Beranda / Kolom / Makmeugang; Tradisi Bansos ala Sultan Aceh

Makmeugang; Tradisi Bansos ala Sultan Aceh

Sabtu, 15 Juni 2024 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Teuku Alfin Aulia
Warga berburu daging di hari meugang. Foto: net

DIALEKSIS.COM | Kolom - Kata Makmeugang atau disebut juga meugang merupakan kata yang tidak asing di kalangan masyarakat Aceh. Makmeugang merupakan tradisi memasak daging dengan berbagai olahan tertentu dan kemudian dinikmati bersama dengan kelurga, banyak ragam masakan yang diolah menggunakan bahan daging pada suasana meugang, makmeugang diawali dengan pemotongan sapi, kerbau ataupun kambing, sebagian masyarakat juga ada yang membeli daging untuk mengolah dalam memenuhi tradisi makmeugang ini. 

Tradisi makmeugang telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Aceh. Tradisi ini dilaksanakan menjelang ramadhan dan hari-hari besar Islam lainnya. Setiap warga Aceh, di mana pun mereka berada, selalu merayakan Makmeugang. 

Salah satu ciri khas dari Makmeugang adalah kehadiran pasar daging di pusat keramaian masyarakat. Pasar daging ini menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh masyarakat untuk membeli daging segar dan berbagai bahan makanan lainnya.

Makmeugang menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Aceh untuk mempersiapkan kebutuhan makanan selama Ramadhan dan hari-hari besar Islam lainnya.

Tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-17, pada awalnya tradisi ini merupakan program tahunan yg dilaksanakan oleh negara kala itu. Negara mengambil peran penuh dalam menyembelih dan membagi daging meugang kepada masyarakat kurang mampu. Negara juga membagikan sembako dan kain kepada mereka yang membutuhkan, hal ini diamanatkan secara rinci didalam undang-undang tinggi kesultanan Aceh Darussalam, Qanun Meukuta Alam Al Asyi.

Pelaksanaan bantuan sosial (BanSos) ala Sultan Aceh Ini, dilakukan dan didata secara berjenjang mulai dari setiap gampong (desa) hingga kemudian setiap data dikumpulkan secara berjenjang dihadapan Qadhi Mu'adzam di Ibukota, sesuai dengan Amanat Qanun Meukuta Alam. Setelah itu bantuan sosial ini didistribusikan secara langsung oleh negara melalui para Uleebalang disetiap daerah masing-masing mendekati perayaan hari-hari besar Islam.

Qanun Meukuta Alam mengamanatkan program bantuan sosial Ini diperuntukkan bagi fakir miskin, para janda, dan orang yang sudah udzur serta lanjut usia, setiap orang akan mendapatkan daging seharga 1 dirham Aceh, atau senilai Rp.650,000 jika dihitung dengan nilai emas saat ini, ditambah dengan bantuan uang tunai sebesar 5 dirham Aceh atau setara dengan Rp.3,250,000 bila dihitung dengan nilai inflasi saat ini. Tidak cukup dengan itu sana, pemerintah juga membagikan kain sebagai salah satu barang berharga bagi masyarakat kala itu, masing-masing mendapatkan kain sepanjang 6 hasta atau 3.2 meter.

Jumlah bantuan sosial tersebut dinilai sangat mampu membantu kebutuhan masyarakat yang kurang mampu ketimbang pola bansos yang saat ini dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Pemberian bantuan sosial dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun, dua hari sebelum ramadhan, dua hari menjelang Aidul Fitri, dan dua hari sebelum perayaan kurban, pemilihan hari-hari tersebut sangatlah tepat karena bertepatan dengan momentum-momentum yang membuat pasar menjadi sangat konsumtif, sehingga peredaran uang dapat berlangsung dengan baik. 

Jika dikalkulasikan keseluruhannya maka setiap tahunnya penerima bansos mendapatkan bantuan sebesar Rp.11,700,000 dari negara, hal ini lebih besar dari besaran maksimal penerimaan bansos yang diberikan pemerintah Indonesia setiap tahunnya yang hanya mencapai batas nominal tertinggi Rp. 3,000,000. Penyaluran Bansos Ini kemudian dilakukan secara teratur oleh setiap gampong (desa), dan diawasi secara langsung oleh mukim dan pejabat terkait, agar tak diselewengkan dan salah sasaran.

Program bantuan sosial (bansos) ini terus berlangsung secara turun temurun sebagai program tahunan negara Hingga kemudian berlangsungnya perang Aceh ditahun 1873 dan berakhirnya kekuasaan Sultan ditahun 1903.

Sejak saat itu tradisi yg sudah mengakar ini tetap terus dilaksanakan meski tak lagi diemban oleh negara seperti sediakalanya. Pola culture Masyarakat yang sejak awalnya menyambut kedatangan hari madmeugang dengan antusias dan gembira membuat tradisi ini terus dipelihara hingga saat ini meski sudah jauh dari esensi tujuan sebelumnya. 

Pada awalnya hari Makmeugang tak hanya familiar dengan daging saja, namun dalam perubahan esensi dan penyesuaian kondisi, tradisi madmeugang kemudian hanya dikenal dengan kehadiran pasar daging diberbagai tempat keramaian, antusiasme masyarakat dalam membeli daging pada hari tersebut juga tinggi meskipun harga daging dihari madmeugang lebih tinggi dari harga biasanya.

Jika pada awalnya keberadaan tradisi Makmeugang ditujukan dan dinikmati oleh kalangan bawah yang terpinggirkan, serta mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan, kini rasanya tradisi ini semakin sulit dinikmati oleh masyarakat golongan bawah. Kehadiran madmeugang sebagai salah satu program bantuan sosial negara yang menyetarakan si kaya dan si miskin di hari-hari besar tersebut, kini mengerucut dan mulai tergerus nilai kesakralannya sedikit demi sedikit, serta hanya sedikit sekali dapat dinikmati oleh mereka yang berada dibawah garis kemiskinan.

Harga daging yg melonjak tinggi terutama di hari-hari meugang semakin membuat polarisasi sosial diantara masyarakat yang mampu dan kurang mampu. Selama periode Makmeugang, harga daging nyaris melonjak mencapai harga tertingginya pertahunnya. Hal ini terjadi karena permintaan yang tinggi dihari tersebut kini semakin tak sebanding dengan ketersediaan stok sapi yang terbatas. Dalam kondisi seperti ini, peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam menjaga ketersediaan stok sapi dan menekan harga daging yg melonjak tinggi setiap momentum megang.

Pemerintah Aceh dengan segala Kekhususannya harusnya kembali berupaya menjaga tradisi madmeugang ini dengan menjaga stabilitas harga bahkan turut memberikan insentif serupa dengan apa yang telah dijalankan sebelumnya oleh para sultan Aceh, sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Qanun Meukuta Alam.

Penulis sangat yakin pemberian bansos ala Sultan Aceh ini sangat dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat kurang mampu, bahkan juga turut berdampak bagi perkembangan roda ekonomi masyarakat secara menyeluruh.***

Penulis: Teuku Alfin Aulia [mahasiswa prodi IAT FUF UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Juga Selaku founder Halaqah Aneuk Bangsa sebuah forum yang bergerak di bidang sosial dan kemasyarakatan]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda