Beranda / Opini / Kesejahteraan Buruh, Tanggung Jawab Siapa?

Kesejahteraan Buruh, Tanggung Jawab Siapa?

Rabu, 01 Mei 2024 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Zulhelmi

Dr. Zulhelmi, MHSc sebagai Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. [Foto: for Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Opini - Tanggal 01 Mei adalah hari buruh internasional yang setiap tahun diperingati oleh seluruh dunia. Bahkan di Indonesia, momentum hari buruh internasional ini dijadikan sebagai hari libur nasional. Setidaknya, hal ini dapat dianggap sebagai salah satu bentuk perhatian yang serius pemerintah Indonesia terhadap nasib kehidupan kaum buruh. Namun kenyataan menunjukkan, meskipun diperingati setiap tahunnya, nasib kaum buruh masih saja belum berubah ke arah yang lebih baik. Mungkin, perhatian ini masih sifatnya formalitas dan belum menyentuh pada hal-hal yang substantif, sehingga nasib kaum buruh masih saja belum berubah.

Isu kesejahteraan kaum buruh biasanya digaungkan oleh orang-orang penganut ideologi sosialis. Bahkan kesejahteraan kaum buruh menjadi jargon khusus mereka yang kerap terdengar kapan dan di mana saja. Namun bukan berarti di luar penganut sosialis isu kesejahteraan kaum buruh menjadi “dingin”, karena sesungguhnya kaum buruh itu adalah bagian dari kemanusiaan juga. Oleh karena itu, wajar-wajar saja, Indonesia yang menganut ideologi Pancasila juga memberikan perhatian khusus pada nasib kehidupan kaum buruh ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.

Isu tentang kesejahteraan kaum buruh sudah menjadi tema yang menarik perhatian penulis sejak lama. Tahun sebelumnya, dalam momentum hari buruh sedunia, penulis sempat mempublikasi sebuah tulisan opini tentang buruh dalam pandangan Islam di media Info Aceh Net. Tahun ini dalam momentum yang sama, penulis juga memberikan “hadiah” dalam bentuk tulisan sederhana ini kepada kaum buruh, sebagai bentuk apresiasi terhadap kontribusi kaum buruh dalam pembangunan bangsa dan negara.

Dalam tulisan sederhana ini, penulis ingin mempertanyakan tanggung jawab siapa sebenarnya kesejahteraan kaum buruh? Pertanyaan ini menjadi penting karena selama ini mereka selalu menjadi objek dan tidak pernah menjadi subjek, sehingga nasib mereka juga tidak pernah berubah-rubah. Pada dasarnya, kalau kita melihat isi UUD 1945, maka sesungguhnya kesejahteraan kaum buruh itu adalah tanggung jawab pemerintah. Karena kaum buruh menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara Indonesia, maka mereka juga mendapatkan hak konstitusionalnya untuk bisa hidup sejahtera. Lebih tegasnya lagi, dalam butir kelima Pancasila disebutkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya kaum buruh.

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hal tersebut masih sulit diwujudkan. Selain karena kaum buruh sering menjadi objek, sebagaimana yang sudah disebut di atas, juga karena isu kesejahteraan kaum buruh ini sering diekspolitasi oleh partai politik untuk mendapatkan legalitas kekuasaan. Dengan demikian, siapa pun rezim penguasa di republik ini sepertinya belum mampu meningkatkan kesejahteraan kaum buruh, kecuali hanya dalam bentuk formalitas semata dan menjadi komoditas politik yang paling laku di saat musim-musim kampanye menjelang pemilu.

Sosialisme Religius versi Cak Nur

Oleh karena itu, untuk terus mengawal kewajiban pemerintah supaya benar-benar peduli pada kaum buruh ini, ada baiknya penulis menukilkan beberapa pandangan salah seorang cendikiawan muslim Indonesia yang sangat terkenal yaitu Nurcholish Madjid atau yang populer dengan sebutan Cak Nur. Siapa sangka ternyata Cak Nur muda, khususnya ketika ia menjadi Ketua Umum PB HMI dua periode berturut-turut (1966-1969 dan 1969-1971), memiliki perhatian yang serius terhadap kaum buruh. Gagasan-gagasan Cak Nur muda tentang pembelaannya terhadap kaum buruh dapat dilacak dalam bukunya yang berjudul Islam: Kerakyatan dan Keindonesiaan yang diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1994.

Fase kehidupan Cak Nur muda ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan fase tuanya. Ketika Cak Nur menjadi Ketua Umum PB-HMI, ia menjelma sebagai tokoh muda yang peduli terhadap kaum lemah dan banyak menyuarakan isu-isu keadilan, kesejahteraan yang merata, dan hak-hak asasi manusia. Hal tersebut dianggap wajar-wajar saja karena fase muda adalah fase di mana seorang masih memiliki “darah yang panas” untuk merespon berbagai fenomena dalam kehidupan sehari-hari, khususnya fenomena-fenomena yang dialami oleh orang-orang yang lemah tak berdaya. Bagi seseorang yang hanya melihat Cak Nur pada fase tuanya sebagai sosok ideolog dan teolog muslim, mungkin akan kaget membaca pemikiran-pemikiran Cak Nur fase muda. Karena isu-isu yang diangkat oleh Cak Nur adalah isu-isu yang sering disuarakan oleh kelompok kiri yang berhaluan sosialis. Sementara semua orang tahu bahwa HMI sendiri adalah musuh besar bagi kelompok komunis-sosialis, khususnya pada era Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

Dalam pandangan penulis, karakteristik pemikiran Cak Nur muda seperti itu adalah sebagai bentuk responnya terhadap kaum sosialis-komunis sekaligus juga sebagai pembelajaran kepada seluruh warga Indonesia bahwasanya isu-isu pembelaan terhadap kaum lemah tidak selamanya menjadi perhatian kaum kiri. HMI sebagai organisasi besar mahasiswa Islam yang terkenal dengan nasionalisme dan loyalitasnya kepada ideologi Pancasila juga bisa menyuarakan tema-tema pembelaannya terhadap kaum mustadh’afin. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik Pancasila itu sendiri yang pada dasarnya merupakan perpaduan dari 3 ideologi besar dunia, yaitu Islam, Kapitalisme dan Sosialisme (baca: R. Saddam Al-Jihadi, Pancasila Ideologi Dunia: Sintesis Kapitalisme, Sosialisme dan Islam). Bahkan Cak Nur, dalam bukunya Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan itu dengan sangat lantang menyuarakan bahwa Indonesia merupakan negara sosialis religius. Menurut hemat penulis, penggunaan sosialis religius ini adalah sebagai bentuk penafsiran Islam terhadap ideologi sosialis-komunis yang dilahirkan di Eropa. Perbedaannya, ideologi sosialis-komunis yang lahir di Eropa tidak melibatkan kehadiran tuhan di dalamnya karena umumnya mereka tidak bertuhan alias atheis. Manakala sosialis religius ini adalah sosialis yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Senada dengan ide Cak Nur muda ini, dalam kesempatan yang lain, Dawam Rahardjo juga menggunakan istilah sosialis religius ketika menganalisa pemikiran ekonomi Sjafruddin Prawiranegara (baca: Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara).

Adapun di antara gagasan Cak Nur muda tentang pembelaan terhadap kaum buruh adalah ajakannya kepada mereka supaya mereka jangan bercerai berai, melainkan harus mau bersatu padu. Persatuan dan kesatuan menjadi modal utama bagi sebuah komunitas masyarakat agar mereka bisa menjadi kuat. Tanpa ada persatuan dan kesatuan, mustahil untuk mewujudkan kekuatan dan kekompakan. Dengan memiliki kekuatan, insayallah kaum buruh akan bisa mengawal pemerintah untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk memberikan kesejahteraan yang merata, termasuk kepada kaum buruh.

Berikutnya, Cak Nur muda juga menyarankan kepada partai politik untuk tidak mengeksploitasi isu-isu kaum buruh untuk kepentingan pragmatis mereka dalam setiap pemilu. Artinya, kalaupun ada partai politik yang memang fokus pada pembelaan kaum buruh, maka hal tersebut harus dilakukan secara istiqamah dan berkelanjutan ketika mereka sudah mendapatkan kekuasaan untuk mengelola republik ini. Di samping itu pula, Cak Nur muda mengapresiasi dedikasi Bapak Soekarno sebagai pendiri republik ini, tokoh proklamator dan juga presiden pertama Indonesia, di saat ada sebagian kelompok yang berupaya untuk menghapus jasa-jasanya dalam sejarah pendirian bangsa Indonesia ini. Hal tersebut dilakukan karena Soekarno dikenal dekat dengan kaum sosialis-komunis, baik secara pribadi maupun kelembagaan.

Selain itu, Cak Nur muda juga menyarankan kepada pemerintah agar bisa mewujudkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh kalangan warga Indonesia. Dengan bahasa lain, bahwa kesejahteraan itu tidak boleh menumpuk pada sebuah komunitas masyarakat tertentu saja, yang kebetulan memiliki akses terhadap modal dan kekuasaan, melainkan juga harus turut dirasakan oleh komunitas masyarakat yang lemah sekalipun.

Terakhir, sepertinya ini merupakan upaya Cak Nur muda untuk menghibur mereka yang kebetulan memiliki nasib hidup yang kurang beruntung, bahwa relasi antara orang kaya dengan orang miskin itu tidak selamanya berjalan seirama dengan kebahagiaan dan kesengsaraan. Artinya, kalaupun ada sebagian orang ditakdirkan hidup dalam keadaan fakir dan miskin, maka hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk bisa hidup bahagia, karena untuk mendapatkan kebahagiaan tidak disyaratkan banyak harta. Begitu juga sebaliknya, banyak sekali ditemukan orang-orang kaya yang memiliki harta melimpah, namun mereka susah sekali untuk bisa hidup bahagia. Belum tentu orang kaya bisa tidur nyenyak, sebagaimana orang miskin tidur. Belum tentu orang kaya juga bisa menikmati hidangan makanan yang lezat dan mewah, sebagaimana orang miskin yang bisa menikmati makanan, walaupun dengan menu hidangan yang sederhana. Orang kaya pun cepat sekali diserang penyakit karena kurang gerak, kurang kena matahari dan selalu berada di dalam ruangan ber-AC. Manakala orang miskin, meskipun usia mereka sudah tua, namun umumnya masih memiliki badan yang sehat dan segar, karena mereka sering olah raga dan juga sering disengat oleh terik matahari.

Penutup

Di penghujung tulisan sederhana ini, penulis berharap bahwa peringatan hari buruh sedunia yang jatuh pada setiap 01 Mei tidak hanya diperingati secara serimonial belaka, melainkan juga menyentuh pada hal-hal yang substantif yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan kaum buruh di Indonesia. Adapun jawaban dari pertanyaan yang tercantum pada judul tulisan ini adalah bahwa pemerintah sebagai pemegang mandat kekuasaan rakyat yang tertinggi memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang penuh atas terwujudnya kesejateraan bagi kaum buruh. Alasannya, karena kaum buruh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara Indonesia, sehingga mereka memiliki hak konstitusional untuk bisa hidup sejahtera. Semoga dalam kepemimpinan Bapak Prabowo sebagai presiden ke depan terdapat secercah harapan untuk peningkatan kualitas hidup kaum buruh di Indonesia, karena sesungguhnya mereka juga memiliki kontribusi yang nyata dalam pembangunan bangsa dan negara. Sekali lagi, selamat hari buruh dunia, khususnya kaum buruh di Indonesia.

Penulis: Dr. Zulhelmi, MHSc [Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda