindungan Perempuan Dan Anak disebutkan bahwa pada saat peraturan tersebut berlaku, fungsi layanan yang dilakukan oleh UPTD PPA harus menyesuaikan dengan Standar Layanan yang diatur dalam Permen tersebut ini paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. Pertanyaannya, bagaimana kalau UPTD sendiri belum terbentuk? Di sisi lain, UPTD PPA Aceh sebenarnya juga belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan Peraturan Menteri PPA Nomor 4 Tahun 2018 bahwa UPTD PPA provinsi dalam melaksanakan fungsi dilakukan untuk layanan rujukan lanjutan lintas daerah kabupaten/kota. UPTD PPA Aceh masih dihadapkan pada penanganan kasus secara langsung dari 10 kecamatan yang berada di wilayah administrasi Kab. Aceh Besar yaitu: Kecamatan tersebut yakni Darussalam, Baitussalam, Mesjid Raya, Kuta Baro, Darul Imarah, Darul Kamal, Ingin Jaya, Krueng Barona Jaya, Blang Bintang, dan Peukan Bada.

Di satu sisi, masih dapat dimaklumi hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan wilayah yang jauh jangkauan masyarakat untuk mengakses layananan ke P2TP2A Kab. Aceh Besar. Bahwa korban harus diutamakan untuk dilayani mutlak harus dilakukan, tidak ada debat! Akan tetapi, kondisi yang sudah cukup lama berlangsung itu mestinya harus ada upaya “menagih” komitmen Pemerintah Kab. Aceh Besar untuk memenuhi hak masyarakatnya atas pelayanan terhadap kasus kekerasan secara otonom. Hal tersebut juga penting sehingga keberadaan UPTD PPA Aceh juga bisa lebih berkosentrasi sebagai pusat layanan rujukan. Inilah salah satu petaruhan komitmen Pemerintah Aceh Besar, sampai kapan kelembagaan UPTD PPA terbentuk? Sampai kapan kasus kekerasan dari 10 kecamatan (ingat: ada 23 kecamatan di Kab. Aceh Besar) tersebut menjadi area kerja UPTD PPA Aceh?

Wacana mendorong penangan kasus secara mandiri oleh Pemerintah Kab. Aceh Besar tersebut bukan hal baru. Bertahun-tahun telah didiskusikan sejak masih era P2TP2A Aceh, sebelum menjadi UPTD PPA Aceh. Karenanya, ketika sudah ada inisiatif dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBPP dan PA) Kab. Aceh Besar dan DPPPA Aceh untuk membuat Kesepakatan Bersama dan Perjanjian Kerjasama pada awal Januari 2023 lalu terkait dengan hal tersebut menjadi sebuah langkah maju yang layak diapresiasi. Sayangnya, sejauh bacaan penulis - tidak ditemukan klausul yang menegaskan jika pihak DP2, KB, PP & PA Kab. Aceh Besar sebagai Pihak Kesatu dalam dokumen itu agar segera juga melakukan langkah-langkah persiapan pembentukan UPTD PPA sendiri. Padahal ituklah aspek paling penting dan sangat mendesak!

Semestinya, tertuang salah satu poin bahwa DPPKBPP dan PA Kab. Aceh Besar dalam masa tiga tahun (sesuai dengan waktu berlakunya) berkewajiban untuk berproses membentuk UPTD PPA di Kab. Aceh Besar, dan DPPPA Aceh siap sedia membantu proses tersebut. Setidaknya, setelah masa berlakunya berakhir, maka UPTD PPA Kab. Aceh Besar sudah beroperasi sehingga 10 kecamatan di atas bisa ditangani secara mandiri. Pertanyaannya, bagaimana Kesepakatan Bersama dan Perjanjian Kerjasama yang sudah ada tersebut harus disikapi?

Penulis menilai jika langkah terbaik adalah kedua belah pihak pro aktif meninjau ulang Kesepakatan Bersama dan Perjanjian Kerjasama itu. Langkah itu penting agar kedua belah pihak benar-benar secara elegan dapat menjalankan kewajiban dan kewenangan masing-masing dalam penanganan kasus. Upaya tersebut sebagai bagian dari menjalankan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yang bisa diupayakan bersama, termasuk dalam penanganan kasus kekerasan. UPTD PPA Aceh kemudian dapat lebih berkosentrasi mengarahkan sumberdayanya guna mendorong terwujudnya pelayanan yang lebih baik di seluruh kab/kota di Aceh.

Data Kekerasan untuk Mengoptimalkan Pelayanan

Sajian data dan analisisi di atas menunjukkan angka kekerasan yang meningkat tersebut bukan kabar bohong atau direkayasa (hoax), bukan pula kabar yang sengaja dibesar-besarkan, melainkan benar adanya. Jelas ada lonjakan jumlah kasus dan bentuk kekerasan yang makin berat dialami korban baik perempuan maupun anak. Akurasi data makin membaik, meskipun dengan catatan “fenomena gunung es” masih tetap ada. Kasus yang tercatat dan ditangani tersebut merupakan kasus yang terungkap dan dilaporkan kepada lembaga layanan.

Dalam masa beberapa tahun terakhir, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kab/Kota di Aceh sudah berupaya mewujudkan pendataan kasus yang lebih valid. Secara nasional, juga sudah tersedia aplikasi SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), yang dapat diakses oleh semua unit layanan penanganan korban kekerasan perempuan dan anak baik di tingkat nasional, provinsi, dan kab/kota di seluruh Indonesia. Tantangannya adalah komitmen lembaga layanan seperti halnya P2TP2A/UPTD PPA melakukan update data secara cepat dan kontinu yang belum optimal. Akibatnya, data diaplikasi tersebut seringnya kalah cepat dengan perkembangan data kasus secara manual dengan jumlahnya yang terus bergerak.

Jangan lupa, Pemerintah Aceh sendiri sebenarnya dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak sudah menegaskan perlu sistem penyelenggaraan data terpadu. Setelah empat tahun lamanya, seperti apa hal itu sudah dibangun dengan lintas sektor sehingga sikronisasi data-base menjadi lebih kuat? Selain pendataan, hal krusial ke depan yang harus diupayakan adalah mewujudkan publikasi data kekerasan dari Pemerintah Aceh dan pemerintah kab/kota di Aceh yang harus dikelola dengan baik dan disajikan kepada publik dalam bentuk informasi yang lebih jelas. Hal ini penting sehingga memperkecil kesalahan dalam membaca dan memaknai data kekerasan. Jangan biarkan publik membaca data kekerasan dengan sudut pandang yang berbeda. Sebab, cara demikian berisiko pada informasi dan kesimpulan yang berbeda pula, lebih bahaya lagi: keliru!

Terlepas dari semua hal demikian, bagaimana memastikan data yang sudah ada menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan? Karena itulah kita butuh data yang update dan akurat sehingga setiap kebijakan terkait agenda pencegahan, penanganan, pemulihan, hingga pemberdayaan korban akan sesuai dengan hasil analisis data. Pertanyannya, sejauhmana data kekerasan sudah menjadi pertimbangan kunci dalam mendesain kebijakan dan program tersebut?

Jangan sampai, kita sendiri yang membuat jarak antara data dengan agenda perubahan yang sedang dan akan dilakukan. Data kekerasan yang sudah direkapitulasi itu jangan pula kehilangan maknanya setelah kasus selesai ditangani. Sebaliknya, tetap menjadi pegangan dan basis informasi bagi Pemerintah Aceh dan pemerintah kab/kota di Aceh dalam menentukan arah kebijakan di masa mendatang. Semoga. [**]

Penulis: Abdullah Abdul Muthaleb

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda