Beranda / Feature / Menenun Sejarah: Keindahan dan Filosofi Songket Putri Lindung Bulan

Menenun Sejarah: Keindahan dan Filosofi Songket Putri Lindung Bulan

Minggu, 24 November 2024 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nasrul Rizal

Beragam motif tenun songket Putri Lindung Bulan dari Aceh Tamiang. [Foto: ayojalanjalan]


DIALEKSIS.COM | Feature - Aceh Tamiang, sebuah negeri yang terhampar di ujung bumi dengan keindahan alam yang menawan, tak hanya dikenal karena pesonanya yang memikat. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak terucap dalam kata-kata biasa. Di sanalah, di tengah hamparan sawah dan hutan, hidup sebuah warisan budaya yang menyatu dengan jiwa masyarakatnya: tenun songket Putri Lindung Bulan. 

Kain ini bukan hanya sekadar busana, tetapi sebuah lambang dari sebuah identitas yang kaya akan cerita, simbol kebanggaan yang terlahir dari beratus tahun tradisi yang terjaga. Setiap helai benang yang terjalin mencerminkan filosofi mendalam tentang hidup, dan motif-motif yang tertoreh di atasnya bercerita tentang kehidupan itu sendiri.

Setiap motifnya, seperti Bungoeng Panjoe, Tampok Manggis, atau Datok Empat Suku, adalah potret yang mempesona bukan hanya untuk dipandang, tapi juga untuk direnungkan. Setiap garis dan lekuknya berbicara tentang kearifan lokal masyarakat Bumi Muda Sedia, tanah yang dilimpahi betuah, yang terus memelihara nilai-nilai luhur dalam kekayaan seni tenun yang mereka jaga dengan sepenuh hati. 

“Motifnya, sungguh khas dan tidak ada duanya,” ujar Desi, seorang kolektor kain tradisional yang telah mengembara sejauh Nusantara. "Masing-masing motif memiliki kisahnya sendiri, seakan-akan kain ini adalah jejak masa lalu yang bisa kita bawa ke masa kini." Begitu katanya, mata sembab, penuh kekaguman.

Dan memang, untuk menghasilkan sebuah lembar kain songket Putri Lindung Bulan, dibutuhkan kesabaran tiada tara. Tak cukup hanya dengan waktu, setiap weaver, seperti Erlina, pengrajin yang menggenggam setia keterampilan turun temurun ini, harus menenun dengan teliti. Satu lembar kain bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Hingga setiap motif, yang konon memiliki filosofi jauh lebih dalam daripada sebuah rupa belaka, menjadi sebuah karya seni yang hidup. 

Tampok Manggis, misalnya, bukan hanya sebaris bunga melingkar, ia adalah gambaran kerendahan hati, ketulusan hati yang saling bersatu. Dan Susun Sireh? Ah, dia adalah kekuatan ikatan adat yang melestarikan nilai-nilai dalam keluarga dan masyarakat.

Pembuatan tenun songket ini semakin dipandang tinggi kala di tahun 2021, 25 motif Putri Lindung Bulan secara resmi dipatenkan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI. Paten itu bukan hanya sebagai bukti pengakuan, tetapi juga bentuk perlindungan terhadap kekayaan budaya Aceh Tamiang yang tak ternilai.

Kini, dunia dapat memandangnya dan mengenal lebih jauh, karena pada tahun 2022 songket ini juga berhasil masuk nominasi Anugerah Pesona Indonesia (API), penghargaan bergengsi yang memuliakan budaya dan pariwisata.

"Motifnya begitu memesona," ujar Tari, seorang wisatawan dari Jakarta yang membeli songket ini sebagai oleh-oleh. "Ketika saya tahu bahwa kain ini dibuat dengan tangan, saya semakin menghargainya. Ini bukan hanya kain, ini adalah warisan, sebuah perjalanan sejarah yang tak ternilai."

Harga dari selembar kain ini memang bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung kerumitan desain dan ukuran. Tetapi bagi masyarakat Aceh Tamiang, ini bukan sekadar uang. Ini adalah simbol pengorbanan, kerja keras, dan keanggunan kebudayaan yang tersimpan dalam tiap jahitan. Sebuah kain yang sering dipakai pada pesta pernikahan, perayaan ulang tahun daerah, atau acara adat penting lainnya, simbol kehormatan dan martabat.

Pemerintah daerah pun tak tinggal diam. Berbagai usaha dilakukan agar tenun songket ini terus lestari. Pelatihan-pelatihan menenun dilakukan bagi generasi muda, agar mereka tak hanya menguasai tekniknya, tetapi memahami dengan penuh makna sejarah dan filosofi di balik setiap benang yang mereka jalin. Upaya pelestarian ini didorong oleh peran serta semua pihak, baik dari Dekranasda maupun masyarakat umum, agar songket ini tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Aceh Tamiang, tetapi menjadi kebanggaan bangsa.

Menenun kain songket. [Foto: acehportal]

Kepala Dekranasda Aceh Tamiang, menegaskan bahwa pelestarian songket ini menjadi tanggung jawab bersama. “Kami ingin menjadikan tenun songket Putri Lindung Bulan tidak hanya sebagai kebanggaan Aceh Tamiang, tetapi menjadi simbol budaya Aceh yang mampu merentang sampai ke dunia,” tuturnya penuh keyakinan.

Lewat filosofi yang terkandung dalam setiap motifnya, songket ini bukan hanya sebentuk kain. Ia adalah keteguhan untuk melawan arus modernisasi yang kadang mencoba menghapuskan keunikan dan identitas budaya. Dalam dunia yang terus berlari, Putri Lindung Bulan tetap hidup dalam jalinan benang-benang halus, menjadi pengingat akan pentingnya menjaga tradisi, menghormati kebudayaan, dan merawat warisan yang tak ternilai harganya. 

Songket ini, dengan kilaunya yang menawan, bagaikan sebuah bintang yang terus bersinar di langit budaya, memberikan cahaya bagi yang ingin menapaki jejak masa lalu sambil berjalan menuju masa depan. [adv]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI