Peulihara Uteun: Jejak Hikayat Aceh dalam Harmoni Alam
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
Ilustrasi. Hutan dan satwa liar dalam Hikayat Aceh, seperti Peulihara Uteun. [Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia]
DIALEKSIS.COM | Feature - Deru angin gunung dan gemuruh ombak lautan, teranyam kisah-kisah yang tak lekang oleh waktu. Hikayat Aceh, dengan kekayaannya yang tak terperikan, bukan sekadar narasi yang menghibur. Ia adalah sulaman nilai-nilai, doa-doa, dan panduan hidup yang meresap dalam setiap denyut nadi masyarakatnya. Di dalamnya, alam berbicara, manusia mendengar, dan semesta mengukir jejak harmoni.
Hikayat adalah warisan yang lebih dari sekadar cerita rakyat. Ia adalah cermin kebijaksanaan, sumber inspirasi, dan tangga spiritual yang membawa manusia mendekat pada Penciptanya. Salah satu hikayat yang hidup dalam napas masyarakat Aceh: Peulihara Uteun. Hikayat ini bukan sekadar serangkaian kata, melainkan nyanyian jiwa yang mengajarkan tanggung jawab dan penghormatan terhadap alam.
Peulihara Uteun adalah kisah tentang keabadian hutan, penjaga keseimbangan ekosistem yang kaya akan flora dan fauna. Dalam hikayat ini, hutan digambarkan sebagai ibu yang memeluk semua makhluk hidup dengan kasihnya. Pohon-pohon adalah tiang kehidupan, akar-akarnya adalah penjaga tanah, dan daun-daunnya adalah atap bagi penghuni rimba.
Namun, hutan juga memiliki amarahnya. Ketika manusia mengabaikan tanggung jawabnya, hutan kehilangan daya magisnya, menjadi kering dan sunyi. Melalui hikayat ini, masyarakat Aceh diajak merenung: bagaimana kita memperlakukan hutan, dan bagaimana hutan memperlakukan kita?
Medya Hus, seorang maestro seni tutur Aceh, menyebutkan bahwa hikayat ini lebih dari sekadar cerita. "Peulihara Uteun adalah panggung refleksi bagi masyarakat kita. Hutan bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah bagi makhluk lain. Dalam hikayat ini, kita diajarkan untuk hidup berdampingan dengan satwa liar, bukan untuk menaklukkan mereka," ujar Medya dengan penuh keyakinan.
Dalam hikayat Peulihara Uteun, satwa liar tidak digambarkan sebagai musuh. Sebaliknya, mereka adalah bagian dari keluarga besar alam. Seekor harimau, dengan kekuatan dan karismanya, adalah penjaga keseimbangan. Burung-burung, dengan nyanyian mereka, adalah penyampai doa kepada langit. Dan semut-semut kecil, dalam diamnya, adalah pengingat bahwa setiap makhluk memiliki peran yang tak tergantikan.
Ketika manusia memahami perannya dalam ekosistem, konflik dengan satwa liar bisa diminimalkan. Hikayat mengajarkan bahwa manusia tidak harus melawan, melainkan berkomunikasi. "Orang tua kita dulu selalu berdoa sebelum masuk ke hutan. Doa itu bukan hanya untuk keselamatan mereka, tetapi juga sebagai penghormatan kepada makhluk yang tinggal di dalam hutan," jelas Medya. Tradisi ini adalah wujud harmoni yang diwariskan oleh leluhur.
Maestro seni tutur asal Aceh, Medya Hus. [Foto: dok. Habadaily.com]Di setiap bait hikayat Aceh, tersembunyi doa-doa yang menjadi penuntun langkah. Doa untuk keselamatan, doa untuk kelimpahan, dan doa untuk keseimbangan. Doa ini menjadi jembatan antara manusia dengan alam, antara yang fana dengan Yang Maha Abadi.
Dalam Peulihara Uteun, ada bait yang berbunyi:
Gunöng dum dikrok buhok pucôk krueng. Glé ka meuruweueng kayèe ka bungka (Gunung mulai terkikis, hulu sungai menjadi gundul, hutan tak lagi dipenuhi oleh pohon yang rindang)
Tadeungö shinsô a-ô dum ang-eueng. Ka abèh kéng keueng Satwa langka (Terdengar suara mesin pemotong kayu (senso) yang bising, sudah habis lari binatang-binatang satwa langka)
Bue deungön Cagèe Himbèe ngön Rimueng. Han ji tuho plueng ka peungeuh rimba (Monyet dengan beruang dan harimau, tidak tahu lari kemana lagi karena hutan rimba sudah gundul)
Ka seu-uem uroe watèe musém khueng. Kayèe ka ruweueng tan pat meudôda (Setiap hari panas waktu di musim kemarau, kayu sudah mulai layu karena tanah tidak mampu mendukungnya)
Bait ini mengingatkan kita bahwa segala sesuatu di alam saling berkaitan. Gunung, sungai, hutan, dan satwa liar adalah bagian dari sebuah siklus kehidupan yang harus dijaga. Ketika satu bagian rusak, seluruh ekosistem akan terganggu.
Hikayat Aceh, meskipun sarat nilai-nilai luhur, tidak seharusnya hanya menjadi dongeng untuk didengar. Ia harus menjadi inspirasi untuk bertindak. Melestarikan hutan dan menjaga satwa liar adalah panggilan moral yang tertanam dalam hikayat.
Medya Hus mengungkapkan bahwa hikayat tidak hanya mengajarkan apa yang harus dilakukan, tetapi juga bagaimana melakukannya. "Melalui hikayat, masyarakat Aceh diajak untuk memahami bahwa menjaga hutan adalah ibadah. Ini adalah bentuk penghormatan kepada Pencipta dan ciptaan-Nya," katanya.
Pemerintah, lembaga masyarakat, dan komunitas lokal perlu mengambil pelajaran dari hikayat ini untuk merancang kebijakan dan tindakan yang lebih inklusif. Misalnya, melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, memberikan edukasi tentang pentingnya ekosistem, serta mendukung usaha-usaha lokal yang ramah lingkungan.
Hikayat Aceh juga memberikan dimensi spiritual dalam pelestarian alam. Doa yang menyertai setiap langkah manusia di hutan adalah pengingat bahwa hubungan manusia dengan alam bukan semata hubungan fisik, tetapi juga hubungan spiritual. Ketika kita merusak hutan, kita bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengkhianati nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat.
Medya Hus mengingatkan bahwa hikayat juga mengajarkan kesabaran dan rasa hormat. "Hutan memiliki waktunya sendiri untuk pulih. Kita harus bersabar, memberikan waktu bagi alam untuk menyembuhkan dirinya," katanya. Pesan ini sangat relevan di tengah ancaman deforestasi yang terus menghantui.
Hikayat Aceh, seperti Peulihara Uteun, adalah warisan yang harus dijaga dengan penuh cinta. Namun, menjaga hikayat tidak cukup hanya dengan melestarikan teks atau tradisi lisan. Kita juga harus menjaga pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
Anak-anak Aceh perlu diajarkan hikayat sejak dini, bukan hanya sebagai bagian dari budaya, tetapi sebagai panduan hidup. Melalui pendidikan formal dan informal, hikayat bisa menjadi alat untuk membangun generasi yang peduli lingkungan dan sadar akan pentingnya ekosistem.
Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati, hikayat Aceh memberikan harapan. Ia adalah pengingat bahwa harmoni dengan alam bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan. Dan dalam harmoni itu, kita menemukan makna sejati dari kehidupan.
Dengan menjaga hutan dan hidup berdampingan dengan satwa liar, kita tidak hanya menjaga masa depan bumi, tetapi juga menghormati warisan leluhur yang tak ternilai. Sebagaimana Peulihara Uteun mengajarkan, kita adalah penjaga, bukan penguasa. Kita adalah bagian dari semesta, bukan penguasa atasnya. [adv]