Beranda / Politik dan Hukum / Kejagung dan KPK Diminta Usut Indikasi Korupsi SDA di Aceh Selatan

Kejagung dan KPK Diminta Usut Indikasi Korupsi SDA di Aceh Selatan

Senin, 03 Juni 2024 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora
Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA), Fadhli Irman. Foto: dok pribadi

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA), Fadhli Irman meminta Kejagung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri kemungkinan adanya indikasi korupsi pada sumber daya alam dalam proses perizinan perusahaan yang ada di Aceh Selatan, baik itu perusahaan yang sudah beroperasi atau wacana pendirian pabrik semen oleh investor China.

"Apakah ada terjadi praktek grativikasi dalam perizinannya yang hingga menghasilkan kebijakan yang berpotensi merugikan masyarakat dan negara? Tentu KPK dan Kejagung hendaknya turun langsung mengusut kemungkinan adanya indikasi korupsi SDA di Aceh Selatan tersebut," kata Fadhli Irman dalam keterangan tertulis kepada Dialeksis.com, Senin (3/6/2024).

Bukannya tidak percaya dengan APH yang ada di daerah, sambungnya, tetapi untuk menghindari tumpang tindih kepentingan dan transparansi dalam proses pengusutan. Apalagi belajar berbagai kasus korupsi SDA yang pernah terjadi di Indonesia, proses transaksional dalam perizinan merupakan pintu masuk bagi investor dalam mengendalikan kebijakan penguasa yang pada akhirnya akan berdampak kepada kerugian negara.

"Pada dasarnya korupsi pada sumber daya alam memiliki modus yang sama dengan korupsi pada umumnya. Di antara adalah gratifikasi, penyuapan, kronisme, atau benturan kepentingan. Korupsi SDA ini bisa dilakukan mulai dari tataran terendah level daerah hingga nasional," katanya.

Menurutnya, di tataran elite, sumber daya alam sebuah daerah sangatlah rawan diperjualbelikan antara penguasa dan swasta. Salah satu bentuk korupsi SDA adalah suap untuk memudahkan pemberian izin penggarapan lahan atau gratifikasi untuk mendapatkan hak istimewa.

Lebih lanjut, kata Fadhli, Kabupaten Aceh Selatan akhir-akhir ini dihebohkan dengan rencana pembukaan pabrik semen, sementara disisi lain, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) untuk pembangunan pabrik semen sedang dikenai oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) karena kelebihan pasokan (over supply). Namun disisi lain Pemerintah Kabupaten memberikan karpet merah rekomendasi untuk melakukan eksplorasi kepada PT Karbexindo Cement, Konsersium Hongsi Holding Grup. Rekomendasi itu ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi Aceh khabarnya dengan mengeluarkan izin eksplorasi batuan gamping.

Bahkan, kata Fadhli, sebagai bentuk komitmen Pemkab memberikan karpet merah kepada perusahaan dan sebaliknya dilakukan penandatanganan MoU. Sementara secara aturan perundang-undangan tidak pernah ada yang namanya MoU dalam hal yang bersifat sebatas eksplorasi semata.

"Sampai detik ini masyarakat tidak tau apa isi real dari nota kesepakatan (MoU) antara Pemkab Aceh Selatan dan Perusahan asal China itu. Apakah ada poin yang berpotensi merugikan rakyat dan daerah, masyarakat sampai saat ini tidak tau. Yang ada selalu di iming-imingi tentang lapangan kerja, peningkatan ekonomi dan seterusnya," ujarnya.

Disamping itu, lanjut Fadhli, jika berkaca kepada beberapa perusahaan lainnya yang berlokasi di Aceh Selatan sebelumnya juga mengiming-imingi persoalan yang sama, namun secara realita masyarakat tak lebih hanya sebagai korban belaka.

"Katakan saja PT BMU yang berkonflik dengan masyarakat setempat karena izinnya bijih besi, sementara yang diambil saat itu ternyata emas, kemudian limbahnya yang dibuang sangat berbahaya bagi masyarakat. Kemudian PT PSU bahkan hingga beberapa hari yang lalu dikhabarkan belum mengantongi dokumen analisis dampak lingkungan (amdal) yang asli bahkan bermodalkan dokumen copyan itu justru Pemerintah memuluskan proses rekomendasi hingga perizinannya, belum lagi jika dilihat dari amdal dari perusahaan yang kini telah beroperasi di Aceh Selatan. Tentunya ini ada sesuatu," ungkapnya.

Oleh karena itu, kata Fadhli, berhubung pabrik semen belum bisa didirikan dan tahapan eksploitasi berikutnya izinnya masih seputaran batu gamping, maka perlu dilakukan pengecekan apakah benar-benar hanya sebatas batu gamping atau ada mineral logam lainnya. Karena untuk pabrik semen perizinan berusaha melalui Online Single Submmission(OSS) hingga izin lingkungan masih terkunci lantaran moratorium.

Ia menilai persoalan perizinan dan realita lapangan yang tidak sesuai bisa menjadi pintu masuk permainan pengusaha dan penguasa, dalam hal ini potensi korupsi juga rawan terjadi. Apalagi khususnya di Aceh Selatan dalam hal perizinan ini memang ada yang janggal.

"Misalnya ada yang belum kantongi dokumen amdal asli boleh urus izin berikutnya, izin yang diperoleh bijih besi sementara yang ditambang itu emas atau memberikan rekomendasi untuk invertor china dimasa moratorium pabrik semen dengan izin ekploitasi batu gamping," sebutnya.

Makanya, ia menduga ada permainan antara pengusaha dan penguasa yang perlu dibongkar oleh institusi penegak hukum baik itu Kejagung maupun KPK RI. 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda