Kontroversi RUU Ketahanan Keluarga, Ini Kata Aktifis Perempuan Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Im Dalisah
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aktifis perempuan Aceh Sri Wahyuni angkat bicara mengenai RUU Ketahanan Keluarga yang saat ini masuk menjadi program legislasi nasional di DPR RI. Menurutnya, penyusunan RUU Ketahanan Keluarga tidak mengkaji persoalan keluarga secara komprehensif.
"Analisisnya mundur, tidak kontekstual. Dasar analisisnya perspektif yang sempit, yang merumahkan perempuan, yang menyederhanakan peran perempuan. Tidak gender equal," tegas Sri Wahyuni saat dihubungi Dialeksis.com, Senin, (2/3/2020).
Lebih lanjut wanita yang akrab disapa Ayu ini menjelaskan filosofi yang diusung pada RUU Ketahanan Keluarga mengalami kemunduran jika dibandingkan saat masa reformasi.
"Filosofinya kacau, itu kemunduran, bahkan sangat mundur. Proses gerakan perempuan yang substantif (berkeadilan) yang digagas pada masa reformasi ke sekarang ini, sedang di ujung tanduk. Sebab, kekuatan yang kontra reformasi terus menguat," ujar Ayu.
Ayu menamsilkan peran perempuan yang dibicarakan dalam RUU Ketahanan Keluarga persis seperti beberapa kalimat yang ada didalam pelajaran Bahasa Indonesia sekolah dasar.
"Jadi persis seperti pelajaran bahasa Indonesia waktu SD dulu. Ibu masak di dapur, bapak membaca koran. Wati membantu ibu, Iwan bermain bola," ucap perempuan yang dikenal masih aktif 'turun ke jalan' ini.
Seharusnya, ujar wanita yang berasal dari Bener Meriah ini, UU Ketahanan Keluarga memberikan solusi atas sejumlah permasalahan yang timbul di masyarakat, khususnya persoalan yang dihadapi kaum perempuan.
"Kekerasan makin mengerikan, juga termasuk persoalan kemiskinan. UU Keluarga harusnya memikirkan itu, bukan justru menambah beban. Kalau kebijakan-kebijakannya seperti itu, tidak equal gender, itu menambah beban keluarga. Perempuan jadi domestik, dia tidak bisa bekerja keluar, karena ibu harus mengurus suami. Ya Allah, banyak juga yang perempuan yang tidak bersuami. Banyak perempuan yang juga bersuami, tapi dia harus urus suami, urus anak, tapi dia juga harus keluar mencari uang," tutur Ayu.
Berikutnya, sambung dia, soal berbagi peran. Menurutnya, saat ini banyak perempuan yang mampu keluar mencari uang dan menjadi tulang punggung keluarga.
"Ada perempuan yang mampu keluar mencari uang, banyak juga laki-laki yang tidak mampu mencari uang. Selama si perempuan keluar cari uang, seharusnya laki-laki bertanggung jawab di rumah. Sebaliknya kalau si laki-laki yang mampu mencari uang ke luar, maka si perempuan sebaiknya bertanggung jawab di rumah. Karena ini kan soal berbagi peran," jelasnya.
Wanita yang mengaku bekerja di ranah advokasi ini mengaku sudah cukup terbantu dengan beberapa aturan yang mengatur soal UU Keluarga, seperti Kompilasi Hukum Islam, UU PDKRT, dan UU Perlindungan Anak.
"Selama ini beberapa UU itu yang menjadi alat bagu kami dalam bekerja di ranah advokasi," pungkas Ayu.
Seperti yang diketahui, Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang masuk dalam program legislasi nasional DPR RI menjadi sorotan lantaran mengandung pasal-pasal yang memicu kontroversi.
Dilansir dari laman tempo.co.id, Selasa, (3/3/2020), Draf RUU Ketahanan Keluarga ini diusulkan oleh Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera, Sodik Mudjahid dari Gerindra, Endang Maria Astuti dari Golkar, dan Ali Taher dari Partai Amanat Nasional. (Im)