Beranda / Analisis / KIP di Antara Sengkarut Jadwal Pilkada Aceh

KIP di Antara Sengkarut Jadwal Pilkada Aceh

Sabtu, 12 Desember 2020 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +



Oleh Aryos Nivada

Tuntutan jadwal pelaksanaan Pilkada Aceh tetap berlangsung pada tahun 2022 -- sebagaimana amanat UUPA dan Qanun Pilkada Aceh -- semakin menguat. Penyelenggara Pemilu di Aceh, Komisi Independen Pemilihan (KIP) merasa bertanggung jawab agar pelaksanaan Pilkada dilaksanakan sesuai amanah UUPA dan Qanun Aceh.

Akan tetapi di lain pihak KIP Aceh juga tidak bisa bergerak sendiri. Karena untuk pelaksanaan Pilkada, pihak KIP juga harus berkonsultasi dan berkoordinasi dengan KPU Pusat.

Kementerian Dalam Negeri sendiri hingga kini belum memberikan lampu hijau terkait permintaan Pemerintah Aceh untuk menggelar Pilkada 2022. Dalam surat Mendagri Nomor 270/6321/SJ perihal pelaksanaan Pilkada Aceh, Tito Karnavian menjelaskan bahwa untuk memberikan jaminan pelaksanaan Pilkada yang aman harus sesuai dengan amanah dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Maka karena itu dipandang perlu koordinasi lebih lanjut antara pemerintah, Komisi II DPR RI, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sebagai penyelenggara terkait kebijakan pemerintah untuk pelaksanaan Pilkada Aceh," kata Mendagri Tito Karnavian dalam surat tersebut.

Meski dalam UUPA dan Qanun Pilkada Aceh menyebutkan bahwa Pilkada Aceh dilaksanakan setiap lima tahun sekali (Pasal 65 UUPA) serta pemungutan suara dilakukan pada tahun 2022 (Pasal 101 ayat 3 Qanun 12 Tahun 2016), namun teknis pelaksanaan tahapan Pilkada juga harus mengacu kepada ketentuan yang diatur oleh KPU Pusat, dalam hal ini adalah Peraturan KPU (PKPU).

Dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2017 tentang Ketentuan Khusus Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota di Wilayah Aceh, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua dan Papua Barat, Pada Pasal 4 disebutkan:

Tahapan penyelenggaraan Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berpedoman pada Peraturan Komisi yang mengatur tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Komisi ini”.

Peraturan KPU di atas menegaskan bahwa tahapan pelaksanaan Pilkada di daerah khusus berpedoman pada Peraturan KPU Pusat. Artinya lampu hijau bagi penyelenggara di daerah untuk menyelenggarakan Pilkada di daerah khusus termasuk dalam domain kewenangan KPU pusat.

Di sinilah kemudian KIP Aceh sebenarnya tidak bisa bergerak bebas untuk secara otonom melaksanakan kewenangan dalam penyelenggara Pilkada. Untuk melaksanakan Pilkada KIP Aceh harus berkoordinasi dengan pusat sebab KIP Aceh merupakan bagian hierarki dari KPU RI.

Pasal angka 12 UUPA menegaskan bahwa KIP Aceh dan KIP Kab/Kota secara kelembagaan merupakan bagian dari KPU RI. Ketentuan lebih tegas diatur dalam Pasal 557 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, disebutkan: “Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh dan Komisi Independen Pemilihan kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan KPU”.

Intinya, jangan ada anggapan KIP Aceh ada (terbentuk) karena UUPA, itu pemahaman salah. Sekali lagi KIP Aceh bagian terintegral dari KPU Pusat. Penjelasan UUPA menegaskan nomenklatur dan pola rekrutmen saja, jadi jangan gagal memahami UUPA. Hal terpenting lagi, tata kelola aturan secara administrasi kelembagaan tetap dikeluarkan oleh KPU pusat.

Di lain pihak, meski mengakui bahwa tidak tertutup kemungkinan Pilkada Aceh bisa saja dilaksanakan tidak sesuai jadwal semula, namun Komisi independen Pemilihan Aceh terlihat lebih condong melaksanakan Pilkada pada tahun 2022. Berdasarkan penelusuran penulis, sejumlah komisioner baik tingkat provinsi Aceh maupun Kab/Kota kerap melempar wacana dan mendesak agar Pilkada Aceh berlangsung tahun 2022.

Ketua KIP Aceh Samsul Bahri misalnya, terus mendesak pemerintah Aceh agar berani melaksanakan Pilkada tahun 2022. Terkesan desakan itu memiliki nuansa sesuatu di balik desakan tersebut. Jika merujuk pada ketentuan seharusnya faham duduk hukum pelaksanaan Pilkada Aceh, lantas kenapa terkesan sangat mendesak, ada apa ini?

Dari penelusuran media dapat dibaca inkonsistensi pernyataan KIP Aceh secara kelembagaan di media. Terlihat dari pemberitaan dibawah ini.

"Aceh diatur dalam UUPA Nomor 11 tahun 2006. Kita punya undang-undang yang mengatur, kita punya qanun, seharusnya pemerintah berani melaksanakan Pilkada tahun 2022," ungkap Samsul sebagaimana mengutip AJNN, Rabu (9/12/2020). Meski demikian Pihaknya mengakui bahwa apabila tidak ada saling kesepahaman dalam rangka titik temu terhadap jadwal Pilkada Aceh antara pusat dan Aceh, maka kemungkinan Aceh akan melangsungkan Pilkada tahun 2024 sebagaimana perintah UU Pilkada nasional (ajnn.net, 10/12/2020).

Sebelumnya, sejumlah komisioner di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota juga condong melempar wacana ke publik agar pelaksanaan Pilkada Aceh dilangsungkan pada tahun 2022.

Dari berita dilansir berbagai media tercatat seperti pernyataan Ketua KIP Pidie, Fuadi Yusuf meyakini bahwa jadwal Pilkada Aceh adalah bagian dari keistimewaan dan kekhususan Aceh yang diakui oleh konstitusi. Sebagaimana mengutip AJNN, Minggu (8/11/2020), Fuadi menyatakan bahwa Pilkada Aceh harus dilaksanakan pada tahun 2022 karena UUD 1945 mengatur secara jelas bahwa negara mengakui kekhususan daerah khusus (ajnn.net, 9/10/2020).

Pernyataan lebih kurang serupa juga dilontarkan oleh Wakil Ketua KIP Aceh, Tharmizi dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema ‘Menuju Pilkada Aceh Serentak’, di Hotel Grand Arabia, Banda Aceh, Rabu (18/11/2020). Selain menyatakan konstitusi mengakui daerah bersifat istimewa seperti Aceh, Kekhususan Aceh ini kemudian diimplementasikan melalui Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang menyebutkan secara substansi bahwa Pilkada Aceh dilangsungkan setiap lima tahun sekali.

Terkait pandangan penyelenggara bahwa Pilkada merupakan bagian dari keistimewaan Aceh sebenarnya adalah kurang tepat. Sebab Mahkamah Konstitusi (MK) jauh-jauh hari sudah berulang kali menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh melalui Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010.

Terkait hubungan antara UU Pilkada dan UUPA, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 51/PHP.GUB-XV/2017 menyatakan meskipun Provinsi Aceh memiliki kekhususan, namun kekhususan tersebut tidak berkenaan dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.

Mengacu kepada putusan MK, maka jelas secara umum Pilkada bukan merupakan bagian dari kekhususan Aceh. Akan tetapi hal itu tidak berlaku mutlak. Apabila terdapat ketentuan dalam konteks penyelenggaraan Pilkada Aceh yang berhubungan dengan 4 keistimewaan Aceh sebagaimana tercantum dalam UU No.44 Tahun 1999 (Agama, Adat, Pendidikan, Peran Ulama dalam Kebijakan daerah), maka hal tersebut dapat dianggap sebagai kekhususan Aceh.

Dalam UUPA yang menjadi kekhususan Aceh dalam penyelenggaraan pemilu atau Pilkada misalnya berkaitan dengan syarat uji mampu baca Alquran (berhubungan dengan penyelenggaraan kehidupan beragama).

Di sisi lain, wacana yang kerap dilontarkan penyelenggara dalam rangka mendesak agar Pilkada dilaksanakan tahun 2022, sesungguhnya problematik karena berpotensi memenuhi unsur serta mencederai independensi penyelenggara sekaligus melanggar kode etik penyelenggara pemilu.

Tertera pada aturan Kode etik penyelenggara Pemilu diatur dalam Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, Dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012 Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.

Pada BAB III Pelaksanaan Prinsip Dasar Etika Dan Perilaku, Pasal 10 huruf d disebutkan, bahwa “Dalam melaksanakan asas mandiri dan adil, Penyelenggara Pemilu berkewajiban: tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses Pemilu.”

Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 8 huruf c dalam Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.

Adapun DKPP berwenang menjatuhkan sanksi terhadap Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Sanksi di antaranya teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap. Teguran tertulis dapat berupa peringatan atau peringatan keras. Sedangkan tetap dapat berupa pemberhentian tetap dari jabatan ketua atau pemberhentian tetap sebagai anggota.

Sebagai bagian dari kelembagaan penyelenggara Pemilu di tingkat nasional, KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota sejatinya harus lebih bijak dalam bersikap. Sesuai tupoksi, KIP sebagai penyelenggara bukanlah penafsir undang-undang, melainkan sebagai pelaksana dari ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, tentu tidak boleh dilupakan bahwa KIP harus senantiasa berkoordinasi dengan KPU RI terkait jadwal pelaksanaan Pilkada Aceh. KIP sebagai penyelenggara selayaknya memang wajib berpedoman pada aturan perundangan dan keputusan politik yang diambil antara pusat dan Aceh terkait Pilkada Aceh.

KIP dalam mengeluarkan setiap pernyataan kepada publik hendaknya tidak tergesa-gesa sebelum ada kejelasan regulasi yang pasti. Sebagai bagian dari penyelenggara yang berintegritas, KIP harus menegaskan kepada publik, bahwa kemandirian penyelenggara Pemilu tidak tercederai. Oleh karena itu hendaknya komisioner KIP mengeluarkan apapun pernyataan ketika sudah memiliki kepastian sehingga tidak menimbulkan keresahan publik.

Akhir kata, jadwal Pilkada Aceh memang hingga kini masih berada dalam kabut. Meski pihak Pemprov Aceh sudah menyiapkan anggaran untuk persiapan Pilkada dalam APBA 2021. Dimana dana itu masuk di belanja tak terduga namun terdapat sejumlah kabupaten/kota di Aceh yang tak menganggar Pilkada di wilayahnya karena alasan ketidakjelasan regulasi. Di antaranya adalah Kabupaten Aceh Singkil dan Pidie.

Menyikapi hal demikian, kiranya perlu segera melakukan koordinasi lebih lanjut antara pemerintah, Komisi II DPR RI, dan Komisi Pemilihan Umum RI sebagai penyelenggara Pilkada, terkait kebijakan pemerintah untuk pelaksanaan Pilkada Aceh.

Tanpa adanya koordinasi yang baik antar pemangku kebijakan dan penyelenggara, maka jadwal Pilkada Aceh tetap akan menggantung hingga tahun depan. Komunikasi sangat menentukan posisi tawar serta kejelasan pelaksaan Pilkada Aceh ke depannya.

Aryos Nivada, Dosen FISIP Unsyiah dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda