Pertimbangan Penerapan Kebijakan Kelembagaan Keuangan Syariah di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Masjid Raya Baiturrahman Aceh. [Foto: Abdul Hadi/acehkini]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) mengamanatkan bahwa Aceh identik dengan Syariat Islam. Kemudian dari situ lahir Qanun Aceh nomor 8 tahun 2014, yg menyatakan bahwa praktek keuangan di Aceh berdasarkan Syariah.
Hal ini semakin dipertegas dengan Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Dalam pasal 21 Qanun tersebut disebutkan antara lain bahwa lembaga keuangan yang akan beroperasi di Aceh harus berdasarkan prinsip Syariah; lembaga keuangan konvensional yang sudah beroperasi di Aceh harus membuka Unit Usaha Syariah.
Berdasarkan kajian Litbang Dialeksis.com, Qanun terakhir ini harus mulai berlaku paling lama 3 tahun sejak Qanun ini diundangkan. Artinya selambat-lambatnya Januari 2022 seluruh Lembaga Keuangan di Aceh harus berprinsip Syariah.
Dengan kehadiran Qanun ini, maka seluruh lembaga keuangan di Aceh baik perbankan maupun lembaga keuangan non bank, termasuk asuransi harus bertransformasi/ berevolusi menjadi lembaga keuangan syariah.
Dasar muncul kebijakan ini terlihat dan terbaca di publik mencuat di era awal kepemimpinan Gubernur Aceh Zaini Abdullah. Dalam kampanye pada Pilkada 2017, Zaini mengkampanyekan wacana perbankan syariah di Aceh untuk mendulang suara serta meraih simpati publik Aceh yang mayoritas religius dan fanatik terhadap Syariat Islam.
Isu ini semakin kuat gaungnya setelah sejumlah elit politik di Aceh memanfaatkan isu ini berdasarkan kepentingan masing. Selain itu adanya kepentingan global khususnya jejaring bank syariah di dunia untuk mewarnai kepentingan penerapan perbankan syariah di Indonesia, khususnya di Aceh yang masyarakatnya sangat fanatik.
Dampak Penerapan Sistem Keuangan Syariah
Lapangan usaha jasa keuangan dan asuransi selama tahun-tahun terakhir ini masih tumbuh minus dan menjadi salah satu sumber pertumbuhan yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. Data terakhir Triwulan I tahun 2023, menunjukkan secara year on year (yoy) lapangan usaha jasa keuangan dan asuransi mengalami kontraksi, bahkan terindikasi relatif lebih dalam, yaitu minus 6,89 persen. Sementara kontribusi sektor ini dalam struktur ekonomi daerah (PDRB) lumayan menjanjikan, yakni sebesar 1,50.%
Sebagai gambaran, untuk Triwulan I 2023 pertumbuhan ekonomi Aceh tumbuh sebesar 4,63 %. Meskipun mengalami kenaikan tetapi masih berada dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera (4,79 %). Atau, berada dibawah pertumbuhan ekonomi Sumut (4,87 %), Sumbar (4,80 %), Jambi (5,00), Sumsel (5,11 %), Kep Riau (6,51 %), dan Lampung (4,96 %). Masih relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah ini pula menjadi penyebab tingginya angka TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) dan angka kemiskinan di provinsi ini (Data BPS Aceh 5 Agustus 2022).
Laporan Perekonomian Provinsi Aceh yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada Triwulan IV Tahun 2022 menunjukkan pertumbuhan total kredit berdasarkan lokasi bank naik sebesar hampir 10,0 %, atau menjadi Rp 34,23 triliun dari sebelumnya Rp 31,91 triliun (Triwulan I 2022). Jumlah investasi juga naik dari Rp 2,74 triliun (Triwulan I 2022) menjadi Rp 3,62 triliun). Namun, pertumbuhan modal kerja yang disalurkan oleh perbankan masih minus selama periode setahun terakhir.
Pada Triwulan I 2022, jumlah modal kerja yang disalurkan perbankan berdasarkan lokasi bank mencapai Rp 7,33 triliun, kemudian turun menjadi hanya sebesar Rp 6,8 triliun pada Triwulan IV 2022. Penurunan penyaluran modal kerja ini diperkirakan erat kaitannya dengan pemberlakuan Qanun LKS yang membatasi jumlah perbankan di daerah ini, sehingga terbatasnya akses permodalan perbankan oleh pelaku usaha dan masyarakat. beberapa faktor.
Secara spasial, penyaluran pembiayaan/kredit berdasarkan lokasi proyek di Aceh masih belum merata. Hal ini terlihat dari terkonsentrasinya penyaluran pembiayaan pada 5 (lima) Kabupaten/Kota yang mendominasi setengah dari total pembiayaan yang tersalurkan. Ke 5 daerah tersebut adalah Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar Rp1,553 T, Kabupaten Aceh Besar Rp0,736 T, Kabupaten Aceh Utara Rp0,764 T, Kabupaten Aceh Tamiang Rp0,544T, dan Kota Langsa Rp0,505 T. Terkonsentrasinya penyaluran pembiayaan di 5 kota/kabupaten ini menjadi indikator bahwa penyaluran pembiayan di Provinsi Aceh masih belum merata. (Laporan Bank Indonesia Agustus 2022)
Dari sisi kartu kredit, volume transaksi di Aceh mengalami penurunan sebesar 65,75% (yoy) dari 313.730 transaksi menjadi 107.450 transaksi. Secara nominal, transaksi kartu kredit juga menurun menjadi Rp109,23 miliar atau turun sebesar 59,88% (yoy), dimana pada periode yang sama tahun sebelumnya mencatatkan nominal transaksi sebesar Rp272,22 miliar. (Laporan Bank Indonesia Agustus 2022)
Sejak pemberlakuan Qanun LKS, aliran dana Aceh yang mengalir ke luar daerah semakin tinggi. Merujuk pernyataan ketua Umum Partai Nasdem Aceh, Teuku Taufiqulhadi di media menyatakan hampir setiap tahun uang dikeluarkan BI tidak kembali lagi ke BI sebanyak 3 T atau uang lari keluar Aceh (capital outflow) sebanyak 3 T rupiah. Juga kuat indikasi masih banyak masyarakat Aceh yang menggunakan bank Konvensional melalui mobile banking, yang keberadaan banknya di luar Aceh.
Aceh terus-menerus bergelimang masalah ekonomi disebabkan kurangnya dukungan dari lembaga-lembaga keuangan nasional saat ini. Ketiadaan bank konvensional selama ini mengakibatkan kegiatan ekonomi rakyat terganggu. Para pengusaha lokal gagal merencanakan kegiatan usahanya karena dukungan perbankan yang tidak maksimal.
Temuan di lapangan, penyaluran kredit investasi untuk sektor UMKM di Aceh masih sangat rendah baik dari produk Kredit Usaha Rakyat (KUR), non KUR, maupun produk komersial. Ini menandakan tingkat kepercayaan lembaga keuangan terhadap UMKM dinilai rendah. Di Aceh tingkat penyaluran kredit investasi kisaran di bawah 10 persen.
Di samping itu, faktanya, belum ada lembaga keuangan yang mendukung sistem kebijakan devisa bagi pelaku usaha di daerah ini. Jika pun telah digunakan sistem syariah, namun sejauh ini masih belum sepenuhnya murni syariah.
Untuk itu dibutuhkan survei secara kuantitatif dan kualitatif guna memastikan arah dukungan dan sikap masyarakat Aceh terhadap penerapan/pemberlakuan sistem keuangan syariah atau single banking system di Aceh.
Kemudian, dibutuhkan kebijakan intervensi dari pemerintah pusat berupa PP atau Keppres guna memberikan dan memastikan bank konvensional dapat hadir kembali di Aceh sehingga masyarakat secara umum, termasuk pelaku usaha (swasta) memiliki alternatif sumber pembiayaan yang dapat menopang aktivitas usahanya. Intervensi pemerintah pusat dinilai sangat beralasan mengingat sejalan dengan kewenangan pusat dalam hal kebijakan fiskal dan moneter yang memang sepenuhnya menjadi kewenangan pusat (bukan daerah).
Di samping itu, perlu dilakukan advokasi untuk melakukan revisi Qanun LKS melalui mekanisme program legislasi daerah (Prolegda).
Selain itu, memastikan pemberian ruang bagi keberadaan bank konvensional dan bank syariah di Aceh untuk bersama-sama memajukan pertumbuhan ekonomi di Aceh sehingga mampu berkontribusi bagi penyediaan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan.