Minggu, 07 Desember 2025
Beranda / Opini / Aceh Bangkit dengan Kekuatan Kolektifnya Pasca Bencana Banjir

Aceh Bangkit dengan Kekuatan Kolektifnya Pasca Bencana Banjir

Minggu, 07 Desember 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Dr. Nasrul Zaman

Dr. Nasrul Zaman seorang akademisi, dosen di Universitas Syiah Kuala (USK), dan pengamat kebijakan publik dari Aceh. Foto: Nukilan.id


DIALEKSIS.COM | Opini - Berbicara tentang Aceh berarti berbicara tentang sebuah wilayah yang memiliki rekam jejak panjang dalam menghadapi bencana alam. Ingatan kolektif masyarakat atas tragedi masa lalu termasuk Tsunami 2004 kini telah menjelma menjadi ketahanan (resilience) yang lebih terstruktur dan matang. Ketika banjir besar kembali menerjang 18 kabupaten/kota di Aceh, respons daerah ini menunjukkan bahwa Aceh tidak lagi bergantung sepenuhnya pada bantuan eksternal. Yang tampil ke permukaan justru kemampuan swadaya yang kuat, ditopang struktur pemerintahan daerah yang sigap melalui Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA).

Sejak awal bencana, BPBA menjadi ujung tombak koordinasi lintas sektor. Mekanisme respons cepat diaktifkan, sumber daya dimobilisasi, dan instruksi penanganan darurat dijalankan tanpa menunggu birokrasi yang bertele-tele. Di tengah situasi genting ini, salah satu elemen yang paling menonjol adalah hadirnya kepemimpinan daerah yang bersifat transformatif. Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh turun langsung ke lokasi-lokasi terdampak, bukan sekadar untuk formalitas, tetapi untuk memberikan injeksi moral bagi warga dan petugas di lapangan.

Kehadiran mereka memangkas jarak antara pengambil kebijakan dan korban bencana. Komunikasi langsung dengan masyarakat membuat pengambilan keputusan lebih cepat dan tepat. Dalam banyak kasus, alokasi dana darurat, distribusi logistik, hingga pengerahan peralatan berat bisa dilakukan dalam hitungan jam. Ini menjadi bukti bahwa kepemimpinan yang hadir secara fisik mampu menciptakan akselerasi dalam penanganan bencana.

Di balik layar, peran Sekretaris Daerah (Sekda) menjadi elemen strategis. Ibarat seorang dirigen, Sekda memastikan setiap perangkat pemerintahan bergerak dalam ritme yang seragam. Dinas Sosial menangani logistik, Dinas Kesehatan menyiapkan posko kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum memperbaiki akses infrastruktur, sementara dinas-dinas lain menjalankan tugas sesuai mandat masing-masing. Penanganan yang terfragmentasi diubah menjadi sebuah orkestrasi kerja yang terkoordinasi dan sistematis.

Instruksi Sekda tersebut kemudian diterjemahkan menjadi mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam skala besar. Ribuan ASN tidak lagi hanya bekerja di balik meja, tetapi turun langsung sebagai relawan terorganisir. Mereka membantu memasak di dapur umum, mendata pengungsi, memastikan distribusi bantuan berjalan, hingga menjaga pos-pos pelayanan. Pola pengerahan sumber daya internal ini menunjukkan bahwa birokrasi Aceh memiliki cadangan kapasitas yang besar dalam menghadapi situasi darurat.

Ketangguhan internal Aceh juga diperkuat oleh dukungan eksternal yang datang dari organisasi non-pemerintah. Jaringan LSM dan NGO, baik lokal yang berpengalaman sejak masa rehabilitasi Tsunami, maupun yang beroperasi secara internasional, segera turun dengan keahlian spesifik. Mereka mengisi celah yang kerap luput dari perhatian pemerintah seperti mitigasi trauma, penyediaan sanitasi berbasis komunitas, air bersih, hingga pendidikan tanggap darurat.

Sinergi antara BPBA dan NGO ini tidak berjalan tumpang tindih, tetapi saling melengkapi. NGO internasional fokus mencegah potensi wabah penyakit pasca-banjir, sementara relawan lokal membantu pembersihan rumah ibadah, sekolah, dan rumah warga. Kolaborasi yang terjaga dengan baik ini memastikan bahwa setiap sumber daya baik logistik maupun tenaga relawan memberikan dampak maksimal bagi masyarakat terdampak.

Indikasi perbaikan kondisi perlahan terlihat. Lalu lintas bantuan menjadi lebih lancar, posko kesehatan bekerja efektif, dan pendataan kerusakan dilakukan secara akurat. Semua ini merupakan buah dari implementasi rencana kontingensi yang telah disiapkan jauh sebelum bencana. Penanganan bukan lagi bersifat ad-hoc, tetapi berbasis manajemen risiko yang terintegrasi.

Meski fokus utama saat ini masih pada tahap tanggap darurat, fondasi pemulihan jangka panjang mulai terbentuk. Data terukur yang dikumpulkan dinas-dinas terkait akan menjadi acuan penyusunan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang lebih tahan bencana atau yang dikenal dengan prinsip build back better. Momentum ini menjadi kesempatan bagi Aceh untuk memperkuat ketahanan wilayah menghadapi ancaman iklim ke depan.

Dengan kombinasi kepemimpinan yang hadir, manajemen operasional yang disiplin, dan dukungan solidaritas masyarakat serta NGO, Aceh menunjukkan narasi optimisme di tengah keterpurukan. Bencana ini membuktikan bahwa sinergi antara kapasitas internal dan dukungan eksternal dapat menghadirkan penanganan yang efektif, cepat, dan berkeadilan. Inilah wajah Aceh hari ini wilayah yang semakin matang dalam mengelola krisis dan layak menjadi contoh ketangguhan regional.

Penulis: Dr. Nasrul Zaman seorang akademisi, dosen di Universitas Syiah Kuala (USK), dan pengamat kebijakan publik dari Aceh 

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI