Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Program Stunting UNICEF di Aceh Salah Sasaran

Program Stunting UNICEF di Aceh Salah Sasaran

Rabu, 13 November 2019 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Apa yang diungkapkan tim penanganan dan pencegahan stunting Aceh Dr. Nasrul Zaman, ST, M. Kes yang menyebutkan bahwa program penanggulangan stunting yang dilakukan Unicef tidak efektif dan efisien sehingga belum memberi dampak yang signifikan, sepertinya benar adanya. 

Menurut Nasrul Zaman, dalam kegiatannya Unicef dalam membangun basis program tidak mengajak pihak stakeholder, semisal Bappeda dan Dinas terkait lainnya.

"Sumberdaya mereka juga terbatas pada 4 kabupaten di Aceh, itupun di wilayah yang penduduknya minim. Tapi kalau dilaksanakan di Aceh Timur misalnya yang dari awal beresiko, atau Aceh utara, Pidie, dan Aceh Besar. Ini kan menarik. Ini di Aceh Jaya yang kecil-kecil," ujar Nasrul Zaman, Jumat (8/11/2019).

Wilayah Sasaran Program Tidak Tepat

Pandangan tim penanganan dan pencegahan stunting Aceh itu paling tidak tergambarkan pada keterangan yang didapat Dinas Kesehatan Aceh.

Berdasarkan data rekapitulasi data terpilih (KI-KB-Gizi) yang diperoleh Dialeksis.com dari Dinas Kesehatan Aceh, hingga November 2019 Kabupaten Aceh Timur menempati urutan teratas jumlah terbanyak kejadian stunting yang terjadi dengan 5418 kasus. Sementara itu, Kabupaten Bireuen (3407 kasus), Aceh Besar (3378 kasus), Aceh Utara (2433 kasus), dan Aceh Selatan (1694 kasus) menduduki urutan berikutnya kejadian stunting di Aceh.

"Itu lima besar kabupaten dengan kejadian stunting terbanyak. Data itu per November 2019," ucap Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Aceh, Lasmi, kepada Dialeksis.com diruang kerjanya, Rabu (13/11/2019).

Lebih lanjut dia menjelaskan, sepengetahuan dirinya pada tahun 2019 ini pihak Unicef juga melakukan kegiatan penanggulangan stunting di beberapa kabupaten/kota di Aceh.

"Yang saya tahu, ada beberapa kabupaten yang coba diintervensi oleh Unicef dalam penanggulangan stunting, seperti Singkil, Simeulu, dan Sabang. Aceh Jaya juga ada. Kebetulan besok, (Kamis, 14 November 2019) kami rapat bersama Unicef membahas persoalan ini di Jakarta," terang Lasmi.

Ketika disinggung indikator penetapan daerah sasaran program yang di intervensi Unicef, Lasmi mengaku tidak tahu persis apa ukuran yang digunakan lembaga dunia itu.

"Itu lebih pas nya ditanyakan ke Unicef. Tapi saya yakin mereka juga memiliki data. Mungkin keputusannya di Jakarta mungkin ya, mereka melihat data yang ada. Makanya dalam pertemuan besok itu kita ingin tahu berdasarkan apa mereka memilih wilayah itu. Kalau melihat surat RUTG itu, berdasarkan penelitian yang mereka buat pada bulan Maret. Makanya saya pikir, kenapa tidak mengajak kita untuk duduk bersama dulu," terang Lasmi.

Mulanya, sambung dia, tahun 2018 ada tiga daerah locus stunting. Lasmi menyebutkan Kabupaten Pidie, Aceh Tengah, dan Aceh Timur.

"Tahun 2019 bertambah lagi locusnya. Unicef melihat mungkin pemerintah telah banyak mengalokasikan anggarannya ke situ, mereka mencoba ke daerah lain. Buktinya ada di Aceh Utara, Unicef juga memberikan bantuan untuk penanggulangan stunting (bantuan peningkatan nutrisi untuk balita)," jelasnya.

Terkait dengan capaian yang telah diraih Unicef dalam menekan angka kejadian stunting di Aceh sejak awal program, ia mengaku tidak tahu persis. Namun, Lasmi berkeyakinan dengan kehadiran Unicef mampu memberikan perubahan yang signifikan dalam menekan angka kejadian stunting.

"Sekarang kita belum bisa lihat. Mungkin dalam tempo setahun kita bisa lihat. Tapi itu juga bukan murni karena Unicef nya, sebab kita juga punya kegiatan ikut menanggulangi kejadian stunting," tegas dia.

Ia mencontohkan, dalam rentang tahun 2013-2018 Pemerintah Aceh mampu menurunkan angka kejadian stunting sebanyak 4%.

"Tahun 2013 angka kejadian 41,5%. Lima tahun kemudian, tepatnya tahun 2018 kita mampu menurunkan kejadian stunting pada angka 37,3%. Artinya tanpa kehadiran dari luar kita juga mampu kok. Tapi kita tetap berharap, dengan hadirnya Unicef minimal mampu menaikkan angka capaian 4% tadi. Jadi secara prinsip, kita juga butuh lembaga seperti Unicef yang mau membantu kita memberantas stunting di Aceh karena penanganan gizi buruk ini tidak mudah," pungkasnya.

Dinas Kesehatan Aceh, sebutnya, telah mengambil langkah konkrit untuk mengatasi kejadian stunting. Diantaranya, kata Lasmi, meningkatkan kapasitas sumberdaya daerah.

"Jadi kalau ada kasus gizi buruk segera diintervensi, baik di Puskesmas, maupun ditempat-tempat yang bisa menangani. Juga ada pemberian makanan bagi bayi dan anak," tutur Lasmi.

Sementara itu, untuk mendapatkan informasi yang berimbang, pada Rabu (13/11/2019), media ini telah mencoba menghubungi perwakilan Unicef di Banda Aceh. Namun, hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi belum membuahkan hasil. Sambungan langsung via telpon tidak ada respon, pun dengan pesan pendek yang dikirim juga belum dibalas.

Tidak 'Donor Mainded'

Sementara itu, pada kesempatan yang lain dosen Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unsyiah Dr. Irwan Saputra, S.Kep, MKM menyebutkan persoalan stunting yang terjadi di Aceh saat ini bukanlah persoalan baru. Menurutnya, persoalan gizi buruk ini sudah sering dibahas oleh stakeholder dan pihak terkait.

"Ini bukan persoalan baru sebenarnya. Kenapa sekarang jadi booming? Saya juga heran," kata Dr. Irwan, Minggu (10/11/2019).

Ia menduga, masuknya Unicef ke Aceh dan mengintervensi program stunting membuat permasalahan tersebut menjadi besar.

"Karena mungkin banyak proyek, sehingga ini menjadi pembicaraan di semua lini. Padahal dari dulu sudah ada persoalan ini dan seharusnya bisa dicegah dari awal," sebut mantan staf ahli komisi F DPRA tahun 2013 itu.

Menurut pendiri lembaga Hospital Manajemen Consultant (HMC) itu, persoalan stunting tidak muncul secara serta merta. Ada proses yang melatarbelakangi sehingga permasalahan gizi buruk ini terjadi.

"Dari gizi buruk yang terjadi sejak hamil. Jadi sebenarnya gampang untuk dideteksi," ujarnya.

Menurut dia, kehadiran bidan di desa-desa seharusnya bisa dimaksimalkan. Jika ditemukan kasus yang berpotensi terjadinya stunting, bidan bisa melaporkan ke dinas kesehatan untuk diambil langkah pencegahan.

"Kasus ini seharusnya tidak terjadi. Saya juga heran kenapa kasus ini bisa seheboh ini. Seolah-olah kita tidak punya sumber daya dalam menangani stunting,"

Kehadiran Unicef sendiri, lanjut dia, dalam menangani program stunting tidak memberikan dampak signifikan terhadap berkurangnya kasus stunting di Aceh.

"Kalau Unicef datang menangani penyakit malaria misalnya, pasti heboh dengan penyakit malaria. Kita masih bekerja dengan program, terperangkap dengan 'program mainded'. Nampak sekali kita tidak mandiri dalam mengelola program, seharusnya kita tidak bergantung dengan Unicef," tegas dia.

Dia menyebutkan seharusnya tidak terpaku dengan program yang datang dari luar. Dengan data yang setiap saat di update dilapangan, pihak terkait bisa menganalisis setiap masalah sesuai dengan kebutuhan.

"Makanya jadi aneh, siapa yang bawa program dari luar jadi heboh. Malaria kalau disupport Unicef heboh, program IT kalau disupport heboh. Jadi seolah-olah, kawan-kawan ditataran teknis, dia melihat siapa yang punya funding itu yang diperbesar masalahnya. Aneh juga kan," terang Dr. Irwan.

Dia melanjutkan, langkah konkrit yang harus dilakukan dalam menangani permasalahan stunting di Aceh adalah pembenahan data. Menurut dia, data yang digunakan harus dipastikan benar.

"Kita khawatir data yang digunakan berbeda-beda. Jadi kita tidak percaya mana data yang paling valid. Kita sempat bangga dulu dengan program Pak Irwandi, Sistim Informasi Aceh Terpadu (SIAT). Harusnya seluruh data kependudukan dan berbagai masalah satu datanya. Jadi dari tim kesehatan tidak susah. Masing-masing desa kan punya bidan yang menginput data permasalahan," ucapnya.

Selanjutnya, sambung dia, langkah yang harus dilakukan adalah pemetaan (mapping) daerah yang paling besar potensi masalah.

"Sehingga masalah itu bisa dicegah. Artinya kita masih rapuh dengan pencegahan. Kalaulah betul angka gizi buruk yang muncul di daerah yang kaya raya ini, berarti kita lemah di pencegahan, kita tidak peduli dengan data awal. Ini kelemahan kawan-kawan di Dinas Kesehatan dan di puskesmas," pungkas Dr. Irwan.

Jika semua pemetaan masalah sudah dilakukan, Dr. Irwan menyebutkan seharusnya hasil dari mapping itu dimasukkan kedalam renstra dan menjadi program daerah.

"Dan itu harus dimonitor. Yang paling penting sekarang, karena stunting sudah menjadi masalah di desa, seharusnya puskesmas mau tidak mau harus berada di depan. Yang menjadi masalah lain, puskesmas atau stakeholder di puskesmas pun tidak tahu harus membuat program apa. Ini juga masalah. Jadi ini juga menyangkut masalah sumberdaya," imbuhnya.

Jika semua mekanisme di atas sudah dilakukan, kata Dr. Irwan, tidak semestinya pihak luar atau lembaga donor mengintervensi permasalahan kesehatan di Aceh.

"Tidak semestinya kita diintervensi. Kita punya SDM, kita punya anggaran, dan kita tidak perlu bekerja berdasarkan pesanan dari luar. Kalau mereka datang sebagai semangat kita bekerja boleh. Kita sama-sama bekerja dengan orang luar. Kita punya anggaran besar lho dibidang kesehatan, dengan otsus dan sebagainya," kata Dr. Irwan. (red)


Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda