Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Menguak SPPD Fiktif KKR Aceh

Menguak SPPD Fiktif KKR Aceh

Kamis, 14 September 2023 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

DIALEKSIS.COM | Indepth - Tugasnya sangat mulia. Berupaya memulihkan luka hati rakyat Aceh yang didera konflik. Mereka diberikan wewenang mengungkapan kebenaran, reparasi dan rekonsiliasi, terhadap para korban konflik Aceh.

Namun sayatan luka rakyat Aceh yang belum benar pulih itu, kali ini bagaikan disiram cuka. Perih. Orang yang diamanahkan untuk mengurus para korban konflik melalui intansi KKR justru “mengkhianati” amanah yang diberikan.

Sadisnya lagi, mereka sepakat berjamaah melakukanya. Hampir seluruh personil di instansi ini menipu publik. Ada 7 komisioner, 12 staf Rekon BRA yang diperbantukan di KKR Aceh, 6 staf BRA dan 33 anggota pokja terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi.

Mereka mengolah SPPD, seolah-olah mereka serius menjalankan amanah. Laporan pertanggungjawaban rapi. Namun amanah itu mereka khianati, hasil laporan audit tim Inspektorat Aceh atas dugaan korupsi SPPD fiktif, menguak kinerja orang kepercayaan rakyat Aceh ini.

Ketika terkuak, siapapun yang terlibat dalam dugaan korupsi akan berupaya semaksimal mungkin untuk membebaskan diri dari jeratan hukum. Demikian juga yang dilakukan oleh mereka penikmat SPPD fiktif di Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh.

Secara berjamaah pula mereka mengembalikan uang kerugian negara, setelah pihak penyidik mengultimatum harus mengembalikan kerugian negara selama 60 hari.

Publik dibuat terkejut, tidak menduga dilakukan berjamaah. Sangat kompak. Perhatian publik tertuju pada dugaan korupsi SPPD fiktif KKR. Pihak penyidik akan menggelar perkara untuk menghentikan penyidikan kasus ini.

Semudah itukah kasusnya selesai? Apakah pihak penyidik akan menghentikan penyidikan kasus ini? Bagaimana perhatian dan keinginan publik dalam kasus dugaan korupsi di KKR Aceh.

Mereka yang terlibat dalam dugaan korupsi SPPD fiktif KKR Aceh telah mengembalikan kerugian keuangan negara sebesar Rp258,5 juta.

“Kasus SPPD fiktif di KKR Aceh ini kita selesaikan secara restorative justice dan pengembalian kerugian keuangan negara oleh KKR Aceh,” kata Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh Kompol Fadillah Aditya Pratama menjawab media.

Fadillah menyampaikan, dalam perkara ini awalnya terjadi dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan SPPD di KKR Aceh yang bersumber dari dana APBA pada BRA tahun anggaran 2022.

58 orang terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi SPPD fiktif tersebut. Pengembalian uang hasil dugaan tindak pidana korupsi perjalanan dinas itu dilaksanakan di Aula Polresta Banda Aceh, Kamis (7/9/2023). Uang tersebut diserahkan langsung ke Satreskrim Polresta Banda Aceh oleh Komisioner KKR Aceh, dan disetorkan ke Kas Pemerintah Aceh. 

Rincian dugaan tindak pidana korupsi itu digunakan untuk SPPD fiktif Rp47 juta, mark up biaya penginapan hotel Rp65 juta, pulang lebih cepat Rp45 juta, bill fiktif Rp78 juta dan uang saku tidak sesuai.

"Dengan adanya pencegahan, artinya proses hukum tidak dilanjutkan. Karena dananya sudah dikembalikan semua. Dan apa yang kita lakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dan ini diutamakan sesuai dengan aturannya,” sebut Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh.

Tidak Punya Dasar Hukum

Apa yang disebutkan Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh dalam menangani kasus dugaan korupsi SPPD fiktif di KKR Aceh, apakah memiliki dasar hukum yang kuat?

Bagaimana pandangan Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian? Menurutnya, penyelesaian kasus dugaan korupsi biaya perjalanan dinas (SPPD) fiktif Komisioner dan Staf Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh secara restorative justice (RJ) tidak punya dasar hukum.

"Ini sebenarnya tidak mendasar. Seharusnya penyidik tetap harus berpedoman kepada UU Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana telah diperbaharui oleh UU Nomor 20 Tahun 2001, di pasal 4 pengembalian kerugian keuangan negara itu tidak menghapus pidana," sebut Alfian, kepada Dialeksis.com, Sabtu (9/9/2023).

Alfian mengatakan, langkah Polresta Banda Aceh menghentikan dan menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi melalui restorative justice itu sama sekali tidak tepat dan tidak memiliki dasar apapun.

"Restorative justice sendiri dibangun untuk menyelesaikan kasus-kasus ringan ketika bermuara kepada proses penyelesaian melalui hukum. Jadi kalau kasus korupsi ini diselesaikan melalui RJ maka akan berdampak buruk," ungkapnya.

Apalagi, sambungnya, saat ini Polresta Banda Aceh sedang menangani kasus korupsi lahan zikir, jika pelaku kasus tersebut juga meminta hal yang sama untuk diselesaikan melalui restorative justice bagaimana nantinya?

"Restorative justice ini juga akan menjadi tameng ataupun pelindung bagi orang-orang yang bermental korupsi. Karena ketika ketahuan bisa mengembalikan kerugian keuangan daerah dan itu tidak ada proses apapun dan tidak ada efek jera. Sementara negara sudah membentuk konstruksi hukum yang sangat kuat terhadap penyelesaian kasus-kasus tindak pidana korupsi yang terjadi," jelasnya.

Menurut Alfian, tindakan korupsi adalah masuk dalam kejahatan luar biasa dan Indonesia sudah menyatakan bahwa kasus korupsi, terorisme, narkoba itu masuk sebagai kejahatan luar biasa. Jadi tidak ada proses negosiasi, tidak ada proses toleransi terhadap kasus Tipikor yang terjadi di manapun juga.

Untuk itu, MaTA berharap Polresta Banda Aceh lebih hati-hati menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi melalui restorative justice. Karena, orang lain ketika akan melakukan tindak pidana korupsi ke depan juga akan meminta proses penyelesaian melalui RJ, sehingga ini akan sangat berbahaya terhadap proses penegakan hukum dan ini juga membuka peluang bagi orang melakukan korupsi akan lebih luas lagi.

"Oleh karena itu, kita menyatakan sikap proses penyelesaian tindak pidana korupsi melalui RJ itu tidak mendasar dan itu tidak bisa dilakukan begitu saja ataupun dihentikan begitu saja. Karena ini bicara soal hukum sebagai panglima, bukan penyelenggara hukum yang sebagai panglima," jelasnya.

Alfian juga membeberkan bahwa banyak pihak publik bertanya-tanya terkait proses hukum tindak pidana korupsi ini kenapa bisa diselesaikan secara restorative justice.

Menurutnya, Polresta juga perlu menjelaskan ke publik apa dasar ini dilakukan melalui restorative justice, aturannya di mana, atau memang ini hanya adalah inisiatif dari Polresta sendiri.

"Kalau memang ini dianggap ada aturannya, disebutkan aturan apa," tuturnya.

Selanjutnya, kata Alfian, perlu dipahami bahwa modus operandi ataupun modus tindak pidana korupsi yang terjadi di Komisioner KKR ini adalah modus yang dominannya adalah fiktif.

Bagi Alfian, fiktif ini adalah modus yang paling jahat yang terjadi dalam wilayah tindak pidana korupsi. Makanya sangat tidak beralasan ataupun tidak bisa menerima kalau kasus tindak pidana korupsi diselesaikan melalui RJ.

"Jadi yang perlu diselamatkan hari ini bukan orang-orangnya, tapi kelembagaan KKR-nya itu yang menjadi penting. Karena terutama dari publik sendiri dan juga para korban tidak menginginkan bahwa orang yang ada di KKR itu bermental korup dan pencuri," tegasnya.

Menurutnya, Komisioner KKR Aceh harus dihuni oleh orang-orang yang memiliki mental integritas, memiliki tanggung jawab moral yang kuat, terutama bagaimana untuk memastikan terhadap pemenuhan hak korban yang sampai hari ini itu belum ada kejelasan.

Kasus dugaan SPPD fiktif menjadi pembahasan publik, perbedaan antara penyidik dengan Alfian MaTA mengelinding bagaikan bola salju yang belum jelas muaranya.

Disaat hiruk pikuk pembahasan ini, Dialeksis.com meminta penjelasan Kanit Tipikor Penyidik Polresta Banda Aceh, Ipda Zainur Fauzi, tentang restorative justice (RJ) seperti yang diungkapkan Kasat Reskrim.

Menurut Kanit Tipikor, penanganan kasus tersebut bukan dihentikan, namun akan dilakukan gelar perkara. Bagaimana kelanjutanya semua itu akan diputuskan dalam gelar perkara.

Dijelaskan Ipda Zainur Fauzi, kasus ini bermula dari proses penyelidikan, pihak penyidik menggandeng Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk proses perhitungan kerugian negara.

"Lalu berdasarkan kesepakatan antara Polda dengan inspektorat dan juga dari Kapolri dan Kejaksaan, setelah adanya kerugian ini, kita melakukan pemulihan terkait kerugian negara bagi KKR dan KKR ini bersedia mengembalikan dalam batas waktu yang ditentukan APIP selama 60 hari," jelasnya kepada Dialeksis.com, Sabtu (9/9/2023).

Langkah itu, kata Zainur, memberi peluang kepada yang terlibat dengan alasan mengingat proses penanganan dan penyidikan kasus korupsi ini butuh biaya besar. Jadi jika memang kerugiannya kecil itu bisa dilakukan pemulihan.

Artinya, lanjut Zainur, kerugian keuangan negara itu diproses penyelidikan sudah selesai, tinggal nanti dilakukan gelar perkara. Kasus tersebut belum diberhentikan, masih ada proses hukum berikutnya yaitu gelar perkara.

Ia meminta publik dan para pihak jangan salah paham terkait berita yang beredar. Sampai saat ini, Polresta Banda Aceh belum menghentikan kasus SPPD Fiktif itu.

"Jadi terkait dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, di pasal 4 pengembalian kerugian keuangan negara itu tidak menghapus pidana, itu nanti larinya apabila sudah ke tahap penyidikan, ini masih tahap penyelidikan," jelasnya.

Dialeksis.com, mendapat WA dari Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, AKP Fadilah yang meluruskan penjelasan soal restoratif justice (RJ). Dalam kasus KKR jelasnya,  penyelesaian dengan restoratif / pemulihan keuangan negara atau daerah.

"Pemulihan bisa dikatakan restoratif, tetapi bukan restoratif justice," jelas Fadilah.

Kegiatan tersebut dilakukan oleh APIP (Aparatur Pengawas Internal Pemerintah) dan APH (Aparat penegak hukum) yang mana dilaksanakan sesuai dari PKT (Pedoman Kerja Teknis) penanganan dugaan tindak pidana korupsi pada penyelenggara Pemerintah Aceh.

"PKT itu dibuat mempedomani dari nota kesepahaman antara Kemendagri, Jaksa Agung, dan Kapolri," jelasnya.


Melukai Hati Rakyat Harus Mundur

Mantan Wakil Ketua MPR RI sekaligus tokoh masyarakat Aceh, Ahmad Farhan Hamid meminta orang-orang yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi biaya perjalanan dinas (SPPD) fiktif Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh untuk mundur dari jabatan.

“Jika memang telah ada temuan tindak kriminal penyalahgunaan keuangan, saya berpandangan agar semua mereka yang terlibat untuk memberi pertanggungjawaban moral, yakni mundur dari jabatan, baik komisioner maupun tenaga non komisioner,” tegasnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Senin (11/9/2023).

Selanjutnya, kata dia, penegakan hukum tetap berlanjut, meski pertanggungjawaban moral telah dilakukan.

Menurutnya, Aceh ke depan harus lebih mengutamakan pertanggungjawaban moral, dari pada menunggu pertanggungjawaban hukum.

“Adanya pasal KKR dalam UUPA sebenarnya lebih pada pendekatan kemanusiaan dan keluhuran budi untuk mengembalikan marwah bangsa Aceh dan korban lainnya yang teraniaya selama konflik panjang Aceh,” imbuhnya.

Dari sana, sambungnya, mesti ada benang merah dalam rekrutmen personil yang telibat dalam kelembagaan KKR Aceh, meski melalui proses lembaga politik (DPRA), tetapi basis keluhuran budi personilnya tetap menjadi pertimbangan utama, sebutnya.

Soal SPPD fiktif, juga menggugah Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna untuk bersuara. Menurutnya, adanya kasus dugaan korupsi biaya perjalanan dinas (SPPD) fiktif di Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh membuat semua pihak terpukul, terutama korban konflik.

Sebagaimana diketahui, kata dia, KKR Aceh dibentuk untuk mengungkap fakta kebenaran atas berbagai kasus atau peristiwa pelanggaran HAM di Aceh.

“Namun faktanya, hari ini orang-orang yang ada di komisi kebenaran justru tersandung kasus korupsi, itu sangat disayangkan,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Minggu (10/9/2023).

Sejak awal, sambungnya, orang-orang yang terpilih masuk ke lembaga KKR tentu mereka sudah mengerti bahwa ini lembaga pemerintah yang bekerja untuk korban konflik. Lalu ketika terjadi kasus ini tentu melukai hati korban.

“KKR ini hanya satu-satunya di Aceh, provinsi lain di Indonesia tidak ada komisi kebenaran. Harusnya lembaga itu dijalankan secara akuntabel,” kata Nana.

Untuk itu, kata Nana, Komisi I DPR Aceh perlu segera mengevaluasi Komisioner KKR. Supaya publik menjadi yakin terhadap lembaga ini, jika tidak ini maka akan menjadi citra buruk bagi lembaga negara dan menghilangkan kepercayaan korban.

“Evaluasi ini penting untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa pemerintah itu serius, jangan khawatir kalau dievaluasi tapi jadikan untuk memperbaiki sistem,” pungkasnya.

Sementara itu, mantan Anggota Komisi I DPR Aceh, Azhar Abdurrahman ikut prihatin dengan apa yang terjadi di lembaga KKR Aceh saat ini, walau dirinya tidak lagi bertugas di Komisi I.

Menurut Politisi Partai Aceh ini, persoalan banyak desakan untuk mengundurkan diri dan menggantikan orang-orang yang terlibat dalam kasus korupsi tersebut bukanlah hal yang mudah.

Sebagai salah satu anggota Komisi I yang pernah bertugas merekrut anggota KKR Aceh, Azhar meminta semua pihak menunggu dulu proses hukum yang sedang berjalan.

“Kalaupun nanti sudah ada status tersangka, dan terjadi kekosongan di kelembagaan KKR, baru kita dibicarakan lagi bagaimana tindak lanjutnya,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Rabu (13/9/2023).

Bagi Azhar, tidak perlu dilakukan rekrutmen baru dari awal, tetapi cukup dengan PAW hingga habis sisa masa jabatan. Di samping itu juga, kata dia, perlu bagi Komisi I DPR Aceh untuk melakukan evaluasi terhadap para komisioner maupun tenaga non komisioner.

Di lain sisi sehubungan dengan maraknya kasus ini menjadi pembahasan publik, para komisioner Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh memilih bungkam dan tidak memberikan komentar, terkait tuntutan beberapa pihak yang meminta mereka untuk mengundurkan diri dari jabatan.

Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya saat Dialeksis.com meminta tanggapannya mengenai tuntutan publik untuk mundur dari jabatannya, dia enggan memberikan komentar.

 “Tidak ada komentar,” kata Masthur Yahya singkat dalam pesan whatsapp yang diterima Dialeksis.com, Senin (11/9/2023).

Publik kini menanti drama apalagi yang akan terjadi di KKR Aceh. Apakah kasus ini akan dihentikan restorative justice (RJ), atau seperti yang diungkapkan Alfian MaTA, harus ada kepastian hukum hingga putusan pengadilan.

Apakah mereka akan mundur seperti tuntutan publik, karena mengkhianati amanah, atau mereka menutup telinga rapat-rapat. Tugas yang diemban personil KKR adalah tugas mulia, membalut luka para korban atas prahara konflik.

Tugas yang mulia membalut luka ini membutuhkan manusia yang berhati luhur. Bukan manusia yang memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi. Tabuhan irama soal KKR Aceh masih menggema, langgam apa lagi yang akan disaksikan publik?. [BG]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI