Pelaksanaan Pilkada 2022, Solusinya hanya ada pada Gubernur.
Font: Ukuran: - +
Reporter : Hakim
Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mengamati perkembangan pelaksanaan Pilkada di Provinsi Aceh, Muhammad Reza Maulana, SH. Kepala Divisi Konstitusi Koalisi NGO HAM Aceh berpendapat bahwa, Provinsi Aceh sudah punya cukup payung hukum untuk melaksanakan Pilkada di Aceh, hanya saja tergantung pada Gubernur Aceh, apakah masih mengakui UUPA atau tidak untuk merealisasikan Pilkada Aceh sesuai amanat UUPA.
Selain dipayungi oleh ketentuan Pasal 65 UUPA yang mengamanatkan pelaksanaan Pilkada 5 tahun sekali yang jatuh tempo pada tahun 2022, Aceh juga memiliki payung hukum berupa Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016, apabila diperhatikan di dalam ketentuan Pasal 101 ayat (3) Qanun Pilkada Aceh tegas menentukan
"Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022," kata Reza melalui rilis yang ia kirim kepada Dialeksis.com, Rabu 5/5/2021.
Sehingga, lanjutnya isu terkait tidak adanya payung hukum bukanlah materi hukum yang dapat dibenarkan kebenaran dan legalitasnya, Aceh sudah punya cukup sempurna aturan tentang Pilkada, hanya saja yang menjadi persoalan saat ini adalah, apakah pusat masih mengakui eksistensi UUPA sebagai aturan khusus yang wajib diberlakukan di Aceh atau tidak.
Reza mengamati terkait adanya Surat Dirjen Otda Kemendagri tersebar di publik tersebut, menurut ia bahwa Surat tersebut bukanlah sebuah "Norma" harus diikuti atau dipatuhi.
Surat itu bukan pula merupakan aturan yang menegasikan atau mengesampingkan UUPA sebagai aturan tingkat ketiga dari hirarki peraturan perundang-undangan, sepanjang surat tersebut tidak sejalan atau bertentangan dengan UUPA tidak perlu ditanggapi.
"Apalagi membenarkan tidak dilaksanakannya Pilkada Aceh tahun 2022, jadi ya tinggal abaikan saja, toh pun tidak ada efek hukum apapun terhadap penyelenggara pilkada Aceh maupun Pemerintahan Aceh untuk seluruhnya." Tambahnya.
Sebagai wujud kepatuhan hukum terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, seharusnya Mendagri jangan hanya mengacu pada UU Nasional semata dan mengabaikan UU khusus di Aceh.
Dimana menurut Reza perintah Pilkada 5 tahunan merupakan kewajiban waktu berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mewajibkan seluruh lembaga negara yang berkaitan untuk mentaatinya berdasarkan waktu telah ditetapkan di dalam UUPA. Mengomentari pula Terkait teknis penganggaran bagi Reza sangat benar pendapat Bustami Hamzah Kepala BPKA.
"Apapun alasannya, pemerintah wajib menyediakan anggaran kalau (tahapan) sudah seusai dengan aturan yang berlaku," dan pada intinya ia menjelaskan Pihaknya sedang menunggu pengajuan dari KIP Aceh. "Nanti diajukan melalui Biro Pemerintahan, kami di keuangan hanya menyediakan anggaran. Apapun alasan, kami harus siap. Dimana sumbernya nanti akan kami cari," kata Bustami Hamzah Kepala BPKA.
Reza Mengartikan terkait anggaran pun telah mendapat jaminan khusus dari lembaga berwenang dan dasar hukum penganggaran pun telah jelas didasari pada Permendagri 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Bahkan Pos anggaran tersebut sebagaimana disampaikan telah di plot dalam pos BTT (belanja tidak terduga) juga sejalan dengan ketentuan Pasal 10 huruf A Permendagri tersebut, sehingga didasari pada ketentuan Pasal 9 Permendagri hanya 1 (satu) hal saja harus ditetapkan agar Pilkada tetap berjalan sesuai amanat UUPA, yaitu pembentukan Perkada atau Peraturan Gubernur tentang Perubahan Penjabaran APBA sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (1), jadi tidak perlu menunggu Qanun lahir karena prosesnya panjang, cukup dengan Pergub dan teknisnya telah dipayungi Pasal 9 Permendagri tersebut dan UUPA.
Artinya, lanjut Reza, titik nadir UUPA dilaksanakan atau tidak untuk Pilkada 2022 ada pada Gubernur Aceh. "jika Gubernur tidak mau melaksanakan dan menghianati UUPA maka cukup tidak dibuatkan saja Pergub-nya, namun apabila memiliki komitmen terhadap eksistensi UUPA maka Pergub tentang Perubahan Penjabaran ABPA dalam hitungan hari saja bisa terselesaikan, hal ini tentu pernah kita lihat kecepatan pembuatannya saat mem-Pergubkan APBA 2018 yang lalu." Jelasnya.
Reza memprediksi, dipastikan Pihak Pemerintah Aceh yaitu Gubernur Aceh memiliki cukup tenaga dan pikiran untuk membuat dan menetapkan Pergub, hanya berpedoman pada kemauan saja.
"Menyambung perihal surat mendagri tersebut di atas, Pertanyaannya sebenarnya sangat sederhana menurut saya, yaitu apakah UU Nomor 10 Tahun 2016 membatalkan UU Nomor 11 Tahun 2006, dan saya yakini tidak ada satupun ahli hukum di Indonesia ini yang akan menyatakan bahwa UU Nomor 10 Tahun 2016 membatalkan atau dapat mengesampingkan Norma Pilkada yang tertuang di dalam UU 11 Tahun 2006 sebagai aturan khusus di Daerah dengan status kekhususan dan keistimewaan." Kata Reza.
Maka dari itu untuk mewujudkan perintah hukum yang dituangkan di dalam norma terkandung di dalam UUPA dan sebagai bentuk pengakuan pusat terhadap hukum khusus di Aceh diterbitkan berlandaskan UUD 1945, tidak perlu membuat suatu keputusan seperti menempatkan Provinsi Aceh bukan merupakan daerah otonom, dimana setiap "ucapan" Pusat harus dilaksanakan sekalipun hal diucapkan pusat tersebut bertentangan dengan norma khusus yang berlaku di Aceh.
"Hormati UUPA dan kekhususan Aceh dengan salah satunya pelaksanaan norma terdekat yaitu Pilkada Aceh, mari sama-sama kita berfikir hukum untuk melaksanakan pemilihan politik, jangan dipolitikkan apa yang telah jelas diatur di dalam Hukum." Ujar Reza.
Reza sangat setuju atas statemen keras Mantan Komisioner KIP Aceh Zainal Abidin dan Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf, yang mana menyebutkan Aceh sebagai daerah otonomi khusus harus diberlakukan dalam norma yang khusus pula, tidak ada debat dalam norma hukum di Aceh karena sebagaimana asas legalitas Norma yang terkandung di dalam UUPA mengandung asas lex certa yaitu tegas dan jelas dan lex stricta tidak mengandung multitafsif.
"Selain itu pula, saya juga mengomentari betul surat keputusan KIP Aceh yang menunda pelaksanaan Pilkada Aceh, dasar hukum permintaan penundaan memang ada di dalam Qanun Aceh tentang Pilkada, namun alasan penundaan yang menurut saya tidak jelas atau tidak ada sama sekali adalah bentuk ketidakpastian hukum sehingga tidak dapat dijadikan pedoman hukum, jadi saya mempertanyakan kepada KIP Aceh, apa alasan ditundanya Pilkada di Aceh, jika KIP Aceh tidak dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan kaidah hukum, sebaiknya jangan khianati UUPA hanya karena Pusat akan melaksanakan seluruh tahapan Pilkada, Pileg dan Pilpres pada tahun 2024, kita di Aceh sudah punya cukup lengkap aturannya, tinggal laksanakan saja perintah UUPA dan Qanun, jadi janganlah menjadi bahagian pihak yang tidak mengakui UUPA sebagai aturan khusus di Aceh dengan cara mengangkanginya." Ungkapnya.
Reza mengatakan KIP bukanlah anak buah (bawahan) mendagri baik struktur maupun admistrasi, kewenangan menentukan tahapan kapan pilkada dimulai di Aceh kewenangan penuh KIP sebagai lembaga Independen yang dibentuk negara, jadi harus sadar pada posisi dan kewenangannya sesuai dengan aturan yang berlaku.
"jika tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana amanah UUPA baiknya diserahkan saj estafet kepimpimam KIP Aceh kepada yang benar-benar menghargai dan mengakui keberadaan UUPA." Pungkasnya.