Beranda / Opini / Blue Print Pengelolaan Pendidikan di Masa Mendatang

Blue Print Pengelolaan Pendidikan di Masa Mendatang

Senin, 06 November 2023 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Dr. Iswadi, M.Pd


Dr. Iswadi, M.Pd


DIALEKSIS.COM | Opini - Tanpa bermaksud merendahkan harkat dan martabat bangsa sendiri, namun kita semua sepakat dalam hal kemajuan suatu bangsa Negara Jepang lebih maju dari negara kita Indonesia. Beberapa bukti memperkuat argument penulis adalah bahwa negara Indonesia pernah dijajah Jepang selama 3 (tiga) tahun (1942-1945) yang berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Muhammad Hatta. 

Tanda berakhirnya penjajahan Jepang atas Indonesia selain adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, juga ditandai dengan adanya Bom Atom di Nagasaki dan Herosima pada tahun 1945 oleh Negara Amerika dan para sekutunya. Dari kejadian inilah, Negara Jepang lululantah dan hancur dari segala lini aspek kehidupan, yang pada akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu (Mashud et.al. 2019).

Sejak tahun 1945, Indonesia merdeka dan Jepang mengalami kehancuran. Indonesia dan Jepang sama-sama memulai kembali membangun bangsanya. Tahun demi tahun sampai sekarang kita bisa membedakan keberhasilan pembangunan antara kedua negara tersebut. Jepang lebih berhasil daripada negara kita. Padahal dari segi luas wilayah negara, sumber kekayaan alam yang terkandung di perut bumi, jumlah sumber daya manusia, dan lain sebagainya masih kaya negara kita dari pada Jepang. 

Beberapa sumber dan artikel yang penulis baca, ternyata keberhasilan pembangunan Negara Jepang adalah terletak pada kesungguhannya dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM)/pendidikan. SDM merupakan sumber daya utama yang mampu mengalahkan sumber-sumber daya lainnya dalam pembangunan. Sementara pembangunan Indonesia kurang fokus dan kurang sungguh-sungguh dalam menjalankan pembangunan.

Pesatnya kemajuan pembangunan negara Jepang sebagai akibat keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan yang sudah tidak bisa diragukan lagi, maka artikel ilmiah ini bermaksud menguak bagaimana proses pendidikan terkhusus pada pendidikan di Jepang. Harapanya pembaca setelah mengetahui dan memahami, akan mampu memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Demi membantu mewujudkan tujuan pembangunan bangsa dan negara. 

Pendidikan Jepang menarik untuk diulas dengan harapan dapat dijadikan model pendidikan Indonesia di masa mendatang. Hal ini karena, tidak lama setelah peristiwa bom atom di kota Nagasaki dan Hiroshima, Kaisar Jepang pada saat itu menyaksikan kehancuran negaranya. Ia bertanya kepada penasehatnya, “Berapa orang guru yang tersisa?”. Ini menunjukkan bahwa untuk keluar dari masalah yang paling rumit pun, pendidikan sangat utama. Saat ini, terbukti Jepang memiliki pendidikan yang kokoh untuk membangun dan mempertahankan pembangunan negaranya.

Sejarah Jepang dalam menangani krisis di negaranya dapat dijadikan contoh oleh Indonesia yang saat ini kualitas pendidikannya masih buruk. Mengapa kualitas pendidikan di Indonesia memprihatinkan? Mungkin banyak yang menjawab bahwa kondisi pendidikan di Indonesia sangat terpuruk karena Indonesia merupakan Negara yang terjajah dalam waktu yang cukup lama. Disusul dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia, bahkan ada sebagian yang menyalahkan guru. 

Problematika dunia pendidikan di Indonesia seakan tiada habisnya. Ibarat benang kusut, sejumlah permasalahan klasik masih saja melingkupi dunia pendidikan kita. Tidak hanya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan kualitas dan fasilitas, namun juga rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Analisis seperti itu tentunya tidak salah, akan tetapi mengkambing hitamkan penjajahan krisis, ekonomi, dan dan baru-baru ini Covid-19 yang melanda Indonesia sebagai determinan tidaklah tepat.

Apabila kita telaah lebih dalam, sebenarnya ada faktor lain yang lebih fudamental sebagai penyebab keterpurukan kita, ketidak-berhasilan pendidikan Indonesia dikarenakan pendidikan kita belum mampu menghasilkan kader-kader bangsa yang berkemauan tulus dan berkemampuan profesional maka Indonesia belum sanggup menyamai kualitas pendidikan di Negara maju.

Ketika kondisi pendidikan Indonesia yang sudah bagaikan penyakit kronis maka sulit untuk melakukan rekoveri. Indonesia dapat belajar dari Negara jiran seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang dan sebagainya ketika badai krisis menyerang bangsa mereka, mereka tetaplah perkasa, mengapa? karena mereka memiliki generasi yang tangguh untuk melawan badai tersebut, ketangguhan merupakan dampak positif dari pelaksanaan pendidikan suatu bangsa, seandainya kita mempunyai generasi yang tangguh pula dan peduli terhadap pendidikan Insya Allah Indonesia akan mampu membangun masa depan pendidikan yang mumpuni.

Diperlukan formulasi baru untuk membangun kualitas pendidikan di Indonesia. Apalagi dengan perubahan yang kini berlangsung di Indonesia telah menempatkan Indonesia berada dalam posisi yang strategis. Fenomena ini dalam konteks sejarah dunia merupakan sebuah keniscayaan dalam perubahan-perubahan besar.

Sejarah Indonesia pun demikian, inisiatif dan kreativitas dari berbagai lapisan Masyarakat merupakan kekuatan utama bagi upaya untuk membangun Indonesia menuju Indonesia yang baru, khususnya dalam bidang pendidikan. Salah satu terobosan yang dapat dilakukan adalah mereformasi guru. Pemerintah Indonesia sangat berpeluang untuk meregulasi sistem pendidikan guru baik dari segi isi, misi maupun dari kelembagaan, karena guru merupakan pilar pendidikan menyongsong revolusi industri 4.0. Guru juga merupakan komunikator yang harus mampu menyampaikan sesuatu secara efektif dan efisien kepada orang lain, khususnya kepada para peserta didik.

Lembaga pendidikan guru harus dikelola secara mandiri yang terbebas dari kepentingan-kepentingan politik, karena keberadaan lembaga“lembaga pendidikan saat ini nampaknya tidak bisa diharapkan mampu menghasilkan guru-guru yang ideal, disamping sistem pembelajaran kurang mencerminkan sebagai lembaga yang akan menyiapkan calon calon guru, juga diperparah dengan sistem seleksi para calon mahasiswa yang tidak lagi mempertimbangkan aspek minat, bakat dan komitmen menjadi guru, lembaga-lembaga pendidikan terdahulu sudah terbukti menghasilkan para lulusan yang memiliki dedikasi dan loyalitas tinggi terhadap peningkatan mutu pendididikan, akan tetapi populasi mereka sudah semakin langka bahkan nyaris habis ditelan waktu. 

Jika lembaga tersebut mampu melahirkan gagasan-gagasan baru tentang format Pendidikan Baru, maka tidak akan mustahil kejayaan Indonesia akan kembali ketempo dahulu dalam menyiapkan guru yang ideal di bumi pertiwi. Lembaga ini selain berfungsi sebagai lembaga yang akan mencetak para guru yang ideal, juga dapat menjadi model bagi negara lain dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Guru juga harus menjadi profesi yang bergengsi di masa mendatang. Untuk menjadi seorang guru, tidak boleh hanya mengandalkan tes IQ seperti yang selama ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Menurut Gardner seorang profesor ilmu syaraf (neurology) dari Universitas Hardvard (1984), kecerdasan itu tidak hanya diartikan sebagai IQ semata seperti yang sering difahami kebanyakan orang, namun kecerdasan itu menyangkut kemampuan seseorang untuk memecahkan dan menyelesaikan masalah serta menghasilkan produk atau ide yang merupakan konsekuensi dalam suasana budaya atau masyarakat tertentu (Anam, 2021). 

Hal ini karena kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain (Suparlan, 2024). 

Munif (2009) menjelaskan bahwa sumber kecerdasan seseorang adalah kebiasaannya untuk membuat produk-produk baru yang punya nilai budaya (kreativitas) dan kebiasaannya menyelesaikan masalah-masalah secara mandiri (problem solving). Gardner telah menetapkan delapan kecerdasan, yaitu: verbal-linguistik, logismatematis, visual-spasial, kinestetik-jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal dan naturalis. Kemudian ia juga mengusulkan kecerdasan yang kesembilan dan diberi nama kecerdasan eksistensial atau bisa disebut juga kecerdasan inklusi. 

Multiple intelligence yang mencakup delapan kecerdasan itu padadasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal memasuki lembaga pendidikan (7-8 tahun).

Dengan demikian, untuk pendidikan Indonesia ke depan, para guru diseleksi berdasarkan multiple intelligence agar pendidikan Indonesia lebih berkualitas. Akan tetapi, agar tidak ada guru yang merasa dirugikan karena perubahan regulasi yang mengutamakan kualitas, maka harus ada reward yang berkelanjutan dari pemerintah. Besaran gaji dan tunjangan guru lebih ditingkatkan lagi dari yang sudah ada sebelumnya, agar masyarakat tertarik menjadi guru professional karena menjadi setara atau mendekati setara dengan jenis profesi lainnya seperti dokter, akuntan, pilot, dan lain sebagainya.

Indonesia baru adalah sebuah cita-cita yang ingin dibangun dari pengalaman masa lalu yang pahit akibat Covid-19 dan korupsi yang besar yang melanda indonesia, yang bertemu dengan kenangan masa lalu yang gemilang. Dengan demikian, Indonesia baru bukan sekedar angan-angan, melainkan sebuah refleksi atas sejarah dan sekaligus sebuah proyeksi tentang masa depan Indonesia. Dan Indonesia baru sebagai sebuah gagasan adalah cerminan kuat sikap optimis masyarakat Indonesia untuk mewujudkan Masa depan yang gemilang, adil dan damai. Gagasan-gagasan tentang Indonesia Baru yang terkandung dalam skenario ini bukanlah sebuah keabsolutan, melainkan sebuah ancang-ancang yang dapat dijadikan navigasi yang mengorientasikan arah pengembangan masyarakat Indonesia baru. Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru membutuhkan inisiatif dan kreativitas semua pihak, baik mereka yang ada di Indonesia maupun yang berada diluar Indonesia.


Penulis 

Dr. Iswadi, M.Pd.

Doktor Manajemen Pendidikan dan Dosen Tetap Universitas Esa Unggul Jakarta


Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda