BUMN Megap-Megap Butuh Suntik Modal
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Menteri BUMN Erick Thohir belum lama ini mengusulkan kepada Kementerian Keuangan adanya penyertaaan modal negara (PMN) pada 2022 sebesar Rp 72,449 triliun untuk 12 BUMN.
Kendati demikian, menghadapi ketidakpastian di tengah pandemi Covid-19, nampaknya dalam jangka menengah panjang Kementerian Keuangan tidak akan 'jor-joran' memberikan suntikan modal kepada BUMN.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam Taklimat Media yang berlangsung virtual pada hari ini, Jumat (9/7/2021).
"Reformasi fiskal juga harus dilakukan untuk mendukung konsolidasi fiskal dan keberlanjutan fiskal jangka menengah-panjang," jelas Febrio.
Dalam upaya reformasi fiskal itu, Febrio menuturkan ada tiga hal yang akan dilakukan yakni peningkatan pendapatan, penguatan belanja dengan efisiensi dan baik, serta dengan memperhatikan pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan.
Dalam bahan paparan Febrio disebutkan bahwa untuk reformasi fiskal jangka menengah-panjang ini yang melalui pembiayaan, Kemenkeu akan menjadikan utang sebagai instrumen untuk countercyclical, namun dikelola secara hati-hati dan berkelanjutan.
Nah, dalam mendorong efektivitas pembiayaan investasi ini, Kemenkeu akan mengambil langkah selektif dalam pemberian PMN kepada BUMN.
"Mendorong efektivitas pembiayaan investasi, antara lain pemberian PMN ke BUMN dilakukan secara selektif," seperti dikutip bahan paparan Febrio.
Selain itu, dalam rangka mendorong pembiayaan yang inovatif pemerintah juga akan melakukan pendalaman pasar, penguatan peran SWF (Sovereign Wealth Fund) dan SMV (Special Mission Vehicle). Serta penguatan manajemen kas untuk menjaga fiscal buffer yang handal dan efisien.
Erick Thohir mengungkapkan usulan PMN kepada 12 BUMN pada 2022 sebagian besar berupa kompensasi atas penugasan dari pemerintah. Terdapat 80% PMN merupakan penugasan, serta 6,9% restrukturisasi.
12 BUMN tersebut yakni:
1. Hutama Karya Rp 31,350 triliun
2. Aviata (Aviasi Pariwisata Indonesia) Rp 9,318 triliun
3. PLN Rp 8,231 triliun
4. BNI Rp 7 triliun
5. KAI Rp 4,1 triliun
6. Waskita Karya Rp Rp 3 triliun
7. IFG (BPUI) Rp 2 triliun
8. Adhi Karya Rp 2 triliun
9. Perumnas Rp 2 triliun
10. Bank BTN Rp 2 triliun
11. RNI Rp 1,2 triliun
12. Damri Rp 250 miliar.
APBN Tahun Depan 'Tanpa BI'
Febrio Kacaribu mengatakan bahwa pembagian beban atau burden sharing yang dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk menopang belanja APBN tidak akan berlanjut sampai tahun 2022.
"Beberapa bulan terakhir peranan BI di pasar perdana makin minim dan banyak investor beli SBN kita. Burden sharing untuk komit, dari tahun lalu cuma one time policy," ujarnya.
"Kita yakin bisa ketemu mekanisme yang kita lakukan tanpa harus keluar dengan mekanisme seperti SKB II. Udah komit ke investor dan masyarakat, message-nya adalah one time policy," kata Febrio melanjutkan.
Seperti diketahui, burden sharing Kementerian Keuangan dan BI terbagi ke dalam dua surat keputusan bersama (SKB), yakni SKB I dan SKB II.
Melalui SKB I, Febrio menjelaskan BI bertindak sebagai standby buyer untuk membeli obligasi pemerintah atau surat berharga negara (SBN) secara langsung dengan menanggung biaya bunga, dengan periode sampai 31 Desember 2021.
Sementara, pembelian langsung obligasi pemerintah berdasarkan SKB Kedua yang ditandatangani pada 7 Juli 2020 hanya berlaku untuk anggaran APBN 2020 atau hanya berlaku satu kali.
Untuk diketahui, sampai dengan semester pertama tahun ini, bank sentral telah membeli SBN yang diterbitkan pemerintah senilai Rp 120,83 triliun di pasar perdana. Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya bank sentral dalam memulihkan perekonomian nasional. Adapun sepanjang tahun lalu, BI sudah membeli SBN milik pemerintah senilai Rp 473,42 triliun.[CNBC Indonesia]