Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Lakon Sengketa Lahan Meunasah Kulam, Milik Siapa?

Lakon Sengketa Lahan Meunasah Kulam, Milik Siapa?

Jum`at, 30 Agustus 2019 14:26 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baim
Pengukuran tanah warga Desa Meunasah Kulam oleh pihak BPN atas permintaan TNI, Rabu, (14/8/2019)

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - 74 tahun sudah Indonesia merdeka. Namun, masih ada warga yang luput dari atensi Republik ini untuk mendapat kepastian penghidupan yang layak.

Setidaknya, itulah yang terekam pada kehidupan masyarakat Gampong Meunasah Kulam, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Ditengah hiruk pikuk dan hingar bingar pembangunan, sejumlah warga gampong Meunasah Kulam hidup ditengah kebingungan dan ketidakpastian atas status tanah yang telah mereka tempati secara turun temurun. Mereka dianggap telah menempati lahan milik TNI. 

Bukan hanya itu, sejumlah warga dilaporkan mengalami intimidasi berupa ancaman akan digusur paksa, atau disebut sebagai pemberontak jika tidak mengakui tanah yang selama ini mereka tempati merupakan milik TNI.

Pengakuan Intimidasi

Dialeksis.com mencoba menggali keterangan dari kepala desa setempat, Kurnia. Namun, tidak banyak keterangan yang didapat karena ia sendiri mengaku tidak tahu banyak mengenai sengketa lahan yang dimaksud.

"Coba tanya kepada warga saja bang, saya kurang tahu banyak mengenai persoalan itu," jawab Kurnia melalui pesan pendek kepada Dialeksis.com, Jumat, (23/8/2019). Dia pun turut memberikan nomor kontak warga yang menurutnya paham dengan persoalan tersebut.

Salah seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya, kepada media ini, membenarkan ihwal intimidasi itu. Menurutnya, pihak TNI Koramil 05/Mesjid Raya telah memaksa warga setempat untuk menandatangani surat pernyataan pengakuan bahwa sejumlah tanah di desa tersebut adalah milik TNI.

"Orang Koramil mengatakan tanah itu milik TNI. Warga yang masih ada rumah atau tidak ada rumah dibuat surat pernyataan pengakuan bermaterai yang menyatakan tanah itu adalah milik TNI. Ada yang tidak mau teken, dipaksa untuk teken. Bahkan ada yang bukan ahli waris, dan anak kecil untuk teken. Bagi warga yang gak mau teken disebut sebagai pemberontak," ujarnya melalui sambungan langsung kepada Dialeksis.com, Jumat, (23/8/2019). 

Dia memastikan intimidasi yang diterima warga bukan dalam bentuk perlakuan fisik, namun berbentuk ucapan yang membuat tidak nyaman. Ketika Dialeksis.com mendesak siapa oknum TNI yang melakukan intimidasi, ia pun menyebutkan sebuah nama.

"Intimidasi itu dilakukan oleh SR, anggota Koramil setempat. Kalau warga sini manggilnya 'Batuut'. Kalau perlakuan fisik tidak ada, tapi dia ancam 'kalau gak mau teken berarti pemberontak kamu' atau 'saya gusur rumah kamu'. Lain orang lain dia ngomong," terangnya.

Ia mengaku memiliki tanah yang dipersengketakan itu, namun tidak mengalami intimidasi yang dimaksud karena tidak pernah bertemu dengan oknum TNI yang dimaksud.

"Gak, gak pernah dipanggil saya. Surat pernyataan itu juga tidak pernah saya terima," ucapnya.

Senada dengan warga yang enggan disebutkan namanya itu, warga Meunasah Kulam yang lain, Muhammad, membenarkan perihal intimidasi tersebut. Ia menyebutkan pihak Koramil 05/Mesjid Raya memaksa dirinya untuk mengakui lahan seluas 16 x 36 meter miliknya adalah milik TNI. Muhammad menegaskan memiliki dokumen legal atas kepemilikan tanah, namun tidak diakui oleh pihak Koramil.

"Saya disodorkan surat pernyataan pengakuan bahwa tanah saya itu milik TNI. Surat-surat atas tanah itu saya punya semua, tapi tidak diakui oleh mereka," ujar Muhammad kepada Dialeksis.com, Minggu, (25/8/2019).

Dia juga mengaku mendapat ancaman dari oknum TNI 'Batuut' alias 'SR' jika tidak menandatangani surat pernyataan itu.

"Kalau gak mau teken diancam akan dirobohkan rumah oleh zipur. Terus kalau gak mau tandatangan saya disebut pemberontak. Karena sudah diancam seperti itu, saya terpaksa teken. Tapi saya gak ikhlas," terangnya.

Apa yang dialami warga dibenarkan oleh Kepala Program LBH Banda Aceh, Aulianda Wafiza. Kepada Dialeksis.com, Selasa, (27/8/2019) Aulianda membeberkan tentang perlakuan TNI terhadap masyarakat Meunasah Kulam. 

Berdasarkan laporan warga, melalui kepala desa TNI membagikan formulir pernyataan tentang pengakuan tanah yang diduduki warga merupakan milik TNI dan masyarakat hanya berstatus 'numpang', dan kalau sewaktu-waktu TNI ingin menggunakan tanah itu masyarakat bersedia pindah tanpa ganti rugi.

"Kira-kira seperti itulah isi formulir tersebut," ungkap Aulianda.

Ia melanjutkan, kepala desa Meunasah Kulam enggan menindaklanjuti formulir tersebut karena menurutnya ia mengetahui tanah tersebut adalah milik warga.

"Karena dari pak keuchik tidak jalan, pihak Koramil mendatangi warga satu persatu untuk diminta tandatangan. Siapapun yang tidak mau teken, 'kau ini pemberontak', 'kami gusur'. Beberapa warga yang ketakutan ya terpaksa teken. Anak-anak pun teken, yang penting ada tekenan," ungkapnya.

Ia mengungkapkan, ancaman selanjutnya adalah semua formulir itu harus sudah ditandatangani oleh warga dalam waktu satu minggu. Jika tidak, sambungnya, akan digusur dengan alat berat.

"Perihal deadline 1 minggu itu merupakan pesan dari Babinsa setempat yang mengakui perintah itu merupakan perintah dari pimpinannya," jelasnya.

Menurut pria yang akrab disapa Landak ini, metode penandatanganan surat pengakuan itu sama dengan pola yang dilakukan institusi militer itu saat terbitnya surat pengakuan warga Meunasah Kulam atas tanah TNI tahun 1972.

"Tahun 1972 itu prosesnya seperti ini juga, ancaman juga. Bahkan ada warga yang meninggal, tapi ada tanda tangan juga. Bagaimana orang sudah meninggal tapi bisa tanda tangan? Jadi, memang digiring masyarakat untuk mengakui bahwa tanah itu berstatus pinjam pakai dan milik TNI. Kalau bicara sejarah surat, jauh sebelum surat 1972 itu terbit, masyarakat sudah memiliki akte jual beli tahun 1952," pungkasnya.

Membantah Intimidasi Warga

Sementara itu, Danramil 05/Mesjid Raya Serma Sahrianto membantah tudingan warga bahwa pihaknya telah mengintimidasi warga. Menurutnya, apa yang dilakukan merupakan tugas yang harus dilakukan untuk menertibkan administrasi aset-aset milik TNI. Terkait dengan permintaan penandatangan surat pernyataan pengakuan lahan milik TNI, dia mengakuinya.

"Memang dari pimpinan kita meminta kepada ahli waris yang 19 orang itu (dokumen pengakuan warga gampong Meunasah Kulam tahun 1972 tentang pengakuan sejumlah lahan di gampong Meunasah Kulam adalah milik TNI) untuk menandatangani kembali," ujar Sahrianto kepada Dialeksis.com, Jumat, (23/8/2019).

Permintaan penandatanganan itu telah membuat kenyamanan masyarakat setempat terganggu. Warga merasa terintimidasi atas tindakan TNI tersebut. Warga pun melapor ketidaknyamanan yang dirasakan itu ke LBH Banda Aceh, dan diteruskan ke Komnas HAM RI Perwakilan Aceh.

Berdasarkan surat permintaan klarifikasi Komnas HAM RI Perwakilan Aceh yang ditujukan ke Panglima Kodam Iskandar Muda tanggal 8 Agustus 2019 lalu disebutkan di Gampong Meunasah Kulam terdapat sebagian lahan yang tumpang tindih, saling klaim kepemilikan atau penguasaannya antara warga dengan TNI dalam hal ini Koramil 05/Mesjid Raya. Menurut pengadu, sebelum peristiwa stunami Aceh diatas lahan tersebut berdiri sekitar 70 rumah warga, dan pasca stunami hingga sekarang hanya tersisa 10 unit rumah pada lahan yang dimaksud.

"Lahan tersebut dikuasai warga secara turun temurun bahkan ada yang diperoleh dari hasil jual beli," sebut surat bernomor 532/PMT 3.5.1/VIII/2019 itu.

Masih menurut surat tersebut, warga merasa terintimidasi karena permintaan penandatangan surat itu disertai dengan larangan mendirikan rumah dan bagi yang memiliki rumah diancam akan dirobohkan.

Anggota Komnas HAM Perwakilan Aceh, Eka, membenarkan perihal surat klarifikasi itu. Ia menjelaskan pihaknya mendapat pengaduan dari LBH Banda Aceh. Dalam rangka mendapatkan informasi berimbang dan sesuai SOP lembaga, Komnas HAM telah menyampaikan surat klarifikasi kepada Pangdam Iskandar Muda.

"Terkait pengaduan itu, disimpulkan perlu dilakukan klarifikasi dari pihak yang diadukan, yakni Kodam Iskandar Muda," ujar Eka, Senin, (26/8/2019).

Hingga saat ini, sambungnya, pihak Kodam Iskandar Muda belum membalas surat klarifikasi tersebut. Jadi, lanjut Eka, Komnas HAM belum bisa memberikan rekomendasi terhadap persoalan tersebut.

"Seperti yang saya sebutkan tadi, ini baru tahapan permintaan klarfikasi. Jadi kita tidak mau berandai-andai," sebutnya.

Lahan Milik Negara, Bukan Tanah Milik TNI

Direktur Kontras Aceh, Hendra Saputra mengatakan persoalan yang dialami warga Meunasah Kulam telah terjadi sejak tahun 2007. Menurutnya, TNI tidak punya hanya hak dalam menguasai tanah karena penguasaannya milik negara. TNI hanya berhak untuk menggunakan tanah milik negara hanya untuk kebutuhan pertahanan. Ia pun mempertanyakan tentang urgensi penggunaan tanah itu oleh TNI.

"Pertanyaan saya, sejauhmana urgensi tanah warga di Kecamatan Mesjid Raya itu untuk kebutuhan pertahanan? Kalau mau dibangun pusat latihan misalnya, itu sangat dekat dengan warga," ujar Hendra saat dikonfirmasi Dialeksis.com, Jumat, (23/8/2019).

Ia menegaskan penggunaan tanah oleh institusi negara bukanlah milik dari institusi tersebut, namun, sambungnya, itu adalah tanah milik negara.

"Misalnya begini, apakah tanah yang digunakan kantor Gubernur adalah milik kantor Gubernur? Tidak, itu adalah tanah milik Pemerintah Aceh yang digunakan Kantor Gubernur sebagai sekretariat dalam menjalankan aktifitas kegubernuran. Begitu juga dengan TNI, itu adalah tanah milik negara yang digunakan khusus untuk menjalankan fungsinya dalam pertahanan negara," tegasnya sembari memberi tamsilan.

Menurutnya, sah-sah saja pihak TNI menginventarisir aset miliknya. Tapi, lanjutnya, harus ada penegasan bahwa aset itu milik negara yang terdaftar di Departemen Keuangan dan bukan milik TNI.

"Kalau Kontras melihat, tidak ada tanah milik TNI, tapi ini adalah tanah milik negara yang digunakan TNI namun khusus digunakan untuk kebutuhan pertahanan," tegasnya lagi.

Sebagai representasi negara, Hendra meminta Pemerintah Aceh atau pihak terkait lainnya untuk hadir dalam menyelesaikan persoalan tersebut.

"Seharusnya negara hadir, apakah Pemerintah Aceh, instansi vertikal, atau Kementrian terkait untuk memfasilitasi persoalan itu. Jangan biarkan alat negara yang memiliki kekuatan represif untuk bentrok dengan warga," sebut Hendra.

Status Tanah Versi TNI 

Untuk memberikan informasi yang berimbang, Dialeksis.com menjumpai Dandim 0101/BS Letkol Inf Hasandi Lubis. Saat ditemui diruang kerjanya di Kantor Kodim Banda Aceh, Jumat, (23/8/2019), pria ramah ini menjelaskan secara gamblang perihal duduk persoalan sengketa lahan yang diklaim milik TNI AD itu kepada Dialeksis.com. 

Menurut Hasandi, kepemilikan TNI atas sejumlah luas tanah di Desa Meunasah Kulam itu sendiri telah diakui oleh tokoh dan masyarakatnya pada tahun 1972. Hal ini dibuktikan dengan surat pernyataan pengakuan yang ditandatangani 19 tokoh masyarakat gampong Meunasah Kulam kala itu bahwa tanah yang mereka duduki itu merupakan milik TNI AD.

"Koramil 05/Mesjid Raya itu kita punya sertifikatnya dari jaman Belanda sampai zaman modern ini. Rata-rata warga yang duduk disana saat ini sudah generasi kedua. Generasi pertama ada surat peminjaman yang mereka ajukan ke kita, ada tanda tangan bapak-bapak mereka bahwa mereka meminjam dan mereka mengakui itu ditanah milik Kodam. Karena itu tanah negara, kemudian diperjualbelikan. Saat ini ada sebagian dari mereka merasa memiliki tanah itu karena membeli. Ini yang ingin kita luruskan," jelas Hasandi.

Hasandi tidak mempermasalahkan jika masyarakat tidak mau tanda tangan. Tapi, ia meminta masyarakat untuk tidak menyebut TNI mengintimidasi. Pasalnya, pihaknya tidak pernah mengusir dari tempat itu.

Kepada masyarakat Meunasah Kulam, Ia mengatakan hanya menyampaikan fakta bahwa tanah tersebut memang merupakan milik TNI. 

"Seyogyanya kalau kita mau jahat, bisa saja kan kita menarik pajak dari masyarakat karena menduduki tanah milik TNI. Tapi kita gak mau demikian. Kita hanya ingin menertibkan kembali administrasi tanah tersebut," ucap Hasandi.

Pada dasarnya, sambung dia, masyarakat gampong Meunasah Kulam telah mengakui lahan tersebut milik TNI. Ia menyebutkan pada tahun 2016 kepala desa setempat pernah mengajukan permohonan kepada pihak TNI untuk membangun lapangan voli diatas lahan milik TNI.

"Itu diakui oleh mereka lho. Nih buktinya, gak kita larang kok. Lha wong untuk masyarakat. Gak masalah," pungkas Hasandi sembari menunjukkan sebuah surat permohonan ijin pakai tanah milik TNI berkop pemerintahan desa Meunasah Kulam yang ditandatangani Keuchik Meunasah Kulam Kurniawan, ST.

Vasilidasi Dokumen dan Libatkan Stakeholder 

Sementara itu, peneliti JSI Nasrul Rizal menilai seharusnya pemerintah daerah mengambil peran untuk mengajak duduk semua pihak terkait dan stakeholder dalam menyelesaikan persoalan tersebut.

"Bagaimana misalnya pihak terkait dapat memvalidasi dokumen legalitas dari tanah yang sedang dipersengketakan itu,"

Bukan hanya itu, pemerintah daerah juga perlu memikirkan untuk melakukan relokasi terhadap warga setempat.

"Jangan biarkan masyarakat sendiri menghadapi persoalan ini," ujar Nasrul kepada Dialeksis.com, Senin, (26/8/2019)

Apa yang dialami oleh masyarakat Meunasah Kulam seharusnya menjadi perhatian negara untuk diselesaikan. Apapun ceritanya, warga negara berhak untuk mendapat kepastian tentang status tempat tinggalnya sehingga dapat menjalani aktifitas sehari-harinya dengan tenang. Sementara itu, apa yang sedang dilalui TNI saat ini dalam menertibkan aset milik negara diharapkan dapat dilakukan dengan cara yang elegan, persuasif, dan tidak menggunakan pola-pola kekerasan. TNI wajib 'keras' pada pihak-pihak yang mencoba mengganggu keutuhan bangsa ini, namun tidak kepada rakyatnya sendiri.







Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda