Beranda / Feature / Petani Kopi Gayo harus “Tahan Lapar” Demi Hidup?

Petani Kopi Gayo harus “Tahan Lapar” Demi Hidup?

Senin, 01 Maret 2021 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Kopi yang sudah panen kini memasuki musim tidak berbuah. Harga kopi saat panen raya tahun ini rendah. (foto/Bahtiar Gayo)

Dedy Suherman tidak lagi “mengurus” kebun kopinya. Selain pengaruh musim kemarau, membuat aktifitasnya di kebun sedikit terhenti. Dia juga harus membanting setir menjadi pekerja serabutan, demi memenuhi asap di dapur.

Petani kopi di Tetak, Bintang, Aceh Tengah ini mencari kerja serabutan lainya demi bertahan hidup. Panen kopi sudah usai, harga kopi yang jauh dari harapanya membuat ayah dua anak ini menjadi buruh upahan.

Apapun dilakukanya demi dapur yang berasap. Tanaman cabai yang diolahnya belum panen, apalagi musim kemarau dia tidak tega melihat tanamanya itu kecut.

“Rata rata petani kopi saat ini kesulitan mempertahankan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan dapur rasanya berat,” sebut Dedy ketika penulis duduk berbincang denganya.

“Panen tahun ini, tukang kutip kopi lebih banyak mendapatkan nilai bersih. Dalam satu kaleng merah ongkos kutipnya Rp 25 ribu, sementara harga kopi satu kaleng hanya Rp 55 ribu,” sebutnya.

Harga kopi yang anjlok ini semakin membuat petani kopi terpukul. Dalam 100 kaleng merah hasil panen mereka nilai jualnya hanya Rp 5,5 juta. Dipotong ongkos kutip Rp 2,5 juta, petani hanya mendapatkan Rp 3 juta.

“Itu juga belum lagi termasuk biaya langsir. Otomatis semakin berkurang yang didapat. Itu juga kalau kebunya dirawat dengan bagus, dalam satu hektar bisa mencapai antara 200 sampai 240 kaleng merah,” jelasnya.

Ongkos kutip tidak pernah turun, sebutnya, sementara harga kopi turun. Kalau dulu, jelasnya, harga kopi gelondongan merah mencapai Rp 75 ribu perkaleng, bearti petani mendapatkan Rp 50 ribu perkaleng.

Kalau dua ratus kaleng nilai yang didapat petani mencapai Rp 10 juta. Namun ketika harga kopi turun, nilai yang didapat petani jauh lebih sedikit dari yang didapat tukang kutip kopi, sebutnya.

Nasib yang dialami Dedy, kini dialami ribuan petani disentral pegunungan Aceh ini. Aceh Tengah, Bener Meriah, gayo Lues memiliki area perkebunan kopi arabika terbesar di Indonesia. Hamparan kopi di sana mencapai 101.855 hektar.

Setiap hektar rata-rata produksinya antara 700 sampai 800 kilogram. Menurut data tahun 2018 hasil kopi dari Gayo mencapai 64.121 ton. Angka itu setiap tahunya mengalami kenaikan seiring dengan panennya kopi muda yang baru ditanam.

Wabah corona yang melanda negeri ini, membuat harga kopi jatuh dipasaran, negara konsumen kopi terbaik dunia ini “sedang sakit”, para buyer banyak yang menunda pembelian kopi. Dampaknya banyak kopi masyarakat yang tertahan di gudang gudang belum terpasarkan.

“Dari data AEKI Aceh, pada tahun 2019 saja ada 15.000 ton kopi yang tidak terserap. Terjadi penurunan permintaan pasar akibat wabah corona,” sebut Mohd Tanwier, Kadis Perindustrian dan Perdagangan Aceh, menjawab Dialeksis.com, sebelum masuk panen akbar kopi.

Menurut Baong, panggilan akrabnya, dari data kondisi 29 Juli 2020, untuk Aceh Tengah dan Bener Meriah masing masing 3000 ton tidak terserap, sementara untuk Gayo Lues ada 1500 ton. Sementara di eksportir Medan, angkanya mencapai 7.500 ton.

Otomatis memasuki panen raya Oktober- Desember 2020, kopi yang berasal dari penunungan sentral Aceh ini tidak terangkut semuanya keluar. Harga pasaranya turun. Untuk jenis green been, asalan rata rata para eksportir membeli Rp 38 ribu perkilogram, untuk yang sudah berdepe (sortir) Rp 42 ribu.

Menurut petani lainya di negeri dingin itu, Aman Novi, salah seorang petani kopi di Semilit Mutiara, Silih Nara, tidak semua petani mampu menghasilkan kopi jenis grenben, mereka lebih banyak menjualnya dalam bentuk gelondongan merah.

“Tidak semua petani memiliki mesin penggupas biji merah. Selain itu untuk menjemurnya membutuhkan modal dan waktu, serta tempat menjemur. Memang kalau bisa diusahakan menjadi grenbeen, nilai yang didapatnya bisa dua kali lipat,” sebut Aman Novi.

Menurut Aman Iqoni petani kopi lainya, bila dalam 100 kaleng kopi gelondongan merah dijadikan grenben, setara dengan 400 kilogram. Nilai jualnya perkilo Rp 38 ribu, hasil yang didapat mencapai Rp 15 juta lebih.

Untuk ongkos mengutip mencapai Rp 2,5 juta, biaya langsir, giling dan menjemur bila diongkoskan mencapai Rp 5 juta, nilai yang didapat petani antara Rp 6,5 juta sampai 7 juta. Nilai itu lebih tinggi dari pada dijual gelondongan merah, dimana untuk 100 kaleng setelah dipotong biaya kutip dan langsir, petani hanya mendapat Rp 2,5 juta atau Rp 3 juta, dengan keadaan harga kopi saat ini.

Namun bila harga kopi membaik, nilai yang didapat petani akan naik, karena biaya ongkos mengutip tetap. Dengan harga yang rendah ini, petani di Gayo saat ini kewalahan memikirkan biaya kebutuhan hidup.

Ada petani yang kini kurang merawat kebunya, karena mereka harus mencari upahan demi bertahan hidup. Atau menanami tanaman selingan, namun persoalanya saat ini musim kemarau yang sedikit menghentikan aktifitas mereka.

Bagaimana petani kopi di Gayo mampu bertahan hidup disaat panen raya sudah usai dan harga jual kopi rendah? Bila kita tanyakan bagaimana keadaan petani di sana saat ini, semua rata rata menjawabnya susah. Untuk mengisi ruang tengah, berasapnya dapur mereka sudah sangat kesulitan.

“Jangankan memikirkan kebutuhan ini dan itu untuk membeli beras saja, demi bertahan hidup, sudah susah. Boleh tanya hampir seluruh petani, khususnya petani kopi merasakan pahitnya hidup disaat harga kopi rendah di negeri yang sedang dilanda wabah ini,” sebut Aman Iqoni.

Pahitnya kopi walau memiliki aroma yang harum dan rasa lemak diujungnya, kini semakin pahit dirasakan petani kopi Gayo. Mereka mencoba bertahan hidup disaat tidak ada kepastian kapan ekonomi mereka akan mampu diperbaiki kembali. Haruskah mereka menahan lapar demi hidup? (Bahtiar Gayo)


Keyword:


Editor :
Jun

riset-JSI
Komentar Anda