IPU: Partisipasi Perempuan dalam Politik Meningkat
Font: Ukuran: - +
Phumzile Mlambo-Ngcuka, tengah, Direktur Eksekutif, UN Women, didampingi Martin Chungong, kanan, Sekjen IPU dan moderator Paddy Torsney, Pengamat Tetap PBB, berbicara kepada media dalam sebuah konferensi pers,15 Maret 2017, Markas Besar PBB (foto: AP Photo/Mary Altaffer)
DIALEKSIS.COM | New York - Laporan Inter-Parliamentary Union mendapati tahun 2017 lalu jumlah perempuan yang duduk di dewan legislatif naik satu persen dibanding tahun sebelumnya, naik 24%. Sementara jumlah proporsi perempuan yang duduk di badan eksekutif naik hampir 21%.
Dalam konferensi pers dengan pimpinan IPU ketika meluncurkan laporan itu hari Selasa, Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo-Ngcuka mengatakan, "Faktanya 75% legislator adalah laki-laki. Itu berarti kebanyakan yang membuat undang-undang untuk kita adalah laki-laki."
Sementara Presiden IPU Gabriela Cuevas Barron mencatat pergeseran jenis portofolio yang dipegang perempuan yang duduk di badan eksekutif. "Perempuan masih memegang portofolio yang dinilai ‘lunak’ yaitu pada isu-isu sosial, keluarga, anak atau remaja. Meskipun demikian untuk pertama kali dalam sejarah lima menteri perempuan menduduki posisi dengan portofolio perdagangan dan industri." Ditambahkannya, "lebih banyak perempuan yang memangku jabatan di posisi-posisi yang secara tradisional biasanya dipegang oleh laki-laki."
Lebih jauh Cuevas Barron mengatakan dibanding tahun sebelumnya, pada tahun 2018, 30% menteri perempuan menduduki posisi di bidang pertahanan, sementara 52,9% di bidang keuangan, dan 13,6% di bidang luar negeri.
Sebaliknya, IPU juga mencatat bahwa partisipasi perempuan dalam kepemimpinan di tingkat puncak turun dari 7,2% menjadi 6,6%; dan dari 5,7% yang menjabat sebagai kepala pemerintahan, menjadi 5,2%.
Sebelas negara diketahui tidak memiliki satu menteri perempuan pun.
Faktor utama untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan mencapai kesetaraan gender adalah sistem kuota. "Analisis menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki rancangan kuota gender sangat baik, secara signifikan memilih lebih banyak perempuan untuk duduk di parlemen; dibanding yang sama sekali tidak memiliki rancangan itu," ujar Cuevas. "Sangat jelas bahwa kuota dan langkah afirmatif yang dirancang dengan baik, benar-benar mengubah keadaan."
Ditambahkannya, jika perempuan dapat membawa perubahan institusional, maka hal itu akan diikuti perubahan budaya.
Tetapi Cuevas juga menggarisbawahi bahwa sistem kuota hanya berfungsi ketika benar-benar diterapkan. "Ketika bicara tentang kesetaraan gender, kita memiliki undang-undang yang hampir sempurna. Tapi belum sepenuhnya diterapkan," ujar Presiden Kroasia Kolinda Grabar-Kitarovic kepada wartawan. "Ada sistem kuota di parlemen tetapi tidak satu partai pun menghormati sistem itu."
Lebih jauh Grabar-Kitarovic mengatakan pemilu terbaru di Kroasia menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang dipilih untuk menjabat di badan eksekutif dan legislatif adalah yang terendah sejak Kroasia merdeka tahun 1991. ‘’Partai-partai lebih memilih membayar denda dibanding menghormati sistem kuota yang ada,’’ ujarnya lirih.
Kroasia berada di peringkat 98 dari 191 daftar perempuan anggota parlemen di Internasional Parliamentary Union.
Irlandia, yang berada di peringkat ke 21, juga tidak melihat kemajuan berarti. Pada tahun 2016 kesenjangan antar gender hampir tak terlihat, tetapi dalam pemilu tahun 2017 jumlah perempuan yang terpilih turun hingga 38%.
"Partai saya memiliki sistem kuota. Mayoritas partai politik di Islandia memiliki sistem kuota, tetapi tidak semua; dan Anda bisa melihat hasilnya dalam pemilu lalu," ujar Perdana Menteri Islandia Katrin Jakonsdottir. "Saya rasa yang dibutuhkan adalah langkah-langkah radikal, kecuali jika kita ingin tetap berada disini dan bicara tentang ketidaksetaraan gender pada abad mendatang."
"Kita perlu membuat perubahan berarti bagi demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, bukan dari rakyat untuk laki-laki," ujar Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo-Ngcuka. "Oleh karena itu membuat ambang batas yang sangat konkrit oleh lintas-partai penting, agar mendapat legitimasi di parlemen. Jika di dalam partai mereka sendiri tidak dapat mewakili sebagian besar orang yang ada di daerah pemilihan yang ingin mereka pimpin, kita harus mempertanyakan apakah mereka benar-benar wakil rakyat sesungguhnya.’’ (VOA Indonesia)