Jokowi Minta Warga Kritik Pemerintah, Mantan Ketua Komas HAM Sampaikan Ini
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
Mantan Ketua Komnas HAM, Otto Syamsuddin Ishak. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dikabarkan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah. Menurut Jokowi, kritik tersebut adalah bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.
Walaupun demikian, layanan kritik itu tidak berani dilakukan oleh sejumlah masyarakat lantaran telah merasa diri tidak bebas mengkritik pemerintah meski mengetahui hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi UUD 1945 dan diimbaukan pemerintah Indonesia.
Mantan Ketua Komnas HAM, Otto Syamsuddin Ishak membenarkan kondisi Indonesia saat ini sedang darurat kritik. Ia juga mengambil sudut pandang Jusuf Kalla (JK) yang mempertanyakan bagaimana mekanisme kritik yang tidak dilaporkan ke polisi.
Otto melanjutkan, ada berbagai faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia malas mengikuti himbauan mengkritik dari Presiden Jokowi. diantaranya yang menjadi pertimbangan ialah karena warga Indonesia teringat dengan masa kepemimpinan Presiden Mao Zedong yang memimpin Tiongkok pada periode 1954-1959.
Otto menceritakan, di era Mao Zedong menjabat, Presiden Mao membebaskan warga Tiongkok untuk mengkritik. Kritikan kepada pemerintah dibuka seluas-luasnya. Akan tetapi, setelah warganya mengkritik, semua orang yang mengkritik tadi ditangkap semua.
“Nah, artinya apa? Sekarang orang dalam posisi distras dengan apa yang dikatakan oleh presiden. Jadi, orang masih ragu-ragu, masih melihat-lihat gitu,” jelas Otto saat dihubungi Dialeksis.com, Senin (15/2/2021).
Kecuali, Sambung Otto, bagi orang-orang yang proporsional, atau secara politik kuat posisinya. Misalnya, kata Otto, sekelas orang-orang seperti Said Didu, JK, dan seterusnya.
“Kritikan ini secara posisi, ya, begitu. Bahkan, tak satu pun muncul para kritikus yang kuat dari kampus. Justeru yang muncul dari kampus itu buzzer yang kuat, semacam kayak Armando dan sebagainya,” katanya.
“Jadi, saya kira, kalau kita lihat dari himbauan tersebut, nampaknya orang kita tidak menanggapinya dengan serius gitu,” sambungnya.
Selain itu, mantan Ketua Komnas HAM itu minta kepada para kritikus di luar sana untuk bisa membedakan yang mana “kritik” dan yang mana “nyinyir” atau yang mana “menghujat.” Karena, sambung Otto, tiga kemungkinan itu bisa dilanjutkan ke penangkapan, tergantung bagaiman para penegak hukum menafsirkannya.
“Makanya saya katakan, harus hati-hati. Dia harus bisa auto-kritik, apakah ini nyinyiran, apakah ini kritik, apakah ini menghujat gitu. Dan sejauh mana dia menghindari tidak ditarik ke pasal-pasal ITE,” katanya.
Sementara itu, lanjut Otto, masalah penangkapan orang akibat kritik tak bisa disamakan dengan para Buzzer. Karena Buzzer dilindungi oleh rezim sedangkan seorang kritikus biasanya orangnya datang di luar rezim.
“Buzzer ini dapat perlindungan dari rezim. Kan kita bisa lihat, Deni Siregar, Armando, dan sebagainya. Bahkan Abu Janda masih terlindungi. Kenapa, kita nggak tahu apa yang ada dibelakang itu kan. Kecuali, Abu Janda, karena sudah menghujat agama, bila Ormas Agama terutama Agama mayoritas yang menuntut, biasanya pemerintah agak mundur sih,” pungkas dia.