Beranda / Feature / Pahlawan Yang Dicaci Maki

Pahlawan Yang Dicaci Maki

Kamis, 25 Juni 2020 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

dini hari, setiap malam petugas kebersihan tetap menjalankan tugas membersihkan limbah karya manusia. (foto/dok)

Tubuh mereka basah kuyub. Bau menyengat senantiasa menusuk hidung. Namun kelompok lelaki ini bagikan tidak mengenal hujan. Mereka harus turun naik truk. Satu persatu kontainer mereka hampiri.

Isi container yang penuh sesak, mereka kosongkan. Demikian dengan yang terserak di luar container, semuanya mereka kumpulkan. Mereka angkut ke dalam truk. Mereka harus melupakan anak dan istri yang menanti di rumah.

Mereka harus melupakan aroma yang menyengat, walau diguyur hujan, namun bau yang mengeluarkan ciri khas itu tidak mau hilang.

Baunya sangat menyengat. Bila tidak terbiasa dengan aroma ini, isi perut akan diaduk- aduk, kepingin keluar. Namun bagi sekelompok lelaki ini, aroma yang tak bersahabat itu, sudah menjadi bahagian hidupnya. Mereka membersihkan apa yang dibuang manusia.

Hujan diiringi dingin yang menusuk tulang, harus mereka jadikan sahabat. Walau kadang kala fisiknya sudah lelah, butuh istirahat. Namun mereka tak boleh sakit. Limbah yang dihasilkan manusia harus mereka bersihkan.

Waktu mengangkutnya juga harus dilakukan pada malam hari. Siang hari tidak izinkan warga. Dalam semalam mereka harus bolak balik, Takengon-Uwer Tetemi, Mulie Jadi. Jaraknya sekitar 30 kilometer dari kota.

Mereka bagaikan manusia kelelawar yang merayap pada malam hari, harus menyiapkan fisik pada siang hari. Bila mereka tak mampu menyelesaikan tugas dengan baik, cercaan, makian ditujukan kepada mereka. Padahal yang mereka bersihkan akibat ulah manusia.

Celaan, cacian, sudah menjadi bagian dari hidup mereka. “Mengapa sampah bertumpuk, tidak diangkut, mana petugas sampah, apa ini Pemda sampah saja tak mamu diurus,” sejumlah celaan yang sering mereka dengar.

Namun bagi petugas kebersihan di Kota Takengon, cercaan dan ada yang memaki mereka, itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Karena masyarakat tidak tahu persis bagaimana suka dukanya mereka sebagai petugas pembersih sampah.

Menurut Subhan Sahara, Kadis Lingkungan Hidup dan Kebersihan Aceh Tengah, menjawab Dialeksis.com, Kamis (25/06/2020) menyebutkan, setiap harinya kota Takengon menghasilkan sampah tidak kurang dari 106,07 ton.

Dari jumlah limbah ini, setiap harinya hanya diangkut dalam sehari hanya 38.716,64 ton. Atau sekitar hanya 22,96 persen. Sampah itu tidak mampu diangkut seluruhnya ke TPA Uwer Tetemi, Kampung Melie Jadi.

“Petugas hanya punya waktu untuk mengangkutnya pada malam hari, sementara siang hari tidak diizinkan masyarakat. Otomatis setiap malam, walau hari hujan petugas harus mengangkut sampah,” sebut Subhan.

Petugas kebersihan tidak kenal lelah untuk membersihkan sampah di Kota Takengon, sementara honor/gaji mereka minim, tidak sebanding dengan kinerja mereka. Namun semuanya mau mereka lakukan, hidup bersama sampah demi orang lain. Bukankah itu pahlawan?

Gaji mereka rata-rata setiap bulanya antara kisaran Rp 750 ribu, hanya beberapa orang yang mendapatkan Rp 1 juta. Memang keadaan daerah baru mampu memberi mereka gaji dengan upah minim kepada 299 petugas kebersihan. Siapa yang akan memperhatikan nasib pahlawan ini?

Berbicara soal kendala, Subhan Sahara menyebutkan, selain tidak bisa diangkut pada siang hari, persoalan sarana juga masih belum maksimal.

Kalau sampah-sampah di kota Takengon juga diperboleh diangkut siang hari ke Uwer Tetemi, sekitar 75-80 persen yang ada di kota Takengon mampu ditempatkan di TPA. Namun karena tidak dibenarkan pengangkutan siang hari, hanya sekitar 22 persen lebih sampah ini yang terangkut.

Saat ini, Aveh Tengah hanya memiliki 7 unit pengangkut amrol, dumtruk 13 unit. Dari jumlah 20 unit ini, hanya 16 yang berfungsi, walau itu juga sudah banyak yang harus dilakukan perawatan.

Armada pengangkut sampah minim, bila dibandingkan dengan kafasitas sampah yang setiap harinya dihasilkan masyarakat. Sampai kapan persoalan armada dan persoalan waktu pengangkutan menjadi “beban” bagi petugas kebersihan.

Catatan Dialeksis.com, hingga saat ini belum ada mendapat keterangan dari pihak DPRK Aceh Tengah yang serius dalam menangani persoalan sampah. Baik untuk memaksimalkan pengadaan dumtruk, amrol (sarana) atau perjuangan dewan untuk meningkatkan honor petugas kemanusian ini.

Belum ada anggota DPRK fokus dan serius untuk memperjuangkan agar Takengon memiliki anggaran yang memadai dalam pengelolaan sampah. Sehingga persoalan sampah di sana mampu teratasi dengan baik.

Lantas apa upaya Dinas Kebersihan soal sampah yang belum mampu diangkut ke TPA? Menjawab Dialeksis, Subhan menyebutkan, untuk saat ini kawasan TPA Melie Jadi juga sudah over kapasitas, sehingga tidak mungkin diharapkan untuk selamanya bisa menampung sampah dari Takengon.

“Ini yang menjadi persoalan dan kami dengan berbagai pihak akan mengupayakan solusinya. Selain itu kami minta juga masyarakat membantu, karena persoalan ini juga turut serta andil masyarakat,” sebut Subhan.

Artinya masyarakat, secara sadar dan menyadarkan orang lain, agar persoalan sampah juga menjadi bagian dari hidupnya. Minimal tidak membuang sampah sembarangan, apabila ada sampah yang dapat dijadikan kompos, mengapa tidak diolah untuk pupuk, sehingga kafasitas sampah mampu diperkecil.

“Benar, kita sedang mengupayakan mendapatkan solusi dalam menangani sampah di Takengon. Kita akan mencari lokasi baru untuk TPA sampah,” sebut Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar, menjawab Dialeksis.com.

Tidak semua sampah mampu diangkut dari kota Takengon, keterbatasan waktu angkut yang hanya dilakukan pada malam hari, merupakan sebuah kendala besar. Karena hanya mampu diangkut pada malam hari, hanya 22 persen sampah di Kota Takengon yang mampu diboyong ke TPA.

Selain itu, kendalanya minimnya sarana operasional. Baik berupa dumtruk, amrol, dan akan menjadi persoalan dengan daya tamping TPA. Sampai kapan sampah di Takengon menjadi persoalan.

Dilain sisi, ada pahlawan yang tidak pernah mendapat tanda jasa. Limbah yang dihasilkan manusia mereka bersihkan. Tidak ada istilah hujan, dingin menusuk tulang. Mereka juga bagaikan dilarang sakit. Sampah di kota Takengon harus diangkut.

Sementara honor yang mereka terima masih dibawah UMR. Namun mereka hidup dengan sampah demi menyenangkan orang lain, walau kadang kala sumpah serapah ditujukan kepada mereka.

Jangankan hari hujan, dingin menusuk tulang. Saat lebaran, dimana gema takbir membahana para petugas ini harus bekerja, sampai dini hari menjelang subuh. Mereka tinggalkan anak istri ditengah gemanya takbir, mereka “sulit” merasakan hari kemenangan.

Tugas senantiasa menanti, walau itu lebaran. Sehari saja mereka tidak bekerja, caci maki, celaan sahut menyahut menimpa mereka. Tugas mereka mulia, membersihkan hasil pembuangan manusia, namun masih ada yang mencerca kinerja mereka. (Bahtiar Gayo)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda