Beranda / Feature / Benteng Kuta Kaphe: Saksi Bisu Heroisme Aceh Melawan Belanda

Benteng Kuta Kaphe: Saksi Bisu Heroisme Aceh Melawan Belanda

Sabtu, 16 November 2024 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal/Nasrul

Lokasi Peninggalan Benteng Kuta Kaphe, Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Feature - Alue Naga, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, menyimpan banyak cerita tentang perjuangan masa lalu.  Pagi tadi, usai subuh, berjalan di sepanjang sisi sungai di Alue Naga. Seperti biasa, mata penulis tertuju pada dua beton yang menjulang, terbuat dari semen dan batu kali. 

Beton-beton ini, meski terlihat biasa bagi kebanyakan orang, sesungguhnya menyimpan kisah sejarah yang luar biasa.

Beton yang satu berada di sisi barat alur di samping Krueng Cut (Lamnyong), sementara yang lainnya berdiri tegak di sisi timur, tepat di pinggir jalan yang memisahkan alur tersebut dengan sungai. 

Bagi mereka yang memahami sejarah, dua beton ini bukan hanya sekadar bangunan, tetapi merupakan sisa dari sebuah benteng pertahanan Belanda yang dikenal dengan nama Benteng Kuta Kaphe.

Prasasti marmer yang masih menempel di salah satu tembok beton itu mengabadikan kisah yang terlupakan. Di sana tertulis: "Lokasi Peninggalan Benteng Kuta Kaphe, Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh." 

Kisah Kuta Kaphe bermula dari masa-masa sulit, ketika Belanda, dengan ambisi kolonialnya, berusaha menggenggam Aceh. Nama "Kaphe" yang dalam bahasa Aceh berarti "kafir" atau "orang yang tak beriman", menyiratkan ejekan bagi pasukan Belanda yang menyerbu tanah ini. Namun, bukan hanya sekadar nama, benteng ini menjadi lambang perlawanan terhadap ketidakadilan.

Benteng ini pengingat akan bagaimana tempat ini pernah menjadi saksi bisu pertempuran sengit antara Kerajaan Aceh dan Pemerintah Kolonial Belanda dalam perang yang berlangsung selama 69 tahun.

Di benteng inilah, pada malam kelam tanggal 24/25 Februari 1876, seorang jenderal Belanda, Walikota Jenderal Johanes Ludovicus Hubertus Pel, menghembuskan nafas terakhirnya. Jenderal Pel, yang sebelumnya memegang kendali sebagai Penguasa Sipil dan Militer Belanda di Aceh, tak mampu melawan takdirnya. Dalam sebuah serangan mendadak dari pejuang Aceh, ia tewas, meninggalkan sejarah heroisme di belakangnya.

Kisah kematian Jenderal Pel ini diabadikan dalam berbagai catatan sejarah. Dalam buku The Dutch Colonial War In Aceh, diceritakan bahwa Jenderal Pel meninggal di bivak Tunggay, Lamnyong, dan jasadnya kemudian dimakamkan di Kerkhof Peucut, sebuah kompleks pemakaman Belanda yang didirikan untuk menguburkan para serdadu Belanda yang tewas dalam perang Aceh.

Buku De Krijsgeschiedenis van Nederland-Indie karya GB Hooyer juga mengungkap lebih rinci tentang peristiwa tersebut. Di sana, tertulis bahwa Jenderal Pel meninggal akibat pecahnya pembuluh darah di tengah serangan mendadak para pejuang Aceh. 

Serangan yang datang tiba-tiba di tengah malam itu membuat pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Pel terpecah belah dan kehilangan arah. 

Tak hanya itu, dalam buku Perkuburan Belanda Peutjoet Membuka Tabir Sejarah Kepahlawanan Rakyat Aceh yang ditulis oleh Tjoetje, seorang mantan pegawai kolonial Belanda di Aceh Barat, disebutkan bahwa pasukan Jenderal Pel tiba di lokasi bivak di Krueng Cut setelah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan. 

Setibanya di sana, mereka diserang habis-habisan oleh pejuang Aceh, yang membuat situasi semakin kacau. Dalam kekacauan itulah, Jenderal Pel meninggal dunia pada malam harinya, tepat pukul sebelas.

Peperangan di Aceh memang memakan korban besar dari pihak Belanda. Jenderal Pel bukanlah satu-satunya jenderal yang tewas di Aceh. 

Sebelumnya, Jenderal JHR Kohler juga gugur, disusul oleh Jenderal Demmeni dan Jenderal De Moulin. Banyaknya perwira dan serdadu Belanda yang tewas di Aceh membuat pemerintah kolonial Belanda membangun Kerkhof Peucut sebagai tanda penghormatan terakhir bagi para tentara yang gugur.

Monumen untuk Jenderal Pel yang ada di Peucut Kerhoff menjadi yang termegah, melebihi monumen Jenderal Kohler. 

Namun, menariknya, Tjoetje dalam bukunya menyebut bahwa jasad Jenderal Pel sebenarnya tidak dikuburkan di bawah monumen tersebut, melainkan di sebuah tempat lain di Kerkhof Peucut yang hingga kini masih dirahasiakan oleh Belanda.

Benteng Kuta Kaphe di Alue Naga adalah simbol dari perlawanan gigih rakyat Aceh terhadap penjajah. 

Tembok-tembok bisu ini mungkin telah terlupakan oleh banyak orang, tetapi bagi mereka yang masih menghargai sejarah, benteng ini adalah pengingat akan masa lalu yang penuh dengan perjuangan, pengorbanan, dan heroisme. Di balik beton-beton tua yang berdiri di Alue Naga, terdapat kisah tentang bagaimana rakyat Aceh berjuang mempertahankan tanah mereka. 

Benteng Kuta Kaphe bukan hanya sekadar sisa bangunan dari masa lalu, tetapi adalah saksi bisu dari sebuah sejarah panjang yang tak boleh dilupakan. 

Sejarah tentang bagaimana Jenderal Pel, seorang tokoh penting dalam agresi kedua Belanda ke Aceh, mengakhiri hidupnya di tanah yang kini kita pijak, tanah Aceh yang selalu penuh dengan cerita perjuangan.

Benteng ini, meski diam, berbicara lebih lantang dari kata-kata. Ia memanggil kita untuk tidak melupakan, untuk terus mengenang, dan untuk menjadikan perjuangan masa lalu sebagai inspirasi di masa depan. Karena, seperti temboknya yang masih berdiri meski telah usang, semangat perlawanan rakyat Aceh akan terus abadi, tak lekang oleh waktu. [adv]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI