Beranda / Opini / Politik Harapan, Etika Kepedulian, dan Presiden Baru

Politik Harapan, Etika Kepedulian, dan Presiden Baru

Rabu, 24 April 2024 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
TM Jafar Sulaiman
TM Jafar Sulaiman. [Foto: Net]

DIALEKSIS.COM | Opini - Politik harapan dalam makna hakikatnya adalah sebuah visi politik yang ditopang oleh keyakinan yang kuat bahwa masa depan dapat lebih baik dan karenanya sebagai individu maupun komunitas, manusia mempunyai sebuah kekuatan untuk mengubah sesuatu dan melakukan atau membuat perubahan revolusioner itu sekarang. 

Politik harapan pada dasarnya adalah juga sebuah kekuatan yang bisa menjadi mesin penggerak bagi terwujudnya perubahan-perubahan sosial. Politik harapan memampukan individu dan kelompok untuk memulai upaya mencapai sebuah tujuan yang barangkali tingkat keberhasilannya masih jauh dari kepastian. Setidaknya, ia memberikan kita keteguhan hati dalam menghadapi pesimisme atau kemunduran yang bisa membuat kita kehilangan semangat kepada sebuah semangat baru yang bisa dibawa oleh sosok-sosok baru.

Tantangan kita saat ini adalah semua realitas itu berada dititik nadir. Jika melihat semua tingkah polah para elit politik dari segala penjuru negeri, aktifitas politik para politisi kembali menjadi sesuatu yang paling sulit dipercaya, terutama pada harapan untuk bisa membawa perubahan-perubahan revolusioner, terutama bagi kesejahteraan rakyat. 

Kondisi ini harus dibaca sebagai sebuah pekerjaan rumah besar bagi presiden baru bahwa keberadaan presiden baru ini harus merubah kekecewaan dan apatisme tersebut menjadi sebuah harapan baru, bahwa dengan eksistensi anda bisa bekerja dengan penuh tanggung jawab bahwa, dalam periode lima tahun kedepan akan membuat “politik bisa menjadi harapan”, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Politik yang ditampilkan oleh para politisi kita selama ini, lebih merupakan kerja atau aktivitas rutin saja dan bukan tindakan. Karena itu dalam eksistensi para politisi baru (wajah baru maupun wajah lama) ini, maka yang harus dilakukan bukanlah kerja-kerja rutinitas seperti biasa atau kerja-kerja seperti yang dilakukan pada periode sebelumnya, tetapi sebuah tindakan-tindakan yang benar-benar revolusioner.  

Narasi ini seperti digambarkan Hannah Arendt, seorang filsuf yang berbicara banyak tentang “politik harapan”. Merujuk pada gagasan Arendt (Prophet for Our Time) politik dimaknai sebagai tindakan, bukan sebagai kerja ataupun karya. Kerja adalah aktivitas yang sesuai dengan alam, semata-mata mempertahankan kehidupan, sedangkan karya adalah aktivitas manusia di dunia untuk menghasilkan benda-benda dan perubahan yang bisa berwujud pada kesejahteraan.

Tentu aktifitas ini adalah tindakan yang berbeda dari rutinitas . Tindakan dijalankan dengan kata-kata dan perbuatan, karena bentuk nyata dari kerja politik adalah realisasi kata-kata kesejahteraan kepada wujud kesejahteraan yang lansung bisa di nikmati rakyat. 

Selalu memainkan narasi keberpihakan pada rakyat untuk sebuah keuntungan politik golongan dan kelompok adalah dosa besar yang tidak bisa dimaafkan dan para politisi yang seperti ini akan lansung terhukum dan tidak akan terpilih lagi pada periode-periode berikutnya. Di point terakhir inilah eksistensi para politisi baru bisa mempraktekkan politik sebagai sebuah harapan.

Presiden Baru dan Etika Kepedulian

Etika kepedulian (ethics of care) dicetuskan oleh Carol Giiligan, yang mengkritik etika Immanuel Kant dan pasca Kant. Etika kepedulian ini adalah sesuatu yang sangat mendesak bagi Indonesia, dan presiden baru adalah elemen yang sangat cocok untuk mempraktekkan etika kepedulian ini. Etika kepedulian merupakan moral tertinggi bagi seorang presiden baru. Etika ini penting untuk dijadikan indikator menilai tindakan presiden baru Indonesia.

Pertanyaan penting dalam etika adalah, apa yang memotivasi seseorang untuk bertindak?. dalam kaitannya dengan presiden baru, maka pertanyaan yang dapat ditanyakan adalah apa yang memotivasi presiden baru bertindak?. Jika yang memotivasi nya adalah untuk kepentingan diri sendiri, maka ini adalah etika anak kecil (bayi) bahwa bagi bayi yang baik adalah yang memberi nikmat, yang tidak baik adalah yang tidak memberi nikmat, mereka hanya bertindak berdasarkan apa yang bisa menyenangkan mereka saja dan tidak mau bertindak jika tidak menguntungkan mereka.

Tahapan berikutnya adalah tahapan yang mulai melihat kepentingan sendiri yang berhadapan dengan kepentingan orang lain, bahwa ada kepentingan orang lain dibalik tindakan saya. Artinya, presiden baru akan mempraktekkan win-win solution, tetapi tahapan ini belumlah disebut etika (moral), tapi hanya pertimbangan kepentingan saja.

Tahap berikutnya adalah : yang baik tidak lagi yang memberi nikmat, tetapi apabila dipuji, bertindak hanya jika dipuji, artinya presiden baru akan bertindak apabila diminta (tanpa inisiatif bertindak dari diri sendiri).

Tahapan paling tinggi dan paling penting bagi presiden baru adalah bertindak berdasarkan prinsip-prinsip etis, yang menjadi asas utama disini adalah keadilan. presiden baru akan melakukan segala sesuatu tindakan berdasarkan prinsip keadilan, melakukan apa yang benar, bukan apa yang menguntungkan atau pada apa yang menyenangkan dan bukan berdasarkan untuk dipuji, bukan lagi sesuai dengan kepentingan presiden baru. Tindakan ini akan bisa dilakukan apabila membuka mata untuk melihat realitas secara adil dan positif. 

Inilah tahapan etika yang disebut etika kepedulian, peduli pada realitas dan melakukan tindakan revolusioner berdasarkan prinsip kebaikan, kebaikan disini adalah sesuatu yang berdampak luas, seperti kesejahteraan dan kemakmuran. Dalam kerja presiden baru, kita akan dapat melihat tindakan mereka berdasarkan tingkatan etika diatas, ini sangat penting sebagai sebuah “alat kontrol”.

Selamat bekerja, “amanah rakyat adalah tanggung jawab moral, yang harus diwujudkan dengan tewujudnya kesejahteraan rakyat, bukan basa basi". [**]

Penulis:  T. Muhammad Jafar Sulaiman, SHi, MA (PhiloSufi Institute)
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda