Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Takdir Tuhan Nova Iriansyah Gubernur Definitif Aceh

Takdir Tuhan Nova Iriansyah Gubernur Definitif Aceh

Jum`at, 16 Oktober 2020 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Aceh dihangatkan dengan pemberitaan seputaran Keppres Presiden RI yang memberhentikan Irwandi Yusuf dari gubernur dan melantik Nova Iriansyah sebagai gubernur definitif. DPRA menunjukan taring’mengabaikan’ Keppres itu dan tidak pernah membahas soal pendefinitifan Nova.

Justru personil di DPRA membuat jurang pemisah, mengajukan hak interpelasi dan menyatakan pendapat, hingga memunculkan aroma pemakzulan kepada Nova yang menjabat sebagai Plt Gubernur Aceh.

Sejak Irwandi Yusuf, mantan Gubernur Aceh terjerat hukum Tipikor dan kini sudah mendapatkan hukum tetap, upaya untuk menganjal Nova sebagai gubernur defenitif terus bergulir.

DPRA di sana mengutak atik proyek multiyear yang akan dilanjutkan Nova sebagai Plt. Tidak hanya sampai disitu, secara lembaga dewan di sana melaporkan Nova ke KPK. Tak puas dengan upaya itu kembali dilakukan trik dengan penggalangan upaya hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, sampai ke pamakzulan.

Apa yang dikerjakan Nova pada masa negeri ini dilanda musibah corona, senantiasa diintai titik lemahnya. Lembaga terhormat di ujung pulau Sumatera ini terpecah. Koalisi parlemen Aceh bermartabat tidak lagi solid.

Perpecahan itu semakin jelas, ketika Keppres nomor 73P/2020 tertanggal 17 Juli 2020 tentang pemberhentian Irwandi Yusuf dan pengangkatan Nova Iriansyah sebagai Gubernur Aceh definitif ‘dimainkan ‘ DPRA.

Lembaga ini mendiamkan dan mengabaikan surat dari presiden itu. Tidak pernah diteruskan untuk dibahas. Dampaknya pelantikan Nova sebagai Gubernur Aceh defenitif tidak pernah masuk dalam agenda dewan.

Kini soal Keppres itu ramai dibahas. Namun ketua DPRA justru menuding pihak yang mempersoalkan SK keppres ini adalah pihak yang sengaja menciptakan kegaduhan. Pro dan kontra menjadi makanan publik. Bagaimana hingar bingarnya persoalan ini, Dialeksis.com, mencatatnya sebagai catatan kelam dalam perjalanan sejarah di negeri ini.

Benarkah Membuat Kegaduhan?

DPRA terkesan memendam surat keputusan presiden RI tentang pemberhentian Irwandi Yuruf dari jabatan Gubernur Aceh masa jabatan 2017-2022.

Keppres Presiden RI nomor 73/P/ tahun 2019, sudah diterima DPRA sejak Agustus 2020. Namun surat ‘sakti’ ini disimpan oleh pihak dewan dan tidak diekpose ke public, apalagi diteruskan untuk dilakukan pembahasan.

Publik bertanya kenapa DPRA tidak bersikap, membawa dalam sidang paripurna untuk menindak lanjuti surat Keppres tentang pemberhentian Irwandi Yusuf dan pengangkatkan Nova Iriansyah sebagai Gubernur Aceh yang defintif, bukan lagi jabatan Plt yang diamanahkan kepada Nova.

Publik baru mengetahuinya ketika wakil ketua DPRA Dalimi menjawab media membenarkan Keppres tentang pemberhentian Irwandi Yusuf yang dikeluarkan Presiden pada 17 Juli 2020 telah diterima DPRA Agustus 2020.

Bahkan Dalimi menyebutkan, surat itu sudah dikirim kementrian negara pada pada 20 Juli 2020 ke DPRA. Dalimi mengakui surat Keppres itu dilihatnya di ruang wakil ketua III DPRA pada 12 Agustus 2020.

Spontan pernyataan Dalimi dari Demokrat ini menjadi pembahasan. Namun Ketua DPR Aceh Dahlan Jamaluddin membuat pernyataan di media. Namun dia bukan mempersoalkan SK Keppres itu, justru dia menggiring opini diluar kontek Keppres dan lebih focus pada hak interpelasi dan menyatakan pendapat DPRA.

Soal surat Keppes ini, Dahlan justru menyebutnya sengaja dimainkan oleh pihak pihak tertentu untuk membuah gaduh. Padahal sesuai regulasi, pengangkatan Gubernur Aceh yang definitif harus berdasarkan usulan DPRA kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Dahlan menyebutkan, sebenarnya yang paling penting dipikirkan sekarang oleh eksekutif adalah bagaimana menekan laju kasus. Meningkatkan angka kesembuhan, dan mengurangi jumlah warga yang meninggal akibat terinfeksi virus Corona .

Dalam keterangan kepada media, Dahlan tidak memberi penegasan benar atau tidaknya soal surat Keppres Presiden RI nomor 70/P/ tahun 2019, tertanggal 17 Juli 2020 sudah diterima pihak DPRA. Juga tidak ada penjelasan apakah akan ditindak lanjuti. Dahlan justru mempersoalkan kinerja pemerintah.

“Apa skema dan action yang sudah dilakukan Pemerintah Aceh? Kemana angka 2,5 triliun rupiah dana refocusing APBA 2020? Apa yang kurang dalam konteks penanganan kesehatan? Apa yang bermasalah dalam konteks sosial dan ekonomi? Seharusnya isu-isu seperti itu yang perlu dipertimbangkan,” sebut Dahlan.

Dahlan menyebutkan soal SK keppres pendefinitifan Gubernur Aceh menggantikan Irwandi Yusuf, hanya isu yang sengaja dimainkan untuk membuat gaduh. Biasanya bila SK pemberhentian Gubernur Aceh sudah turun, maka langkah lanjutan adalah pihak DPRA akan membawanya dalam rapat untuk mengusulkan pejabat definitif.

Hal itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Bab VII Bagian Kedua UUPA, katanya, diatur tentang Tugas dan Wewenang DPRA dan DPRK. Pada Pasal 23 ayat (1) huruf (d) disebutkan, DPRA mempunyai tugas dan wewenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

Menurut Dahlan, isu tersebut sengaja diembuskan di tengah masa penanganan pandemi. Di sisi lain DPRA sedang fokus pada agenda penyampaian hak interpelasi kepada Nova Iriansyah dan kini berlanjut pada penyampaian hak menyatakan pendapat terhadap Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Aceh.

Soal agenda yang kini difokuskan seperti dijelaskan Dahlan yang sedang berproses di DPRA. Puluhan anggota DPRA menandatangi persetujuan hak menyatakan pendapat terhadap Plt Gubernur Aceh. “Hampir dari semua fraksi, tapi belum dilaporkan kepada kami. Jika sudah disampaikan oleh para inisator, baru kita tindak lanjuti,” kata ketua dewan.

Dahlan menambahkan, sesuai regulasi hak menyatakan pendapat bisa diajukan jika ditandatangi minimal oleh 20 anggota dewan. Kemudian, sebutnya, para insiator akan menyampaikan kepada pimpinan DPRA sebelum dibawa ke rapat badan musyawarah untuk diambil sikap dalam paripurna.

Dahlan hanya menjelaskan dan memberikan penekanan tentang agenda fokus dewan tentang hak interpelasi dan menyampaikan pendapat terhadap PLT Gubernur Aceh.Dahlan tidak memberikan penjelasan secara rinci tentang Keppres tentang pemberhentian Irwandi Yusuf dan pendefinitifan Nova Iriansyah yang kini ramai dibahas.

Nova Ditakdirkan Tuhan Menjadi Gubernur Definitif

Lain lagi yang disampaikan Wakil Ketua DPRA, Safaruddin. Dia membenarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) tentang pemberhentian Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh sudah diterima DPRA pada Agustus lalu.

"Secara regulasi, aturan dan mekanismenya, ketika DPRA menerima, harusnya melakukan proses paripurna. Dan kita teruskan ke Ketua. Cuma persoalannya, bagaimana kita bisa teruskan, sedangkan Keppres itu sendiri sudah melampaui batas waktu sesuai regulasi yang ada. Sehingga ranahnya tidak bisa lagi di DPRA," jelas Safaruddin saat dihubungi Dialeksis.com, Kamis (15/10/2020).

"Sudah take over dengan sendirinya. Itu ranahnya ke Kemendagri. Sehingga Kemendagri bisa langsung mengusulkan definitif Nova Iriansyah ke presiden," tambahnya.

Wakil Ketua DPRA itu menjelaskan, karena banyaknya pertanyaan terkait Keppres tersebut dari publik, pihaknya kini sudah bertemu dengan salah satu pejabat di Kemendagri.

"Nah beliau juga menyatakan, itu surat definitifnya Nova Iriansyah sudah turun, tinggal nanti kita coba konsultasikan ke DPRA karena harus ikut regulasi UUPA," ucap Safaruddin.

"Saya sudah menyampaikan ke Sekretariat Negara, pelantikannya tidak boleh di Istana Negara. Karena Aceh itu punya UU sendiri. Kemudian tadi mereka juga sampaikan, tolonglah dari DPRA disahuti ketika nanti suratnya sudah kita kirimkan," tambahnya.

Safaruddin melanjutkan, asalkan itu amanat secara konstitusional, maka wajib dijalankan. "Terlepas adanya dinamika politik, ya soal amanat taat azas dan hukum, harus kita jalankan," ungkapnya.

"Kalau mau kita bilang bahwa Nova Iriansyah ini sudah takdir Allah jadi Gubernur Aceh," pungkasnya.

Seharusnya Nova Iriansyah Sudah Definitif

Aryos Nivada, pengamat politik dan keamanan yang juga akademisi FISIP Unsyiah memberikan penilaian soal posisi Nova Iriansyah saat sekarang ini.

Menurut Aryos, Nova Iriansyah seharusnya dapat menjadi Gubernur Aceh. Sebab Putusan Kasasi di Mahkamah Agung terkait kasus dugaan korupsi DOKA, Gubernur non Aktif Irwandi Yusuf. Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Apabila Gubernur/bupati/walikota diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), Pasal 50 ayat (2), dan Pasal 51 ayat (7), jabatan kepala daerah diganti oleh Wakil Gubernur/wakil bupati/wakil walikota sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRA atau DPRK dan disahkan oleh Presiden.

Pasangan Irwandi Nova dilantik 5 Juli 2017 dalam Sidang Paripurna Istimewa DPR Aceh, di Banda Aceh. Pasangan ini sedianya akan berakhir masa jabatannya pada 5 juli 2022.

Secara hukum Irwandi terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Masa jabatan Nova Iriansyah sendiri apabila dihitung pada Agustus 2020, maka sisa jabatan pasangan Irwandi- Nova adalah 24 bulan, jelas Aryos.

Berdasarkan ketentuan UUPA, maka Nova Iriansyah seharusnya kini sudah harus dilantik menjadi Gubernur Aceh. Sebab telah keluar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menjadi dasar pemberhentian Irwandi Yusuf.

MA telah memperbaiki putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 25/PID.SUS-TPK/2019/PT. DKI tanggal 8 Agustus 2019 yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 25/PID.SUS-TPK/2019/PT. DKI tanggal 8 Agustus 2019 mengenai kualifikasi tindak pidana menjadi "korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut.

Bila mengacu pada regulasi, sebut Aryos, apabila sisa masa jabatan Nova kurang dari 18 bulan, maka Presiden akan menunjuk Penjabat Gubernur sampai berakhirnya periode kepemimpinan Irwandi Nova. Sedangkan posisi Nova akan kembali menjabat sebagai Wakil Gubenur Aceh definitif. Hal tersebut diatur dalam Pasal 174 ayat (1) UU Pilkada :

Apabila Gubernur berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan penjabat Gubernur atas usul Menteri sampai dengan berakhirnya masa jabatan Gubernur.

Namun, sebut Aryos, Keppres nomor 73/P/2020 tertanggal 17 Juli 2020 menegaskan, masa jabatan Nova Iriansyah sejak dikeluarkanya Keppres ini mencapai 24 bulan lagi, hingga berahirnya masa jabatan.

Perbedaan di DPRA

Perpecahan di DPR Aceh sudah menjadi pembahasan publik. Tarik menarik kepentingan di sana tidak terhindarkan. Sesama pimpinan DPRA ada beda pandangan dalam menyikapi persoalan. Dalimi misalnya, wakil ketua DPRA dari Demokrat, sikapnya berbeda dengan Dahlan.

Dalimi ‘membela’ kader partainya yang kini menjadi orang nomor satu Aceh. Wakil Ketua DPR Aceh fraksi Partai Demokrat ini menyebutkan, paska terbitnya Keppres nomor 73/P/2019, sampai saat ini Ketua DPR Aceh tidak melakukan komunikasi apapun dengan beberapa pimpinan lembaga menyangkut Keppres tersebut.

Bahkan Dalimi merasa susah berkomunikasi dengan pimpinan DPRA. Karena masukan saran, pendapat dari pihak lain susah untuk diterima.

"Jadi agak susah kita melihat beliau (Ketua DPRA, Dahlan_red) Komunikasi beliau itu yang benar hanya menurut beliau saja," kata Dalimi, Kamis (15/10/2020) menjawab Dialeksis.com.

Dalimi menilai sikap ketua DPRA dalam merespon Keppres nomor 73/P/2019 terkesan sengaja mengulur ulur waktu, agar keinginan kelompok yang akan melakukan interpelasi dan mengajukan pendapat dapat mereka laksanakan.

Bahkan keinginan itu akan mengarah pada pemakzulan Plt Gubernur Aceh. Tentunya bila upaya ini dilakukan, sangat kontradiksi sekali bila ada upaya pendefinitifan gubernur. Ada yang menginginkan pemakzulan, sementara dilain sisi ada yang memperjuangkan pendefinitipan.

“Tidak mungkin dua duanya bisa dijalankan, sangat bertolak belakang. Kalau sudah pada tahap pemakzulan, mana mungkin mereka akan mengagendakan pengdefinitifan gubernur,” sebut Dalimi.

Oleh karenanya, sebagai partai yang memiliki kadernya kini menjadi Gubernur Aceh, Dalimi tetap memberikan saran dan masukan, walau saran dan masukan itu akan dimentahkan.

“Kami hanya bisa memberi saran dan pendapat, karena mayoritas yang duduk di kursi DPRA itu adalah anggota fraksi koalisi Aceh Bermartabat. Masyakar dalam memberikan penilaian sendiri, mana yang mau membangun Aceh dan mana yang tidak mau membangun,” sebutnya.

Benarkah Nova Iriansyah sudah resmi menjadi Gubernur Definitif Aceh? Wakil ketua DPRA, Syafaruddin, mengakuinya. Nova sudah ditakdirkan Allah menjadi Gubernur Aceh. Walau Safaruddin menjelaskan, ranah untuk pendifinitifan Nova bukan lagi ranah DPRA, namun wewenang Mendagri.

DPRA saat ini dihingar bingarkan dengan persoalan interplasi dan hak mengemukan pendapat, muaranya akan masuk pada agenda pemakzulan. Sementara dilain sisi, definitif Nova sebagai gubernur juga terus mengemuka.

Presiden sudah mengeluarkan sebuah produk hukum yang menyatakan Irwandi Yusuf diberhentikan dari jabatanya sebagai Gubernur Aceh, karena Irwandi tersandung hukum. Nova Iriansyah akan menjadi Gubernur definitif, bukan lagi sebagai pelaksana tugas.

Namun DPRA mengayun-ayun Keppres no 73/P/2020 ini. Tidak ada kepastian dari lembaga. Waktu terus berjalan, publik dihiasi dengan sejumlah pertanyaan.

Apakah Presiden yang sudah mengeluarkan sebuah SK tidak mengamankan keputusanya? Bila SK yang sudah ditetapkan presiden, namun belum dihargai untuk ditindak lanjuti, masih berwibawakah pemerintah yang sudah mengeluarkan SK ini?

Bagaimana kelanjutan dari pertarungan kekuatan di lembaga politik di DPRA? Kita ikuti saja jurus - jurus apalagi yang akan dikeluarkan dalam meramaikan dunia kekuasaan. (Bahtiar Gayo)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda