Selasa, 02 Desember 2025
Beranda / Tajuk / Jangan Terkecoh, Tidak Ada yang Namanya Bencana Alam

Jangan Terkecoh, Tidak Ada yang Namanya Bencana Alam

Selasa, 02 Desember 2025 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Ilustrasi bencana banjir. [Foto: canva.com]



DIALEKSIS.COM | Tajuk - Ketika air bah datang dan menenggelamkan rumah-rumah, ketika tanah longsor menelan jalan dan nyawa, ketika gempa mengguncang dan bangunan runtuh seperti kertas, ketika rumah ditimbun tanah, kita buru-buru menyebutnya “bencana alam.” Seolah-olah alam adalah pelaku utama, dan manusia hanya korban tak berdaya. Padahal, itu keliru. Sangat keliru.

Jangan terkecoh. Tidak ada yang namanya bencana alam. Yang ada hanyalah fenomena alam -- hujan, gempa, siklon tropis, letusan gunung -- yang telah terjadi jauh sebelum manusia mengenal kata “infrastruktur.” Alam bekerja dalam siklusnya sendiri. Ia bukan pelaku kriminal. Ia tidak punya niat jahat. Tapi ketika fenomena alam itu berubah menjadi tragedi, merenggut nyawa, menghancurkan rumah, melumpuhkan kota, maka itu bukan karena alam murka. Itu karena pemangku kebijakan gagal.

Bencana adalah Produk Kebijakan, Bukan Gejala Geologi

PBB melalui UNDRR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction) telah menegaskan: bencana bukanlah peristiwa alamiah. Bahaya alam memang nyata, tapi bencana adalah hasil dari kerentanan sosial, paparan yang dibiarkan, dan kapasitas mitigasi yang diabaikan. Semua itu adalah produk kebijakan. Bukan geologi. Bukan meteorologi. Tapi politik.

Kita tidak bisa menyalahkan hujan jika drainase tak sanggup menampung air. Kita tidak bisa menyalahkan gempa jika bangunan runtuh karena izin konstruksi diberikan tanpa standar keselamatan. Kita tidak bisa menyalahkan angin topan jika pemukiman miskin dibiarkan tumbuh di bantaran sungai tanpa perlindungan.

Ketika Alam Membongkar Ketimpangan

Bencana adalah cermin. Ia memantulkan wajah asli dari ketimpangan yang selama ini disembunyikan di balik jargon pembangunan. Seperti yang dibedah dalam buku There Is No Such Thing as a Natural Disaster: Race, Class, and Hurricane Katrina (2006), disunting oleh Chester Hartman dan Gregory D. Squires, bencana seperti Badai Katrina bukanlah sekadar akibat kekuatan alam, melainkan hasil dari sejarah panjang kebijakan yang menciptakan segregasi, kemiskinan, dan kerentanan sistemik.

Kontributor seperti Michael Eric Dyson, Robert D. Bullard, dan Beverly Wright menunjukkan bahwa komunitas kulit hitam dan miskin menjadi korban utama bukan karena badai, tapi karena sistem yang membiarkan mereka hidup di zona bahaya tanpa perlindungan. Badai hanya memanen kerentanan yang telah ditanam oleh ketidakadilan struktural.

Infrastruktur Gagal, Anggaran Dipangkas, Siapa Bertanggung Jawab?

Setiap kali bencana terjadi, kita harus bertanya: Siapa yang mengizinkan pembangunan di kawasan rawan longsor? Siapa yang menandatangani izin tambang tanpa AMDAL? Siapa yang memangkas anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) untuk mitigasi bencana demi proyek mercusuar?

Jawabannya bukan “alam” Jawabannya adalah mereka yang memegang kuasa. Mereka yang duduk di balik meja, menandatangani dokumen, menyusun anggaran, dan mengatur tata ruang. Mereka yang lebih sibuk membangun citra daripada membangun tanggul. Mereka yang lebih takut kehilangan suara dalam pemilu daripada kehilangan nyawa rakyatnya.

“Bencana Alam” Adalah Mantra Pelindung Kekuasaan

Istilah “bencana alam” yang kini dihaluskan dalam nama lain seperti bencana hydrometorologi atau bencana ekologi adalah tameng. Ia digunakan untuk mengalihkan tanggung jawab. Dengan menyebutnya “alamiah,” para pemangku kebijakan bisa mencuci tangan. Mereka bisa berdiri di depan kamera, menunduk haru, menyebut nama Tuhan, lalu mengumumkan bantuan darurat seolah-olah mereka pahlawan. Padahal, merekalah yang menciptakan panggung bagi tragedi itu terjadi.

Dengan menyebutnya “takdir,” mereka menghindari pertanyaan paling penting: Mengapa izin dikeluarkan tanpa kajian risiko? Mengapa masyarakat dibiarkan tinggal di zona merah? Mengapa anggaran mitigasi selalu jadi korban pemangkasan?

Rumus Bencana: Bahaya – Kerentanan ÷ Kapasitas

Bencana bukan misteri. Ia bisa dihitung. Bahaya alam dikalikan dengan kerentanan dan paparan, lalu dibagi dengan kapasitas mitigasi. Dan ketiga variabel itu -- kerentanan, paparan, kapasitas -- sepenuhnya berada dalam kendali kebijakan publik. Maka, setiap kali bencana terjadi, itu bukan takdir. Itu adalah hasil dari keputusan yang salah. Itu adalah kegagalan yang ditanggung penuh oleh pemangku kebijakan.

Bencana Adalah Bukti, Bukan Musibah

Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan langit. Sudah waktunya kita bersiap menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang membiarkan rakyat hidup di tepi jurang. Karena bencana bukanlah kehendak Tuhan. Ia adalah konsekuensi dari kebijakan yang abai, dari kekuasaan yang tak peduli, dari uang yang lebih didengar daripada jeritan rakyat.

Jika kita terus menyebutnya “bencana alam,” maka kita sedang membiarkan para penguasa bersembunyi di balik kabut takdir. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah: alam hanya menunjukkan retaknya fondasi keadilan yang selama ini kita abaikan. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI