Beranda / Berita / Dunia / Hong Kong Mulai Ditinggalkan Warga

Hong Kong Mulai Ditinggalkan Warga

Senin, 02 Desember 2019 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi warga Hong Kong di dalam kereta bawah tanah. [Foto: Philip Fong/AFP]

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Aksi demonstrasi di Hong Kong yang telah berlangsung selama hampir enam bulan memicu sebagian masyarakat untuk mencari kehidupan baru di luar negeri. Taiwan salah satu tujuannya.

Dilansir AFP, Senin (2/12/2019), hal itu dibuktikan dengan meningkatnya permintaan izin tinggal jangka pendek maupun permanen hingga 30 persen di Taiwan. 

Tercatat ada lebih dari empat ribu permohonan sejak Januari hingga September 2019 dibandingkan masa yang sama pada 2018.

Meski permintaannya meningkat, tetapi Taiwan dikenal sebagai wilayah yang tidak mau memberikan suaka maupun menerima pengungsi dikarenakan khawatir dengan arus migrasi dari China. 

Kendati demikian, masyarakat Hong Kong bisa tinggal di pulau tersebut dengan berbagai alasan, salah satunya dengan maksud kepentingan usaha.

Salah satu warga Hong Kong yang sedang berada di Kaohsiung, Taiwan, Leonardo Wong (27), mengatakan kampung halamannya tidak lagi aman dan tidak terbayang akan nasib Hong Kong di masa depan.

"Hong Kong tidak lagi aman. Anda tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Terlalu banyak serangan dari luar yang bisa mengubah apa yang akan terjadi. Sekarang ini terasa bahwa itu tidak akan kembali seperti sebelumnya. Kami tidak dapat melihat arah masa depan Hong Kong," kata Wong.

Ada pula mantan analis sistem, Chow Chung-ming (41), yang menyebutkan ia telah mendapatkan izin tinggal melalui skema investasi sebesar enam juta dolar Taiwan (atau sekitar Rp2,7 miliar). 

Chow Chung-ming (kanan). [Foto: Sam Yeh/AFP]

Ia mengaku memutuskan untuk pindah karena tertarik pada biaya sewa yang rendah serta kebebasan berekspresi yang didapat di sana. 

"Di Taiwan, kebebasan berbicara masih ada. Semua orang dapat memilih presiden dan anggota parlemen, sebuah hak yang belum dimiliki masyarakat Hong Kong dan sebuah kesempatan yang saya lihat tidak akan mungkin didapat," ujar Chow, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Gejolak di Hong Kong dipicu pembahasan rancangan undang-undang ekstradisi yang memperbolehkan seorang tahanan atau pelaku kasus tertentu untuk dapat diadili di China. 

Kendati RUU itu telah dicabut, demonstrasi semakin parah dengan munculnya tuntutan kebebasan lebih luas di kota itu.

Pemerintah China terus mendukung kebijakan 'satu negara, dua sistem' di Hong Kong yang memperbolehkan kota tersebut memiliki kebebasan lebih dan dapat mengatur hukumnya sendiri. Akan tetapi, masyarakat Hong Kong beranggapan hal itu perlahan memudar.

Hong Kong tidak akan menjadi bagian dari China sebelum jaminan selama 50 tahun berakhir, tetapi banyak masyarakat yakin kebebasan yang mereka miliki perlahan akan menghilang hingga jaminan itu berakhir pada 2047 mendatang.

"Saya pikir pengekangan pada kebebasan di Hong Kong akan terus berlanjut sampai menjadi 'satu negara, satu sistem'," kata Chow.

Arus masyarakat yang memutuskan untuk pergi dari Hong Kong saat ini disebut sebagai 'gelombang ketiga'. Sebelumnya banyak masyarakat Hong Kong yang hengkang ke luar negeri setelah Inggris mengembalikan Hong Kong ke China pada 1997 silam, dan pada 2014 setelah aksi 'Gerakan Payung' gagal.  

Pebisnis Suki Liu, yang dulu sering berpartisipasi dalam aksi unjuk rasa, berencana untuk pindah ke Taiwan dengan putrinya yang berusia dua tahun dengan alasan ingin memberikan masa depan yang lebih baik bagi anaknya.

Suki Liu. [Foto: Philip Fong/AFP]

"Perasaan saya telah melewati banyak suka dan duka serta saya merasa bisa mempertahankan lebih banyak perasaan daripada apa yang saya bisa hadapi. Saya harap ia bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik, bisa menikmati kebebasan, bisa menggapai cita-citanya di masa depan. Saya harap ia bisa memilih dan tinggal di kota dengan harapan ini," ujar Lui.

Meski begitu, bagi masyarakat Hong Kong yang pindah ke Taiwan akan tetap hidup di bawah bayang-bayang pemerintah China. 

Sebab, Beijing melihat pulau yang punya pemerintahan sendiri itu sebagai bagian dari wilayahnya dan berniat untuk menguasainya meski keduanya memiliki pemerintahan terpisah selama tujuh dekade terakhir. 

Presiden Taiwan yang memerintah sejak 2016, Tsai Ing-wen, menolak untuk mengakui pulau tersebut sebagai bagian dari 'satu China' dan berulang kali menyuarakan dukungan kepada para demonstran pro-demokrasi Hong Kong.

Beijing menanggapinya dengan tekanan ekonomi dan militer kepada Kaohsiung serta mulai merampas banyak sekutu diplomatik yang dimilikinya.

Tsai sendiri akan menghadapi pemilihan umum pada Januari mendatang dengan melawan seorang calon yang dikenal pro China. Ia juga menyerukan pemilihan tersebut sebagai bentuk perjuangan kebebasan dan demokrasi.

Beberapa warga Hong Kong berharap Taiwan akan memperhatikan apa yang terjadi dari kerusuhan di kota asal mereka.

"Saya tidak bisa memilih, tapi saya berharap masyarakat bisa memilih seseorang yang bisa menjaga Taiwan," kata Chow. 

Sedangkan Phoenix Law (30) menuturkan kebebasan yang lebih baik menjadi alasan ia memutuskan untuk pindah ke Taiwan.

"Jika masyarakat (di Taiwan) tidak menerima apa yang dilakukan presiden, mereka bisa menolaknya. Saya harap masyarakat Taiwan selalu waspada setelah melihat situasi di Hong Kong. Jangan percaya dengan Partai Komunis China, apa yang mereka katakan mungkin terdengar baik tetapi semua itu hanyalah kebohongan," ujar Law.(me/cnnindonesia)

Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda