Beranda / Analisis / Drama Anggaran Multiyears Ditangan Elit

Drama Anggaran Multiyears Ditangan Elit

Selasa, 28 Juli 2020 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Aryos Nivada.

Drama dipahami sebuah cerita berupa kisah yang dimainkan/diperankan oleh seseorang. Begitulah kira-kira arti umum dari kata drama itu sendiri. Namun kalau dihubungkan dengan elit politik dan anggaran, maka pemahamannya terkunci pada kisah elit politik dalam memainkan perannya atas kepentingan yang ingin diraih.

Jelas arah dramanya bermuatan untuk menyenangkan penonton, khususnya bagi kelompoknya saja. Seharusnya drama dibuat untuk menyenangkan penonton “masyarakat Aceh” dalam hal pelayanan publik yang dirasakan manfaatnya untuk masyarakat Aceh secara langsung.  

Pada konteks kekinian politik lokal di Aceh, dimana drama politik anggaran yang dilakoni elit politik di eksekutif maupun legislatif terkait proyek multiyears (tahun jamak) mengemuka menjadi pro dan kontra di publik.  

Para pihak berargumen dengan kebenaran yang diyakini dengan tangkapan informasi dan data berbasis logika masing-masing. Sayangnya banyak pihak yang terjebak di kisah pada tengah atau akhir saja, tanpa mempelajari kenapa terjadinya kisah polemik anggaran multiyears.

Kalau merujuk investigasi lembaga Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) tahun 2020, Hafidh, Koordinator Bidang Advokasi Anggaran dan Kebijakan Publik, menjelaskan sudah bermasalah dari proses awal hingga pengesahan itu terjadi diakhir masa jabatan DPRA periode 2014-2019.  

Dimulai pada 6 September 2019 Wakil Ketua I DPRA menginstruksikan kepada Sekwan, agar menyampaikan surat usulan proyek multiyears  yang diusulkan Plt. Gubernur Aceh untuk disampaikan ke Komisi IV DPRA. Lalu, pada 9 September 2019, Komisi lV menyurati pimpinan DPRA dengan surat nomor 86/Komisi IV DPRA/IX/2019 yang bunyinya tidak setuju atas penganggaran tahun jamak (multiyears) sebagaimana diusulkan Plt. Gubernur Aceh tahun 2020-2022. 

Selanjutnya 10 September 2019, Pimpinan DPRA terdiri ketua dan tiga wakil ketua malah membuat surat kesepakatan bersama dengan nomor 903/1994/MOU/2019 tentang pekerjaan pembangunan dan pengawasan beberapa proyek melalui penganggaran tahun jamak tahun anggaran 2020-2022. 

Dari isi MoU ini mengindikasikan bahwa proyek tersebut hanya disetujui oleh Pimpinan DPRA bukan atas kesepakatan bersama DPRA. Sehingga muncul dugaan MaTA, proyek ini ilegal. Proyek lahir tanpa prosedur sebagaimana diatur pada Pasal 92 ayat (3) PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah. 

Sedangkan pandangan yang pro tegas mengatakan, ini untuk memicu pertumbuhan ekonomi ketika akses jalan dibuka serta meningkatkan perkembangan pembangunan suatu daerah. Kurang lebih begitulah kira-kira penekanan logika pembenaran dari mereka yang pro atas kebijakan proyek multiyears tersebut.  

Dari kedua dialektika pendapat, jadi teringat pemikiran Cobb dan Elder (1983:32). Intinya menekankan, bahwa ketika kita ingin lebih memahami bagaimana masalah-masalah itu, bagaimana agenda itu dibentuk, kita harus menelaah lebih dalam konteksnya, dan tidak terbatas pada hubungan permukaan suatu kekuasaan. Secara harfiah artinya, kita perlu mengamati bagaimana nilai-nilai kepercayaan masyarakat dibentuk oleh kekuatan yang tidak dapat diamati secara kasat mata. 

Pesan penting dari drama politik anggaran di Aceh adalah tidak ada hal yang ditentang jika semua pihak taat regulasi dan peraturan yang mengatur ketika mengusulkan kebijakan dan program pembangunan, mulai dari pengusulan (perencanaan) hingga eksekusi (implementasinya). Dengan demikian jika masih ada pihak yang memprotes ketika sudah sesuai regulasi dan peraturan dalam membuat kebijakan dan program, maka bisa dipastikan orang atau kelompok tersebut tidak kepingin berada pada zona aman berbasis peraturan yang transparansi dan akuntabilitas.  

Kejadian tarik menarik ini (pro kontra) anggaran multiyears semakin membuktikan cara berpikir para lakon di film drama multiyears lemah berpikir bernegara yang mengdepankan semua tujuan untuk kepentingan masyarakat Aceh. Bukan terkesan memainkan keuntungan ekonomi semata bagi personal maupun kelompok tertentu. Pembelajaran lainnya menunjukkan para lakon tidak mau jalan pada koridor yang sudah ditetap dalam menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik berasaskan good governance

Jangan sampai karena tindakan para lakon tidak sesuai ekspektasi masyarakat yang menontonnya, karena bermain di luar naskah drama (script), memberikan respon dengan hukuman tidak mendukung partai atau personalnya di pesta demokrasi mendatang, bahkan tidak menutup kemungkinan gerakan massa besar.  

Agar drama politik anggaran proyek pembangunan multiyears tetap berjalan, maka solusi jalan tengah (win-win solution) adalah mengganti judul kegiatan, mengusulkan lagi bisa dilakukan di APBA-P secara cepat dan tepat. Tentunya sangat tergantung kesadaran para lakon yang memainkan drama politik anggaran. Kunci keberhasilan terletak para lakon (aktor) yang terlibat dalam drama multiyears untuk duduk bersama-sama mencari titik temu. Duduk bersama para aktor drama harus menghilang ego masing-masing dengan mengedepankan kepentingan rakyat harus di atas segalanya. 

Harapan masyarakat Aceh sederhana saja, yaitu terjadi pertumbuhan pembangunan, kesejahteraan dirasakan, dan terpenting stabilitas politik dan keamanan terwujud. Artinya semua itu harus seiring berjalan tanpa harus saling didahulukan. Sekali lagi kuncinya pada kesadaran semua pihak untuk mengedepankan kepentingan masyarakat Aceh daripada kepentingan ekonomi saja. Harapan masyarakat Aceh yang kedua mengajak para pihak instansi penegak hukum agar mengawasi dan mengamankan pembangunan multiyers jika berjalan. Jika dibutuhkan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan supervisi terhadap realisasi kegiatan multiyers tersebut. Semoga harapan ini terwujud....semoga… []

Penulis: 

Aryos Nivada (Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda