DOKA 2022, Taufik Abdullah: Harus Pada Skala Prioritas dan Kepentingan Publik
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Ilustrasi uang. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Aceh Utara - Dana Otsus Aceh yang telah disetujui tahun 2022, kini mulai menjadi perbincangan hangat dikalangan masyarakat. di tahun sebelumnya 2021 penggunaan Otsus di Aceh atau DOKA bisa dikatakan tidak tepat sasaran sehingga menimbulkan SiLPA Rp3,98 Trilliun.
Karena itu masyarakat bertanya-tanya apakah penggunaan Otsus di Tahun 2022 akan sesuai atau tepat sasaran, saat ini banyak sekali yang berspekulasi bahwa perlunya evaluasi menyeluruh terkait Otsus di Aceh.
Dosen Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal), Taufik Abdullah, S.Ag., MA mengatakan, publik berharap dana sebanyak itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan publik.
“Haruslah dipergunakan efektif dan efisien dalam upaya pembiayaan pembangunan yang berdampak. Pemerintah Aceh bisa menetapkan skala prioritas. Jangan asal-asalan. Kebijakan dan program berdampak pada kepentingan masyarakat dikelola serius dan fokus,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Rabu (6/10/2021).
Dirinya mengatakan, Kiranya tidak ada lagi kebijakan dan program yang muncul tiba-tiba. Legislatif mesti ekstra awasi proses Budgeting.
“Berbagai agenda pembangunan yang muncul siluman dan terkesan menguntungkan pejabat dan pemain rente APBA semata kiranya tidak muncul lagi pada tahun 2022 ini,” kata Taufik.
Selama ini, Kata Taufik, pemanfaatan dana Otsus di Aceh sepertinya ugal-ugalan. “Visi misi dan kebijakan program tidak sesuai dengan perencanaan dalam RPJMD. Perencanaan pembangunan belum menyentuh kepentingan masyarakat miskin, serta berdampak siginifikan terhadap kepentingan publik, kiranya harus diperjuangkan dengan benar oleh rezim penguasa saat ini,” tukasnya.
Lanjutnya, Rezim ini sepertinya tidak menyisakan legecy. Kecuali, politik kucing-kucingan, permainan anggaran dan banjakan APBA yang menguntungkan penguasa ataupun segelintir pihak dilingkaran kekuasaan.
Menurutnya, Implementasi Otsus perlu audit total. Harusnya setiap periodek atau rezim yang memerintah perlu evaluasi menyeluruh terkait pemanfaatan dana Otsus.
“Selama tiga kontestasi pemilu baik pilkada maupun pemilu legislatif seberapa besar dampak pembangunan Aceh. Nyatanya pembangunan kita belum mensejahterakan rakyat,” ujarnya.
Karena itu, Melalui demokrasi, Aceh telah melahirkan rezim pemimpin, yang tentu capaian mereka ada plus minus, tentu perlu diberi timbangan.
“Dengan begitu, kita akan tau sektor mana gelontoran pembiayaan pembangunan selama ini, apa dampaknya, apa perubahannya, apa manfaatnya bagi masyarakat Aceh, atau selama ini masyarakat Aceh tidak mendapat dampak signifikan dari berbagai proyek pembangunan, kecuali harta pejabat yang bertambah,” ucapnya lagi.
Jadi, Kata Taufik, ini ada evaluasi total, agar disisa dana Otsus 2027 nanti, kita berharap soft landing.
“Artinya, dengan ada evaluasi maka kita tau pemanfaatan dan pembiayaan pembangunan melalui dana Otsus selama ini, kita akan tau mana capaian positif dan kekurangan yang mesti diperbaiki sebelum dana otsus berakhir,” jelasnya.
Masalahnya, jika Otsus Aceh berakhir di Tahun 2027, Taufik menjelaskan, apa dampak signifikan pembangunan yang berkelanjutan secara ekonomis atas berbagai kebijakan program selama ini.
“Pertanyaannya selanjutnya, apakah Aceh berdaya dan bisa bergerak lebih pantas pasca Otsus, atau Aceh akan mengalami berbagai defisit seiring dana otsus berakhir. Ini tidak mudah. Tentu, pemerintah melalui Bappeda, barangkali perlu juga melibatkan para pakar dan akademisi untuk mengevaluasi tantangan Aceh pasca Otsus.
Baginya, Hal yang patut menjadi persoalan evaluasi terkait DOKA (Dana Otonomi Khusus Aceh), yaitu, pertama, soal realisasi dana Otsus belum mensejahterakan rakyat seutuhnya.
“Kemiskinan dan dampak jangan panjang dalam hal pembangunan kemandirian ekonomi yang berkelanjutan belum ada pondasi yang kuat. Belum muncul dan menguatnya Leading Sector menjadi tantangan krusial,” kata Taufik.
Kedua, adanya dana Otsus cenderung memunculkan konflik kepentingan elit politik, penjabat dan elit sosial, serta para pengusaha.
“Dinamika politik kontestasi berdampak pada pengelolaan kekuasaan. Belum munculnya strata elit moralis dan strong leader yang mengerakkan pembangunan kerakyatan saya pikir tantangan terbesar selama ini,” tambahnya.
Oleh Karena itu, ke depan, Kata Taufik, segenap pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan di Aceh perlu urung rembuk menghadapi tantangan Aceh pasca Otsus. Jika ada suara-suara politis selama ini ingin memperjuangkan perpanjangan DOKA tentu tidak mudah menyakinkan pemerintah pusat.
“Tapi, bagaimanapun usaha ke arah itu perlu diperjuangkan, tentu dari pihak pemerintah Aceh menyampaikan tela’ah kritis dan rekomendasi tentang urgensi Aceh mendapat Otsus jangka panjang. Intinya, berbagai kekurangan selama ini perlu evaluasi total, sehingga relevansi perpanjangan dana otsus realistis dengan perkembangan masa depan,” pungkasnya. [ftr]