DIALEKSIS.COM | Jakarta - "Mesin baru pertumbuhan ekonomi nasional dimulai dari daerah". Demikian penegasan Teuku Riefky Harsya (TRH), Menteri Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif, dalam wawancara eksklusif bersama Dialeksis.
Ia menekankan bahwa kunci pembangunan ekonomi kreatif nasional adalah desentralisasi inovasi dan pemberdayaan talenta muda di seluruh pelosok Indonesia.
Menurut TRH, pembangunan ekonomi kreatif tidak bisa hanya bertumpu di pusat, tetapi harus bertumbuh dari bawah. Ia mendorong terbentuknya kelembagaan ekonomi kreatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota agar pelaku kreatif di daerah memiliki “rumah” dan arah kebijakan yang jelas.
“Hingga 2025, sudah terbentuk 27 provinsi (71%) dan 87 kabupaten/kota (17%) yang memiliki dinas ekonomi kreatif, baik berdiri sendiri maupun bergabung dengan dinas pariwisata atau kebudayaan,” terang TRH kepada Dialeksis saat bertemu langsung dikantornya.
Model kelembagaan ini, menurutnya, bersifat fleksibel namun strategis. “Tidak harus berdiri sendiri, yang penting ada pengakuan kelembagaan agar pelaku ekraf punya wadah, punya arah kebijakan, dan bisa berkembang dari potensi lokal masing-masing,” ujar TRH.
Kemenekraf juga menyiapkan berbagai instrumen pendukung agar daerah mampu menjadi pusat pertumbuhan baru, mulai dari penguatan data ekraf, fasilitasi pendanaan dan investasi, hingga pembangunan infrastruktur kreatif seperti Ekraf Hub dan Ruang Kreatif Merah Putih.
TRH menyebut, sektor ekonomi kreatif kini menjadi wadah paling potensial bagi generasi muda untuk berkontribusi langsung pada perekonomian nasional. Data BPS 2024 menunjukkan 57,2% pekerja di sektor ekonomi kreatif berusia di bawah 42 tahun, dengan laju pertumbuhan tenaga kerja mencapai 8,14% per tahun.
“Anak muda adalah energi utama ekonomi kreatif. Mereka bukan sekadar konsumen, tapi juga pencipta gagasan, nilai tambah, dan solusi baru untuk daerahnya,” kata TRH.
Kemenekraf, lanjutnya, kini fokus menyiapkan ekosistem talenta kreatif daerah melalui program TALENTA EKRAF yang meliputi pelatihan digital, fasilitasi hak kekayaan intelektual (HKI), serta pendampingan bisnis dan pemasaran.
“Kita ingin anak muda lokal naik kelas, dari pelaku kreatif di daerah menjadi pemain nasional bahkan global,” tegasnya.
TRH menggarisbawahi bahwa kekuatan ekonomi kreatif Indonesia terletak pada akar budaya lokal dan kolaborasi lintas sektor (hexahelix) pemerintah, akademisi, komunitas, bisnis, media, dan lembaga keuangan.
“Ekonomi kreatif bukan hanya tentang produk, tapi tentang identitas. Setiap daerah punya DNA kreatif yang harus kita bantu tumbuh,” jelas TRH.
Arah kebijakan Kemenekraf hingga 2045 berfokus pada penguatan ekosistem ekonomi kreatif berbasis kekayaan budaya dan intelektual, dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai trendsetter di tingkat regional dan global.
“Kalau kita kuat di daerah, maka nasional juga kuat. Dari kuliner di Aceh, kriya di Bali, hingga game developer di Bandung semuanya bagian dari mesin baru ekonomi kita,” imbuhnya.
Capaian ekonomi kreatif di 2025 memperkuat optimisme tersebut. Nilai investasi di sektor ini telah mencapai Rp90,12 triliun, nilai ekspor mencapai USD 12,89 miliar, dan tenaga kerja meningkat menjadi 26,47 juta orang, melampaui target RPJMN 2025.
“Angka ini bukan sekadar statistik, tapi cermin kepercayaan investor dan dunia terhadap kreativitas anak muda Indonesia,” ujar TRH.
Ia menegaskan bahwa Kemenekraf akan terus memperluas kolaborasi antar daerah melalui platform Asta Ekraf delapan klaster program yang memperkuat sisi data, regulasi, talenta, pasar, dan kekayaan intelektual di seluruh Indonesia
TRH menutup wawancara dengan pesan yang menggugah,“Ketika anak muda di daerah punya ruang untuk berkarya, maka ekonomi kreatif akan menjadi gerakan nasional. Dari Sabang sampai Merauke, setiap ide bisa jadi nilai tambah, setiap kreativitas bisa jadi kekuatan ekonomi bangsa.”