Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Ego Elit, Rakyat Aceh Jadi Korban!

Ego Elit, Rakyat Aceh Jadi Korban!

Jum`at, 01 Maret 2024 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Kantor Gubernur Aceh. [Foto: Nora/Dialeksis]


DIALEKSIS.COM| Indept- Pemimpin itu berjuang untuk kepentinganya atau untuk rakyat? Apakah layak disebut sebagai pemimpin yang baik, ketika harus mempertahankan egonya, lantas rakyat yang jadi korban.

Elit di Aceh sampai saat ini masih mempertonton egonya, bagaikan sudah putus urat malu. Rakyat yang menjadi korban. Mereka tidak peduli rakyat berteriak, banyak pihak bersuara, masih tetap bersikukuh dengan kepentinganya.

Sampai saat ini APBA di negeri ujung barat Pulau Sumatera tidak kunjung tuntas. Dewan di sana masih bersikeras memperjuangkan pokirnya. Palu belum diketuk orang-orang terhormat di lembaga wakil rakyat ini, bila kepentinganya tidak diakomodir.

Dilain sisi Pj Gubernur Aceh juga bertahan dengan sikapnya, tidak mau mengorbankan daerah dalam mendapatkan anggaran kue pembangunan, bila harus sepenuhnya memenuhi keinginan anggota parlemen.

Ini memalukan. Ego elit Aceh sudah mengorbankan kepentingan rakyat. Peluang kemiskinan terbuka, dimana hati nurani mereka yang diberikan amanah untuk mengurus rakyatnya?

Bagaimana reaksi publik tentang keterlambatan pengesahan APBA, apa penyebabnya, bagaimana sikap para elit Aceh. Dialeksis.com merangkumnya.

“Malu kita dengan daerah lain,” sebut Rustam Effendi, pengamat ekonomi dan dosen Ekonomi Bisnis Universitas Syaih Kuala.

Menurut Dr. Rustam Effendi, S.E., M.Econ, hingga memasuki awal Maret 2024, kebuntuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2024 masih juga terjadi.

Suatu situasi yang tak hanya menghambat tata kelola pemerintahan, tetapi juga menggagalkan upaya memutar roda ekonomi daerah ini. Dampaknya mulai dirasakan seluruh lapisan masyarakat.

“Harus digaris bawahi bahwa urgensi APBA dalam dinamika perekonomian Aceh masih sangat bergantung pada alokasi dana publik ini,” jelasnya.

Dalam keteranganya kepada Dialeksis.com, menurut Rustam Effendi, polemik seputar APBA yang melibatkan pihak eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sesuatu yang tidak sepatutnya terjadi. Amat tidak baik dan kurang pantas dipertontonkan.

Hal ini mencerminkan, kata Rustam, kurang sinerginya hubungan dan tidak efektifnya komunikasi yang terbangun antara keduanya. Ada adu kepentingan politik yang terkesan mengesampingkan kepentingan masyarakat/publik.

Solusi yang disarankan oleh Dr. Rustam amat sederhana namun krusial sekali. Kedua belah pihak harus bersedia untuk duduk bersama dan meninggalkan ego masing-masing. Keduanya mengutamakan kepentingan rakyat Aceh.

Dr. Rustam menekankan pentingnya dialog yang terbuka dan jujur antara kedua pihak. Para pihak dapat mengemukakan pandangannya, tetapi tidak merasa pihaknya yang lebih unggul dan paling benar.

"Permasalahan ini bukan tentang memilih antara kepentingan eksekutif atau legislatif, melainkan bagaimana keduanya bersama-sama mencari solusi terbaik untuk Aceh kita," katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ekonomi Aceh amat ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Kontribusinya mencapai lebih dari 50%. Kondisi ini sangat rentan terhadap ketidakstabilan. Apalagi Ketergantungan terhadap anggaran pemerintah sangat dominan.

Makin lambatnya pengesahan APBA akan berimbas pada tertundanya pengeluaran untuk operasional pemerintahan daerah, honorarium, ragam pengadaan barang dan jasa.

Termasuk tertundanya eksekusi anggaran belanja pembangunan seperti input pertanian: bibit, benih, pupuk, alsintan, dan lainnya, serta terganggunya layanan publik. Jika ini terus berlanjut akan rentan menimbulkan krisis ekonomi dan timbulnya gejolak sosial dalam masyarakat.

“Oleh karena itu, penyelesaian masalah APBA bukan hanya masalah administratif, tapi juga urusan ekonomi yang mendesak,” tandasnya.

Dr. Rustam juga menyarankan agar pertemuan-pertemuan yang diprakarsai oleh pemerintah pusat dapat segera menelurkan hasil. Para pihak pembuat kebijakan hendaknya menyadari bahwa masyarakat termasuk sektor swasta/dunia usaha dan masyarakat sangat menantikan percepatan pengesahan RAPBA 2024 ini.

"Kita juga perlu memperhatikan dan mendengar suara dunia usaha dan masyarakat. Bukan hanya berkutat pada kepentingan eksekutif dan legislatif saja," tambahnya.

Selain itu ia menambahkan pentingnya transparansi dan rasionalisasi dalam pembahasan APBA. Semua pihak harus dapat memahami bahwa tidak semua keinginan dapat terpenuhi. Harus ada prioritas yang jelas dalam alokasi anggaran dalam APBA.

Sebagai tindakan konkret, Dr. Rustam menyarankan agar pemimpin Aceh, termasuk Gubernur yang bukan berasal dari Aceh, dapat bertindak sebagai mediator yang netral dan efektif. Kepemimpinan yang kuat dan objektif diharapkan dapat membawa sudut pandang baru dan mendorong semua pihak untuk mencapai kesepakatan.

Menurut dosen yang memegang sertifikat risk management ini menegaskan, "Kita perlu membangun Aceh dengan penuh dedikasi dan sepenuh hati, bukan dengan ambisi politik semata. Hanya dengan cara ini kita bisa melihat Aceh maju dan sejahtera di masa depan."

APBA bagaikan mengurai benang kusut yang saban tahun terjadi. Sebenarnya itu tidak harus berjadi bila semua pihak mampu membangun dialog, bersinergi, dan untuk kepentingan publik, itu akan menjadi kunci utama.

Menurutnya, sudah seharusnya semua pihak bersatu pikiran dan sikap serta tindakan. Kesampingkan seluruh perbedaan yang ada. Mari memusatkan perhatian pada pemulihan ekonomi Aceh yang kini masih tetap yang terendah pertumbuhannya di Sumatera. Jangan biarkan kondisi ini terus memburuk. Malu kita pada daerah lain!

Bersikap Jujur

Molornya penetapan APBA 2024 karena ada tarik menarik kepentingan, itu sudah pasti. Bahkan mereka yang berbeda pandangan itu berbalas pantun di media. Saling membela diri dan menyalahkan pihak lain.

Ada tulisan menarik yang diulas wartawan MODUSACEH.CO Muhammad Saleh, dia meminta agar Achmad Marzuki, Pj Gubernur Aceh untuk jujur. Dalam uraian tulisanya, dipertegas bagaimana kronologi yang didapati wartawan ini.

Menurutnya, realisasi APBA 2024 masih tersandera, karena masuknya anggaran tambahan untuk KONI Aceh Rp40 miliar dan gaji serta tunjangan ASN Rp900 miliar lebih, setelah adanya revisi dari Kemendagri.

Apakah karena ketua DPRA tidak bersedia menanda tangani, Pj Gubernur Aceh diminta untuk jujur. Karena, sesuai ketentuan, jika sampai tujuh hari sejak diterima hasil evaluasi dari Menteri Dalam Negeri, tapi tak ada juga tanda tangan kesepakatan dari Ketua DPRD (DPRA), Gubernur dapat menetapkan Perda (Qanun) APBD berdasarkan hasil penyempurnaan (revisi) tadi.

Hal itu sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 77 Tahun 2020, tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Gubernur punya wewenang dalam persoalan ini. Namun Pj Gubernur tidak melakukanya.

Semuanya berdampak kepada rakyat, aparatur sipil negara (ASN), apalagi Ramadhan dan Idul Fitri sudah menjelang. Yang jadi tanda tanya besar, mengapa hingga kini Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki tak segera merealisasi APBA 2024, padahal aturan telah memberi kewenangan penuh pada mantan Pangdam Iskandar Muda ini?

Menurut Saleh, usai Kemendagri mengembalikan revisi APBA 2024 kepada Pemerintah Aceh tanggal 15 Januari 2024, seolah-olah “bola panas” ada di parlemen khususnya Ketua DPR Aceh Zulfadli (Abang Samalangga).

Saleh meminta adanya kejujuran dari Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki terhadap berbagai kelalaian dan dugaan “permainan anggaran” yang menjadi bancakan (kenduri) untuk berbagai pihak ini.

Awalnya APBA Tahun 2024 sebesar Rp11,721 triliun lebih. Setelah mengalami defisit Rp275 miliar lebih dan sesuai hasil revisi Kemendagri, Pagu APBA 2024 menjadi Rp11,446 triliun.

Dari jumlah tersebut, ada Rp708 miliar yang harus dikeluarkan sebagai dana sharing untuk pelaksanaan PON XXI-2024 di Aceh. Jumlah ini membengkak dari alokasi awal yaitu Rp505 miliar atau 4,31 persen dari total belanja daerah tahun ini atau 2024.

Dalam tulisanya Saleh menjelaskan, total kebutuhan dana pelaksanaan PON XXI-2024 di Aceh mencapai Rp1,7 triliun. Ini memang lebih kecil jika dibandingkan PON XX-Papua yaitu, Rp3,63 triliun.

“Hanya saja dapat dimaklumi karena PON Papua, semua sarana dan prasarana (venue) dibangun baru, sementara di Aceh hanya rehabilitasi saja. Kecuali untuk venue kecil sekelas lapangan tenis,” jelas Muhammad Saleh.

Menurutnya, jika dana sharing Pemerintah Aceh untuk PON 20 persen saja dari Rp1,7 triliun, berarti hanya perlu mengeluarkan Rp340 miliar. Namun faktanya, justeru berlebih atau Rp708 miliar.

Buat apa dana sebesar itu? Rp404 miliar yang diperuntukkan (hibah) bagi Panitia Besar (PB) PON 2024 Aceh, untuk KONI Aceh Rp80 miliar.

Awalnya didalam APBA 2024 yang disetujui Rp 40 miliar, namun bertambah Rp40 miliar lagi setelah direvisi Kemendagri. Penambahan ini atas perintah Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki, tanpa persetujuan DPR Aceh.

Selain itu, tulis Saleh, ada alokasi Rp102 miliar di Dinas Perkim Aceh, yang merupakan sisa dana dari APBA-P 2023, Rp122 miliar (juga untuk PON) sehingga menjadi total Rp708 miliar.

Menurut Saleh, macetnya realisasi APBA 2024, disebut-sebut juga karena ketidak tahuan Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki. Pada APBA 2024, tidak dimasukkan 8 persen dari total anggaran untuk gaji dan tunjangan aparatur sipil negara (ASN). Padahal, ini anggaran wajib, sesuai Peraturan Pemerintah No:5/2024, tentang Perubahan Kesembilan Belas atas Peraturan Pemerintah No:77 Tahun 1977, tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.

Akibat “kebodohan” inilah, gaji dan tunjangan ASN serta tenaga honorer di jajaran Pemerintah Aceh, hingga kini belum bisa dibayarkan, karena tidak termuat dalam APBA 2024, tulis Saleh.

“Karena itulah, Pj Gubernur Aceh kemudian mengajukan surat kesepakatan pimpinan kepada Ketua DPRA dengan memasukkan Rp40 miliar dana tambahan untuk KONI Aceh serta gaji dan tunjangan ASN yang tidak dimasukkan dalam APBA 2024”.

Inilah penyebab mengapa Ketua DPR Aceh tak mau menandatangani surat kesepakatan pimpinan tersebut, karena memang penambahannya tidak dibahas dan dibicarakan bersama dengan pimpinan dewan, tulisnya.

Secara hukum Ketua DPR Aceh memang harus ekstra hati-hati. Sebab, bukan tidak mungkin kebijakan di luar aturan akan berdampak atau berimplikasi hukum di kemudian hari.

Menurut Saleh, kebodohan dan keserakan Pj Gubernur Aceh coba dialihkan dan dikesankan, seolah-olah Ketua DPRA tidak peka dengan persoalan masyarakat dan ASN, sehingga menghambat realisasi APBA 2024.

Soal Pokir

Riuhnya pembahasan anggaran pemantiknya para perlemen berjuang memuluskan kepentingan pribadinya dalam bentuk Pokir (Pokok-pokok pikiran). Semula nilainya Rp 400 miliar, justru membengkak mencapai Rp 1,2 triliun.

Penambahan nilai Pokir ini menguak ke publik, setelah mengkindiskan TAPA untuk menaikkan nilai Silpa tahun anggaran 2023. Adanya kelebihan hitungan estimasi Silpa tahun 2023 yang dimuat dalam APBA 2024 nilainya mencapai Rp 400 miliar.

Anggaran 2023 sengaja “dikemas” menjadi SiLPA, agar tahun anggaran 2024 mereka yang saat ini duduk di parelemen ketiban rejeki dari Pokir.

Sebelumnya, Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA dalam keteranganya kepada media seperti dilansir Serambi menyebutkan, pihaknya melakukan penyesuaian APBA 2024 sesuai hasil evaluasi Kemendagri. Penyesuaian ini karena saat pembahasan APBA 2024 antara TAPA dan Banggar DPRA mensiati adanya penambahan SiLPA yang akan dijadikan untuk Pokir.

"Sehingga dari sebelumnya pokir berjumlah Rp 400 miliar, terjadi pembengkakan sampai Rp 1,2 triliun lebih," ungkap MTA . Kemendagri meminta TAPA untuk meninjau ulang nilai Silpa tersebut hingga posisi keuangan berimbang antara pendapatan dan belanja.

Sebab kelebihan Silpa yang disengaja sampai Rp 400 miliar ini, mengakibatkan devisit terbuka terhadap APBA. Oleh karena itu harus adanya rasionalisasi atau pengurangan atau penghapusan kembali program-program yang dimasukkan pada perubahan RKPA 2024 agar posisi keuangan berimbang sebagaimana perintah hasil evaluasi kemendagri.

Menurut MTA, TAPA yang dipimpin Sekda Bustami Hamzah dan Banggar DPRA yang dipimpin Ketua DPRA Zulfadli (Abang Samalanga) telah melakukan koordinasi langsung dengan pihak Kemendagri di Jakarta.

"Masalah yang muncul kemudian adalah pihak dewan tidak menyetujui pemotongan pokir dari penambahan Silpa yang disengaja tersebut, yang kemudian mengakibatkan agenda wajib dan prioritas SKPA menjadi korban," ujar MTA.

Menurut MTA, seharusnya yang harus dilakukan adalah, kelebihan yang disengaja tersebut harus dikurangi dari penambahan pokir dewan susulan, bukan justru merusak agenda-agenda wajib dan prioritas SKPA.

"Dewan harus objektif dan tidak ngotot atas pemaksaan pertahankan penambahan pokir, harus ada kerelaan pemotongan bersama atas kelebihan yang disengaja Rp 400 miliar tersebut, untuk tidak mengorbankan program-program prioritas SKPA. Inilah rasionalisasi yang sedag dilakukan saat ini," jelas MTA.

Namun dalam perjalananya hingga saat ini realisasi APBA 2024 belum terwujud. Eksekutif dan legeslatif saling tuding. Berbalas pantun. Namun satu yang pasti, akibat ego kepentingan para elit ini, rakyat yang menjadi korban.

Uraian tentang permainan ini, sebelumnya Dialeksis.com sudah menayang tulisan dengan judul Pembengkakan Pokir, Anggaran Aceh Bukan Untuk Elit dan Politisi

Prihatin

Polemik Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2024 antara Pemerintah Aceh dengan Dewan Perwakilan Daerah Aceh (DPRA) sampai saat ini belum berahir. Walau sebelumnya Muhammad MTA, Jubir Pemerintah Aceh menyebutkan bahwa pada tanggal 15 Januari 2024 hasil evaluasi Kemendagri sudah diterima oleh Pemerintah Aceh.

Namun sampai kini tidak ada realisasinya, masih tergantung akibat tarik menarik kepentingan elit Aceh. Rakyat Aceh yang menjadi korban.

Terkait polemik APBA TA 2024 ini, ahli keuangan daerah dari Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala Dr. Syukriy Abdullah, SE, M.Si, Ak. mengungkapkan keprihatinannya.

Menurutnya, perlu dilakukan beberapa hal untuk membuat penetapan APBA bisa lebih efektif dan tidak menimbulkan prasangka buruk, terutama kepada DPRA sebagai wakil rakyat di pemerintahan.

Pertama, menyepakati esensi POKIR. POKIR adalah hak anggota DPRA yang harus diakomodir dalam APBA, disesuaikan dengan prioritas pembangunan dalam RKPA. Besaran POKIR menjadi persoalan karena sering tidak sejalan dengan prioritas, namun bukan menjadi masalah jika sudah mengikuti RKPA.

Kedua, dalam UU Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa penggunaan dana Otsus untuk proyek harus dibicarakan dengan DPRA. Diskusi ini sepertinya tidak berjalan dengan baik karena TAPA menentukan besaran POKIR yang dibiayai dari dana Otsus secara sepihak.

Ketiga, rasionalisasi yang direkomendasikan oleh Kemendagri seharusnya disusun dan disampaikan oleh TAPA kepada DPRA, sesuai dengan yang sudah dibahas dengan DPRA. Sampai saat ini, hasil rasionalisasi tersebut belum diterima oleh DPRA.

Keempat, perlunya dirasionalisasi tunjangan-tunjangan pejabat Aceh terkait dengan penurunan jumlah dana Otsus sebesar 50 persen yang terjadi sejak tahun 2023. Jika besaran POKIR DPRA berkurang karena penurunan dana Otsus, seharusnya tunjangan pejabat daerah juga dirasionalkan.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terlambatnya penetapan APBA TA 2024 dengan Qanun Aceh bukan semata-mata karena kesalahan di DPRA. TAPA sangat terlambat dalam menindaklanjuti rekomendasi dari Kemendagri, yang sudah dengan tegas menyatakan tidak menyetujui penetapan APBA dengan Peraturan Gubernur Aceh.

Menurut Syukriy Abdullah, keinginan Pemerintah Aceh untuk mem-Pergub-kan APBA seharusnya dihilangkan. Meskipun sebagian anggota DPRA tidak terpilih lagi dalam Pemilu tahun 2024 ini, hak terhadap POKIR tetap ada pada anggota DPRA.

“Jangan sampai pengelolaan POKIR menjadi masalah yang merembet ke persoalan lain. terlambatnya penetapan Qanun tentang tentang APBA, berdampak pada pembayaran tunjangan anggota DPRA selama 3 atau 6 bulan sesuai aturan,” sebutnya.

Sampai saat ini, tunjangan tersebut delum dibayarkan. Yang jadi pertanyaan, apakah tunjangan pejabat daerah tetap dibayarkan?

Bagaimana pendapat aktivis muda? Menurut Ketua Umum HMI Komisariat FISIP USK, Farhan Mubaraq, meminta DPRA dan Pemerintah Aceh dalam waktu yang cepat agar memberi kepastian akan realisasi APBA 2024 yang sejak akhir tahun lalu belum tuntas hingga hari ini.

Menurut Farhan Mubaraq, elit pemerintah dan DPRA terlanjur sibuk dengan agenda kepemiluan yang melibatkan hampir seluruh incumbent dewan. Padahal APBA merupakan instrument bagi rakyat dalam mewujudkan banyak hajat.

“Sampai kini kita belum mendapatkan kepastian kapan APBA akan direalisasikan. Ini tentu menjadi mudarat, dewan-dewan kita lalai akibat menyibukkan diri pada proses pemenangan pileg 2024,” ungkap Farhan Mubaraq kepada dialeksis.com, Rabu, (28/2/2024).

Mubaraq menyampaikan, urgensi pengesahan APBA 2024 adalah agar terjaminnya roda pemerintahan dan memberi garansi agar telaksananya berbagai rencana kerja jangka pendek maupun panjang dalam rangka penyejahteraan masyarakat. Ia berpendapat penundaan realisasi APBA berdampak buruk pada aspek-aspek vital terutama pada aspek pelayanan publik.

“APBA yang tersendat membuat banyak hal tidak terselenggara dengan maksimal. Bukan hanya sekedar belanja bahan kerja yang terancam tidak terbeli, lebih dari itu gaji para ASN dan para tenaga kerja lain juga tidak diberikan,” ujar Mubaraq.

Mahasiswa Ilmu Politik USK itu juga menyebutkan bahwa, dinamika antara legislatif dan eksekutif telah menjadi santapan lama masyarakat Aceh dan membuat masyarakat muak. Ia berpendapat dengan tidak ditanda tanganinya APBA T.A. 2024 akan berdampak buruk bagi lima juta masyarakat Aceh.

“Untuk itu kami mendesak agar DPRA dan Pemerintah Aceh jangan bertele-tele dan secepatnya mengambil langkah strategis dan taktis untuk memastikan realisasi APBA 2024,” pungkasnya.

Realisasi APBA yang terlambat telah membawa ekonomi Aceh ke dalam kondisi stagnan yang mengkhawatirkan. Proyek-proyek pembangunan terbengkalai, investasi terhambat, dan lapangan kerja yang seharusnya tercipta pun tertunda.

Catatan Dialeksis.com, keadaan seperti ini membuat masyarakat Aceh mengalami ketidakpastian ekonomi, dampaknya akan terasa setiap lini kehidupan.

Dalam konteks ekonomi, penundaan realisasi APBA menciptakan lingkaran setan yang sulit diputuskan. Sektor usaha, terutama UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), menjadi korban utama dari ketidakpastian ini.

Tanpa dukungan dana yang cukup, pertumbuhan mereka terhambat, dan potensi mereka untuk menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan rumah tangga pun terancam.

Selain itu, sektor pendidikan dan kesehatan juga merasakan dampaknya. Program-program peningkatan mutu pendidikan dan akses kesehatan masyarakat terkendala karena keterbatasan anggaran. Hal ini mengancam generasi muda Aceh dengan kurangnya akses terhadap pendidikan yang berkualitas dan pelayanan kesehatan yang layak.

Kondisi ini juga berpotensi mengganggu stabilitas sosial. Ketidakpastian ekonomi sering kali memunculkan ketegangan sosial, meningkatkan tingkat ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengancam kedamaian dan kemajuan Aceh.

Memperhatikan keadaan ini, tentunya dibutuhkan langkah-langkah tegas dan terukur dari pemerintah Aceh untuk mengatasi masalah ini. Transparansi dalam pengelolaan anggaran, percepatan proses perencanaan dan pelaksanaan proyek, serta kerja sama dengan pihak-pihak terkait akan menjadi kunci untuk mengatasi krisis ini.

Selain itu, peran serta aktif masyarakat dalam pengawasan dan pengelolaan anggaran juga sangat penting. Dengan demikian, dapat memastikan bahwa setiap rupiah APBA benar-benar digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Publik sangat berharap, agar pemerintah Aceh segera menanggapi tantangan ini dengan serius dan bertanggung jawab. Terlambatnya realisasi APBA tidak hanya masalah administratif semata, tetapi berpotensi merusak masa depan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Aceh secara keseluruhan.

Apakah persoalan ini akan dibiarkan? Kapan APBA 2024 bisa direalisasikan. Inilah yang dinanti publik. *** Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda