Terungkap! Lonjakan Utang Pemerintah RI Lampaui Batas IMF
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi Petaka Utang-Piutang. (Foto: detikcom]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menyoroti kenaikan utang pemerintah dan biaya bunga selama pandemi Covid-19 hingga melampaui pertumbuhan produk domestik bruto atau PDB dan penerimaan negara. Selain utang, defisit dan Silpa yang melonjak dinilai berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.
Dalam kajian atas Kesinambungan Fiskal 2020 yang dirilis BPK dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester I tahun 2021, indikator kesinambungan fiskal (IKF) 2020 juga tercatat sebesar 4,27 persen. Angka itu telah melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411-Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen.
BPK juga menyebutkan indikator kerentanan utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF) atau International Debt Relief (IDR). Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 - 35 persen.
Tak hanya itu, BPK mencatat rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 - 6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7 - 10 persen. Kemudian rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 - 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 - 150 persen.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah per akhir Oktober 2021 sebesar Rp 6.687,28 triliun. Utang ini setara dengan 39,69 persen Produk Domestik Bruto (PDB) atau melonjak Rp 809,57 triliun dari posisi September 2020. Adapun dari kepemilikannya, utang pemerintah masih didominasi dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan porsi 87,91 persen dan pinjaman 12,09 persen.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo sebelumnya menjelaskan tingginya utang pada pemerintahan era Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak lepas dari dampak pandemi Covid-19.
Bila tidak ada pandemi Covid-19, menurut Prastowo, tak ada lonjakan belanja pemerintah untuk penanganan Covid-19. Walhasil, dalam hitungannya, pertumbuhan utang pemerintah saat ini hanya naik maksimal 7 persen.
"Era Pak Jokowi, tujuh tahun membangun, kalau tidak ada Covid-19, (utang) hanya naik sekitar 7 persen. Tetapi belanjanya bisa dilihat membumbung (untuk) infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan bansos," kata Prastowo awal November 2021 lalu. (Temp.co)