Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / ACEH LEBIH REALISTIS PILKADA 2023

ACEH LEBIH REALISTIS PILKADA 2023

Minggu, 22 November 2020 18:10 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Belakangan wacana dukungan terhadap pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di Aceh tetap digelar pada Tahun 2022 semakin menguat. Mulai dari kalangan akademisi, politisi dan elemen sipil menyatakan bahwa Pilkada Aceh 2022 tetap harus dilaksanakan mengacu kepada UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 65 ayat (1) UUPA ditegaskan bahwa Pilkada Aceh mengikuti skema 5 (lima tahun sekali). Namun UU Pilkada yang berlaku secara nasional menganamatkan agar daerah yang Pilkada pada tahun 2022 diundur sampai tahun 2024.

Pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada menyampaikan apabila mengikuti alur UUPA, maka jelas Pilkada Aceh dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Tapi lebih lanjut Aryos mengatakan tata kelola Pilkada dalam UUPA masih menganut prinsip Pilkada dibawah rezim pemerintahan daerah. Sedangkan pasca diundangkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pilkada bukanlah lagi rezim Pemda namun sudah beralih menjadi rezim pemilu. Dengan demikian tata kelola Pilkada di Aceh, mau tidak mau memang harus mengalami penyesuaian.

“Pilkada sudah menjadi rezim Pemilu, dimana penyelenggaraan dan tata kelola Pilkada berada dilaksanakan secara terpadu mengikuti mekanisme serentak nasional. Artinya Pilkada di rezim Pemilu ini tidak lagi sama ketika Pilkada berada di bawah rezim pemerintahan daerah. Pilkada dibawah rezim Pemda menjadi tanggung jawab mutlak daerah. Namun jika Pilkada dibawah rezim Pemilu, maka semua pihak punya peran dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemilu daerah baik pemerintah daerah sendiri, pusat dan penyelenggara Pemilu dari daerah hingga pusat. Artinya manajemen Pilkada kali ini adalah manajemen terpadu dan serentak. Jadi mengikuti alur keserentakan ini, maka tata kelola Pilkada Aceh memang harus mengalami penyesuaian” ujar dosen ilmu politik Universitas Syiah Kuala ini.

Lebih lanjut, Aryos menuturkan lagi bahwa konsekuensi hal tersebut, praktek pelaksanaan Pilkada Aceh tidak dapat dibaca pada skup Aceh semata, namun bacaannya harus skala nasional.

  “Mengapa demikian karena di 2022 Aceh serentak bersamaan dengan DKI, Papua, dan Yogya. Ini akan menjadi persoalan serius karena duduk permasalahannya masih ambigu. Wilayah-wilayah lain yang juga memiliki kekhususan juga pelaksanaannya tetap mengikuti mekanisme pelaksanaan Pilkada serentak nasional” tukas aryos.

Hal itu ditambah lagi dengan poin dalam putusan MK yang menegaskan Pilkada bukan kekhususan Aceh. Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam hal hubungan antara UU Pilkada dan UUPA, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 51/PHP.GUB-XV/2017 menyatakan meskipun Povinsi Aceh memiliki kekhususan, namun kekhususan tersebut tidak berkenaan dengan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Selain itu, dengan menggunakan dasar pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, MK menyatakan antara UU 11/2006 (UU Pilkada) dan UU 10/2016 (UUPA) tidak terdapat hubungan yang bersifat khusus dan hubungan yang bersifat umum.

“Pemilu di Pasal 22E, otonomi daerah di pasal 18 UUD. Ini dua hal yang berbeda. Namun dua hal yang berbeda ini telah ditafsirkan MK lewat putusan MK tentang Pilkada serentak. Jadi Politik hukumnya sudah berubah. Dalam konteks hukumnya, ketika posisi hukumnya terakomodir dari UU Kepemiluan yang disahkan negara, otomatis kekhususan pilkada tidak berlaku lagi. Sehingga dalam hal Pilkada Aceh harus tunduk pada ketentuan yang berlaku nasional karena rezim pilkada kini sudah mengalami perubahan”jelas aryos.

Aryos menawarkan solusi polemik jadwal pilkada Aceh, dengan tetap menjaga kekhususan Aceh disatu sisi, namun disisi lain rezim Pilkada Aceh tetap mengikuti mekanisme keserentakan pilkada sebagaimana berlaku secara nasional.

“solusinya, Aceh tetap mengikuti alur pilkada serentak sebagaimana berlaku secara nasional. Namun keserentakan ini tidak persis sama dengan serentak nasional, namun lebih kepada serentak secara daerah. Bila melihat mekanisme pilkada Aceh saat ini dimana bila tetap dilaksanakan di tahun 2022, maka Aceh belum mengikuti model pilkada serentak karena masih ada tiga wilayah yang masih harus melangsungkan Pilkada pada tahun 2023 yaitu Pidie Jaya, Aceh Selatan dan Subulussalam. Jadi agar Aceh tetap mengikuti model Pilkada serentak ini, Pilkada Aceh diundur bukan di tahun 2024 namun dilaksakan di tahun 2023. Ini solusi paling realistis karena dengan demikian bila dilaksanakan 2023 otomatis seluruh kabupaten kota di Aceh akan mengikuti mekanisme pilkada serentak pada lima tahun berikutinya meski tidak mutlak bersamaan dengan jadwal nasional. Bila Pilkada Aceh dilaksanakan tahun 2023 maka Pilkada selanjutnya Tahun 2028. Sedangkan bila pilkada Aceh tahun 2022 maka lima tahun berikutnya 2027 dan tiga daerah di aceh tahun 2028. Jadi bila demikian Aceh selamanya tidak akan bisa serentak pilkadanya. “jelas Aryos lebih rinci.

Disisi lain menurut Aryos, yang paling esensial dari tahapan Pilkada Aceh justru terletak pada masa jabatan dari kepala daerah. Masa jabatan tetap harus 5 tahun karena ini merupakan amanat UUPA.

“kalau Pilkada Aceh 2023, maka baik provinsi dan kab/kota lain (termasuk tiga wilayah asel, subul dan pijay) tetap menjabat selama 5 Tahun full. artinya disini kekhususan UUPA tetap terjaga. Dalam pasal 65 ayat 2 UUPA disebutkan : Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Apabila pilkada aceh dilaksanakan tahun 2022, kemudian agar serentak maka 3 wilayah itu dipercepat pilkadanya. Maka otomatis kepala daerah di tiga wilayah itu dipangkas haknya untuk menjabat selama lima tahun. Padahal UUPA mengamanatkan masa jabatan lima tahun. Sedangkan bila dilaksanakan pilkada serentak Aceh tahun 2023 tidak ada kepala daerah di Aceh yang kehilangan haknya menjabat selama lima tahun” ujar Pendiri Jaringan Survei Inisiatif ini.

Poin penting disini menurut aryos, Aceh tetap harus mengikuti mekanisme keserentakan pilkada antar wilayahnya. Namun jadwal pilkada serentak di Aceh berbeda dengan nasional. 

“Pilihan bagi Aceh menarik. Pemilu di Aceh serentak tapi tidak harus mengikuti jadwal nasional. Menguatkan otonomi Aceh dalam tata kelola Pilkada sekaligus tetap menjaga keserentakan rezim Pemilu serentak. bila pilkada serentak Aceh dilaksanakan tahun 2023 maka pilkada serentak selanjutnya tahun 2028. Sedangkan Pilkada serentak nasional tahun 2024 maka pilkada serentak selanjutnya tahun 2029. Jadi Pilkada serentak Aceh setahun lebih cepat dari nasional. Disatu sisi tetap menjaga kekhususan Aceh dalam hal skema periodik lima tahunan. Disisi lain Aceh tetap mengikuti model pilkada serentak nasional. Untuk mengadopsi ketentuan tersebut, maka perlu kiranya diatur kembali jadwal Pilkada Aceh dalam UU Pemilu yang saat ini sedang digodok di DPR RI” demikian tutup Aryos.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda