Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Potensi Konflik Pilkada Aceh, TNI dan Partai Lokal dalam Sorotan

Potensi Konflik Pilkada Aceh, TNI dan Partai Lokal dalam Sorotan

Sabtu, 23 Maret 2024 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Ilustrasi gambar Pilkada Aceh. Foto: jurnalaceh.com


DIALEKSIS.COM | Dialektika - Aceh, sebuah provinsi yang pernah menjadi pusat gejolak politik di Indonesia, kini kembali mendapat sorotan. Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, mengungkapkan kekhawatiran akan potensi konflik yang meningkat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024. 

Namun, pernyataan Panglima TNI ini mendapat tanggapan yang serius dari berbagai pihak. Bagaimana hangatnya persoalan yang sudah dipicu oleh Panglima TNI ini, Dialeksis.com merangkumnya dalam sebuah catatan.

Polemik ini muncul ketika Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, dalam pertemuannya dengan Komisi I DPR. Panglima Agus menyoroti partai lokal di Aceh yang diduga menjadi tempat berkumpulnya para mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 

Ia menyatakan keprihatinannya bahwa partai-partai ini bisa menjadi sumber konflik antara mantan anggota GAM dan non-anggota GAM.

Partai lokal di Aceh menjadi pusat perhatian karena dituduh menjadi wadah aspirasi eks-kombatan GAM. Menurut panglima TNI, potensi konflik horizontal di Aceh semakin meningkat, terutama jika hasil Pilkada tidak memuaskan salah satu kandidat. 

“TNI mengambil langkah preventif dengan memantau tanda-tanda intoleransi dan ketidakharmonisan sosial serta menjalankan operasi keamanan statis dan mobile untuk mencegah ancaman bersenjata,” ujarnya. 

Pernyataan Panglima TNI ini tentu ada yang mengkritisinya, tidak menerima atas tudingan tersebut. Kritikan itu disampaikan Nurzahri, Jubir Partai Aceh. Nurzahri menunjukan ketidakpuasanya atas pernyataan Panglima TNI.

Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri, menyatakan bahwa pernyataan tersebut terkesan tendensius dan tidak memahami secara mendalam dinamika politik dan hukum di Aceh. Menurutnya, Partai Aceh telah mematuhi perdamaian Helsinki dan berpartisipasi dalam proses pemilihan umum sejak 2006.

Respon yang tidak kalah menarik lainya datang dari mantan juru runding GAM, Teuku Kamaruzzaman, atau yang dikenal dengan Ampon Man. Menurutnya, pernyataan Panglima TNI seharusnya dianggap sebagai peringatan untuk meningkatkan kewaspadaan. 

Ia menegaskan bahwa partai lokal Aceh, meskipun diduga menjadi wadah aspirasi mantan anggota GAM, telah memiliki legalitas secara hukum jelas yang diakui pemerintah dan terlibat dalam proses berdemokrasi dan pembangunan di Aceh.

Sementara itu, Wakil Ketua Partai Aceh, Dr. Nurlis Effendi, menyatakan bahwa pandangan negatif terhadap politik Aceh akan mengakibatkan analisis yang tidak akurat. 

Ia menekankan bahwa politik di Aceh telah berubah dinamis dan menantang, dengan partai lokal seperti Partai Aceh menjadi wadah bagi aspirasi politik eks-kombatan GAM. 

Namun, Nurlis juga menyoroti perlunya dialog yang lebih konstruktif antara pihak militer dan politik untuk mencapai pemahaman yang lebih baik.

Kritik terhadap pernyataan Panglima TNI juga datang dari Ketua DPW PSI Aceh, Zulkarnaini Syeh Joel. Dia menyatakan bahwa pihaknya menghormati posisi dan otoritas Panglima TNI dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara.

“Termasuk dalam menyampaikan analisis mengenai situasi di berbagai wilayah, termasuk Aceh. Namun pernyataan Panglima TNI justru dapat menimbulkan kesan yang kurang tepat dan potensial memicu ketegangan di Aceh,” jelasnya.

Syeh Joel menegaskan bahwa fakta menunjukkan proses pemilihan yang melibatkan partai lokal di Aceh telah berjalan dengan lancar, damai, dan semakin normal sejak tahun 2009. Ini merupakan bukti kematangan politik masyarakat Aceh dalam mensukseskan pesta demokrasi.

Menurutnya, sebagai bagian dari proses demokrasi, PSI Aceh percaya bahwa semua pihak harus berupaya menjaga situasi yang kondusif dan memastikan bahwa proses Pilkada berlangsung secara transparan, adil, dan damai.

Oleh karena itu, pintanya, diharapkan pernyataan yang mengindikasikan ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi di Aceh dapat diminimalisir, dan sebaliknya, upaya untuk meningkatkan, membangun kepercayaan dan kolaborasi antara pemerintah, aparat keamanan, partai politik, dan masyarakat Aceh secara keseluruhan.

Aceh, dengan sejarah panjang gejolak politiknya, kini berada di persimpangan yang menantang. Panglima TNI sudah memberikan aba-aba, ada sebuah peringatan akan potensi konflik yang muncul menjelang Pilkada 2024.

Namun disisi lain banyak juga yang mengkritisi pernyataan Panglima TNI, khususnya datang dari mereka yang tergabung dalam Partai Aceh. Para politisi yang tergabung dalam partai dengan warna khas merah berbulan bintang ini menyatakan komitmennya terhadap proses demokrasi dan perdamaian. 

Panglima sudah menabuh aba-aba. Dilain sisi pernyataan itu juga ditanggapi, bila persoalan ini terus dibiarkan mengelinding bagaikan bola salju, tentunya akan sangat merugikan Aceh.

Di tengah dinamika politik yang kompleks, langkah-langkah preventif dan dialog yang terbuka menjadi kunci untuk menjaga stabilitas di Aceh dan memastikan proses demokrasi berjalan dengan lancar.

Harus ada keterbukaan dalam membangun dialog, agar persoalan yang dikhawatir Panglima TNI tidak terjadi, harus juga diterima argument para politisi di Aceh yang memberikan masukan terhadap pernyataan Panglima TNI ini. Persoalan ini kiranya tidak dibiarkan mengelinding tanpa muara.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda