Tahanan Meninggal dan Rasa Keadilan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
Ilustrasi. [Foto: IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh- Tahanan yang menghembuskan nafas terahir karena kekerasan aparat penegak hukum, bukanlah berita baru yang mengejutkan. Kasus ini sudah sering terjadi. Pelakunya juga dikenakan hukuman akibat "membal-bal" tahanan hingga tewas.
Namun kasus itu terus bermunculan. Kali ini Aceh digegerkan dengan dugaan kasus oknum polisi di Bener Meriah yang menganiaya tahanan hingga ahirnya walau mendapat perawatan medis, namun menghembuskan nafas terakhir.
Sebelum kasus penganiayan tahanan hingga tewas terjadi di Aceh. Warga Aceh Timur yang menghembuskan nafaas terahir ini ditangkap di Banda Aceh, namun kemudian meninggal. Bahkan mayatnya sempat dibuang ke sungai untuk menghilangkan jejak. Pelaku penganiayaan tahanan ini sudah dihukum 8 tahun penjara.
Catatan Dialeksis, saat ini 6 personil Polresta Balik Papan saat ini sedang berhadapan dengan hukum. Mereka dituntut empat penjara karena menghilangkan nyawa tersangka Herman pada 4 Desember 2020. Persidangan kasus ini masih berjalan.
Demikian dengan sejumlah petugas lapas juga pernah terjerat hukum karena menganiaya tahanan, bahkan sampai tewas. Untuk Aceh di penghujung bulan 2021 ini, ada kasus yang tak kalah menariknya. Istri korban melaporkan oknum Polres Bener Meriah, karena akibat penganiayan yang dilakukan telah menghilangkan nyawa suaminya Syaifullah.
Dari pengakuan pelapor Nilawati, suaminya ditangkap di Sie Mayang, SPBU Diski, KM 16 Medan. Saat itu Syaifullah disangkakan sebagai penadah (belum diketahui bagaimana kasusnya secara detail). Korban ditangkap di kediaman istri keduanya, bahkan dia dipukul dihadapan anaknya yang masih kecil.
Syaifullah meninggal dunia setelah mendapat perawatan medis di RSUZA Banda Aceh. Tidak terima dengan keadaan ini, pihak keluarga, istri korban melaporkan kasus itu ke Propam Polda Aceh.
Mulailah pemberitaan dihiasi dengan penganiayaan hingga menghembuskan nafas terahir Syaifullah. Statemen juga beragam, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra, memberikan pernyataan, jasad korban harus dilakukan autopsi untuk membuktikan penyebab kematian.
Adanya oknum kepolisian yang melakukan kekerasan saat proses penangkapan, yang bersangkutan untuk diproses hukum. Aksi demikian telah masuk dalam katagori penyiksaan dan harus diproses secara pidana bukan hanya kode etik, pinta Hendra.
Demikian dengan Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin. Dalam keteranganya kepada media dia mendesak agar kepolisian daerah (Polda) Aceh mengusut oknum kepolisian yang diduga menganiaya hingga meninggal dunia tahanan Polres Bener Meriah.
"Apalagi sudah ada laporan polisi terhadap kasus ini. Masyarakat resah dan marah atas kejadian ini. Untuk itu, pengusutan penting dilakukan karena menyangkut atensi publik, “sebut Safaruddin.
Menurutnya, kasus ini juga sudah dilaporkan ke Kapolri dan Komisi III melalui akun twitter Kapolri dan Nasir Jamil," ujar Safaruddin.
Ketua YARA Aceh ini menilai, kasus penganiyaan tahanan sampai meninggal dunia, bukan hanya kali ini saja. Beberapa bulan lalu, juga ada kejadian di Idi, Aceh Timur.
"Ada warga Aceh Timur saat ditangkap di Banda Aceh kondisi sehat tapi berselang jam kemudian sudah jadi mayat. Bahkan mayatnya dibuang ke sungai untuk tutupi jejak. Tapi kemudian terbukti bahwa tewas dianiaya di Mapolres Aceh Timur," sebut Safaruddin.
Menurut Safaruddin, penganiayaan terhadap tahanan merupakan kegilasahan bagi masyarakat. Masyarakat juga marah atas tindakan arogan oknum kepolisian yang diduga melakukan penganiayaan. Tindakannya seakan mendapatkan legitimasi dari instansi. Saya sendiri sebenarnya marah dengan tindakan oknum yang jahat," kata Safaruddin.
Seharusnya aparat penegak hukum memberikan rasa keadilan melakukan penyidikan terhadap proses kejahatan sesuai dengan kaidah hukum. Biarlah pengadilan yang menentukan seseorang bersalah atau tidak dengan hukuman yang ditetapkan, bukan justru dihakimi sendiri.
Belum tentu tewas karena dianiaya? Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol Winardy sehubungan dengan adanya informasi ini kepada media menyebutkan, saat ini pihak Propam Polda Aceh akan melakukan penyelidikan atas laporan dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh oknum Polri di Bener Meriah.
Berdasarkan keterangan dokter RSUZA, lanjut Winardy, korban atas nama Saifullah menderita penyakit darah tinggi, gula tinggi, gagal ginjal dan komplikasi.
"Kami belum dapat memastikan apakah korban meninggal dunia atas penganiayaan oknum Polri atau tidak. Pihak Propam masih melakukan penyelidikan," jelas kabid Humas Polda Aceh.
Tugas Propam Polda Aceh untuk menjawab rasa ingin tahu publik, apakah Syaifullah meninggal dunia saat dirawat di RSUZA penyebabnya karena dianiaya atau bukan. Apakah pihak Propam Polda Aceh akan bekerja sesuai dengan SOP, sehingga laporan yang disampaikan Nilawati dapat dijawab secara terang benderang.
Pihak penyidik kini sedang melakukan penyelidikan, sesuai dengan keterangan kabid Humas Polda Aceh. Publik menanti keterangan atas kinerja aparat penegak hukum ini. Laporan istri korban harus ada kepastian jawaban, rasa keadilan itu harus ditegakan karena negara kita ada burung garuda yang menandakan adanya kepastian hukum. *** Bahtiar Gayo