Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Ketika Bea dan Cukai Dikuliti Publik

Ketika Bea dan Cukai Dikuliti Publik

Kamis, 02 Mei 2024 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
Ilustrasi bea cukai. [Foto: finansialku.com]

DIALEKSIS.COM  | Indepth - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) “dirujak” publik. Kritikan tidak berhenti, Pertiwi dihebohkan soal pajak, akhirnya Menteri Keuangan Sri Mulyani turun tangan untuk menanggapi kritik tersebut.

Publik “merujak” bea dan cukai. Kasus barang alat belajar untuk siswa tunanetra misalnya yang dikirim hibah dari Korea, pihak bea cukai menagih ratusan juta. SLB-A Pembina tingkat nasional keberatan dan membiarkan benda tersebut ditahan bea cukai.

Demikian dengan kasus sepatu yang dibeli dengan harga Rp 10 juta, namun pajaknya tiga kali lipat, mencapai Rp 32 juta. Belum lagi kasus celana dalam yang dibawa salah seorang TKW, harus bayar pajak mencapai Rp 800 juta.

Muncul pemberitaan hangat kasus pemerasan di Bea Cukai dan soal gratifikasi di bea cukai. Mental aparat pajak ini mendapat sorotan. Dit engah hingar bingarnya kasus ini, Menteri Keuangan Srimulyani turun tangan.

Mengapa publik “merujak”, mengaduk-aduk bea cukai, apa harapan publik pada abdi negara ini agar pelayanan semakin baik? Bagaimana dugaan korupsi dan pemerasan di bea cukai. Apa jawaban pihak bea cukai atas tudingan masyarakat?

Bagaimana sikap DPR RI yang akan memanggil pihak bea cukai, apakah dinas ini akan dikuliti dewan? Dialeksis.com merangkum semua hinggar bingar itu dalam sebuah tulisan mendalam.

Membahas kasus bea cukai untuk saat ini muaranya satu soal uang. Masyarakat merasa sangat diberatkan atas “ketentuan” yang diterapkan pihak bea cukai. Bahkan dana hibah untuk alat tunanetra ikut “ditekan”.

Hibah tersebut berupa alat belajar dari Korea Selatan untuk Sekolah Luar Biasa (SLB) sejak Desember 2022. Dua tahun tertahan di bea cukai. Meskipun alat belajar tersebut berupa 20 unit keyboard braille untuk penyandang tunanetra dan dibebaskan dari pajak masuk, namun baru bisa dilepaskan setelah adanya desakan dari warganet.

Menteri Keuangan Sri Mulyani ahirnya turun tangan membebaskan biaya pajak alat peraga untuk tuna netra ini yang dihibahkan dari Korea. Sri Mulyani beragumen karena itu hibah tidak dikenakan pajak, apakah petugas bea cukai tidak tahu soal ini, bahkan menerapkan pajak mencapai ratusan juta yang membuat pihak penerima konflin?

Apakah harus Menteri Keuangan yang harus menyelesaikan, ataukah ada permainan yang sudah mengental di sini, sehingga petugas pajak bea cukai dengan “sukarela” menetapkan nilai pajak terhadap barang yang dibawa dari luar negeri?

Dirjen Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, Askolani menjelaskan kronologi tertahannya barang hibah untuk SLB tersebut selama hampir dua tahun. Menurutnya, saat pertama kali keyboard tersebut tiba di Indonesia melalui fasilitas Perusahaan Jasa Titip (PJT) DHL Express memiliki status sebagai barang kiriman pada umumnya.

Askolani mengaku pihaknya tidak pernah diinfokan bahwa keyboard braille asal Korea Selatan itu sebagai barang hibah untuk kebutuhan pendidikan di SLB kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Alhasil, selama hampir dua tahun, keyboard braille hibah itu mandek di gudang DHL tanpa proses lebih lanjut oleh importir karena terkait dengan pajak bea masuk yang dikenakan Bea Cukai.

"Masuk ke kita [sistem] sebagai barang kiriman, sehingga kemudian kita kasih sesuai barang kiriman ada pentarifan yang juga ditetapkan. Kita hitung," ujar Askolani di DHL Express Service Point di kawasan Bandara Soekarno-Hatta, Senin (29/4/2024) dalam keteranganya kepada media.

Kemudian, pada 2023, Askolani mengatakan bahwa komunikasi ihwal dokumentasi hanya terjadi antara importir dengan pihak DHL. Sementara Bea Cukai, baru mengetahui bahwa barang tersebut sebagai barang hibah dari kabar yang viral di media sosial pada April 2024.

"Dari situ kemudian kami cek dengan DHL, dan SLB, rupanya baru terbuka bahwa barang itu bukan barang kiriman, tapi barang hibah," jelasnya. Setelah mengetahui status barang tersebut sebagai hibah, Bea Cukai kemudian melakukan koordinasi dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk memastikan adanya kegiatan mengajar Braille di SLB tersebut.

Adapun SLB yang dimaksud adalah SLB - A Pembina Tingkat Nasional Jakarta. Askolani menjelaskan, barang hibah untuk kepentingan sosial dan pendidikan tidak dikenakan bea masuk maupun pajak.

Sementara itu, persoalan sepatu bola impor yang dikenakan pembayaran bea masuk hingga Rp 31 juta telah selesai. Askolani menjelaskan, importir atau pemilik sepatu telah mengakui nilai asli dari harga sepatu tersebut dan telah memenuhi kewajibannya. Mulanya, nilai barang itu dilaporkan oleh perusahaan jasa titipan (PJT), DHL sebesar 35,37 dollar AS atau Rp 562.736.

Namun, setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen, akhirnya diketahui nilai sebenarnya 553,61 dollar AS atau Rp 8,81 juta.

"Harga yang disampaikan tidak sesuai dengan data yang kami terima, yang bisa kami akses dari internasional, yang kemudian di recek juga oleh DHL," ujar Askolani dalam konferensi pers di Kantor DHL Express Indonesia, Tangerang, Senin (29/4/2024).

"Sehingga untuk sepatu kita koreksi nilainya, dan terbukti, dari disampaikan hanya Rp 500.000-anu ternyata harganya adalah Rp 8,8 juta," lanjutnya. Lantaran adanya indikasi praktik under invoicing, pihak Bea Cukai pun menetapkan nilai bea masuk dan pajak impor sesuai valuasi terbaru, beserta dengan dendanya.

Adapun total tagihan yang dikenakan menjadi sebesar Rp 30,93 juta. Terdiri dari bea masuk 30 persen sebesar Rp 2,64 juta, PPN 11 persen Rp 1,26 juta, PPh impor 20 persen Rp 2,29 juta, serta denda administrasi Rp 24,74 juta.

Menurut Askolani, pengenaan biaya tersebut sudah melalui proses yang transparan dan akuntabel. Pihak importir pun sudah mengakui nilai asli dari sepatu bola impor tersebut, sehingga persoalan ini sudah diselesaikan.

"Kita transparan dan akuntebal, kita tunjukkan dan kita koreksi, sehingga kemudian importir mengakui dan alhamdullilah memenuhi kewajibannya. Maka soal sepatu sudah selesai, kita fasilitasi dan layani," jelas dia.

Kritikan

Apa yang terjadi di bea cukai sehingga membuat kritikan viral, kiranya menjadi bahan renungan untuk perbaikan, kritikan itu adalah bumbu penyebab untuk membawa perubahan dalam sebuah tatanan, agar ke depannya semakin baik.

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah dalam keteranganya seperti dilansir CNN Indonesia, mengatakan kasus-kasus tersebut terjadi karena banyak oknum Bea dan Cukai yang nakal. Mereka, menurut Trubus, memanfaatkan kelemahan aturan demi mendapatkan keuntungan pribadi.

"Misalnya Bea Cukai sering melihat barang ini mewah, sebenarnya jumlahnya tak seberapa tapi dia kemudian masukkan itu sebagai barang yang harus kena pajak tinggi. Jadi seperti menakut-nakuti sebenarnya kepada pemilik barang," katanya kepada Senin (29/4).

Trubus mengatakan banyaknya oknum nakal di DJBC tak terlepas dari lemahnya pengawasan internal di dalam lembaga itu sendiri. Menurutnya, pengawasan terhadap pegawai DJBC sulit ditegakkan karena dilakukan secara internal.

"Bea Cukai pengawasannya ya ada di internal dia sendiri. Itu lah jadi masalah kan, karena enggak mungkin jeruk minum jeruk," katanya.

Karena itu, Trubus menyarankan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk bertindak tegas kepada DJBC sehingga benar-benar melakukan pelayanan dengan baik.

Selain itu, ia menilai instansi lain perlu dilibatkan seperti Kementerian Perdagangan dalam mengawasi masuk dan keluarnya barang dari dan ke luar negeri.

Kendati demikian, Trubus menilai masalah tidak hanya terjadi karena DJBC sendiri. Menurutnya, banyak importir yang bermain dengan mekanisme self assessment di mana mereka tidak menyampaikan harga barang tidak sesuai.

"Skemanya harus dibuat lebih transparan lagi. Ini masalahnya lemahnya penegakan aturan," katanya.

Selain itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan keluhan masyarakat yang viral belakangan hanya puncak gunung es dari dari berbagai kekurangan Bea Cukai dalam memberikan pelayanan selama ini.

Bagi pemerintah terutama Kemenkeu, sambungnya, munculnya keluhan-keluhan tentu harus dijadikan sebagai momen pembenahan, baik secara internal maupun secara pelayanan. Pasalnya, pelayanan yang kurang baik adalah gambaran dari kondisi internal yang juga kurang baik.

Ronny mengatakan tata kelola atau governance dari Bea Cukai merupakan kunci utama sebelum melakukan perbaikan pelayanan. Kemenkeu harus mengidentifikasi akar masalah dalam memasukkan nilai pengenaan bea cukai yang kurang tepat.

"Apakah karena human error, kesengajaan, atau karena memang aparat Bea Cukai yang kerja secara asal-asalan," katanya.

Karena bagaimanapun, sambung Ronny, Bea Cukai adalah salah satu ujung tombak Indonesia dalam perdagangan dan pergerakan barang lintas batas. Imbasnya jika pelayanan Bea Cukai tidak beres maka berdampak buruk bagi perdagangan internasional atau impor Indonesia.

Oleh sebab itu, pengawasan kinerja harus diperbaiki, standar etika kinerja harus ditingkatkan, dan partisipasi publik dalam mengawasi kinerja DJBC harus dipermudah.

"Sehingga Bea Cukai tidak perlu menunggu viral di media sosial terlebih dahulu untuk mendapatkan feed back," katanya.

Untuk memperbaiki kondisi internal DJBC, Ronny mengatakan tidak menutup kemungkinan perlu dilakukan pergantian pucuk pimpinan dengan mendudukkan sosok yang lebih mampu melakukan reformasi birokrasi di tubuh institusi tersebut.

Menurut Ronny seperti dilansir CNN Indonesia, saat ini adalah waktu tepat bagi Kemenkeu untuk membenahi Bea dan Cukai secara serus. Ini bisa menjadi salah satu ajang bagi Sri Mulyani untuk meninggalkan legasi reformasi birokrasi di Ditjen Bea Cukai," katanya.

DPR akan Panggil Bea Cukai

Viralnya pemberitaan soal kinerja bea cukai, membuat pihak yang duduk di Parlemen tidak tinggal diam dan berencana akan memanggil pihak bea cukai agar persoalanya jelas dan adanya penataan yang lebih baik ke depannya.

Anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad, seperti dilansir Tirto.id, mengatakan, pelayanan Bea Cukai memang harus segera dievaluasi. Khususnya dalam penetapan bea masuk terhadap barang tertentu seperti peralatan sekolah atau jenis aksesoris lainnya.

Bahkan, lanjut dia, jika diperlukan DPR dapat menjadwalkan untuk memanggil Sri Mulyani dan Dirjen BC dalam perkara ini. Sebab kasus ini telah menciptakan keresahan di lapangan masyarakat dalam penetapan bea masuk barang tertentu.

“[Ini perlu] agar publik dapat mengetahui dasar perhitungan penetapan yang diberikan kepada masyarakat,” ujar Kamrussamad, kepada Tirto, Senin (29/4/2024).

Anggota Fraksi Gerindra itu mengatakan, penerapan self assessment sejak Oktober 2023, di mana masyarakat diberikan kesempatan untuk mengungkap harga barang untuk mendapatkan nilai bea masuk menjadi akar masalah dari kebijakan Bea Cukai.

“ Karena jika ditemukan harga under value, maka dikenakan denda 1.000 persen sesuai PMK Tahun 1996. Ini menjadi penyebab dari kasus yang viral belakangan ini,” ujar dia.

Anggota dewan lainya dari Komisi XI DPR RI, Masinton Pasaribu, menambahkan, Bea Cukai seharusnya memang tidak membaca aturan dan menerapkannya dengan menggunakan kacamata kuda. Terlebih, ada beberapa kejadian seperti pekerja migran Indonesia bekerja di luar negeri hendak berkirim barang kepada keluarganya, malah barangnya tertahan dan dipersulit proses pengurusannya di Bea Cukai.

“Padahal barang-barang tersebut bukan kategori barang yang hendak diperjualbelikan di Indonesia,” jelasnya. Politikus PDIP itu memahami, banyak WNI yang baru pulang dari luar negeri mengeluhkan sistem pelayanan Bea Cukai di berbagai bandara.

“Salah satunya sering dikenakan tarif bea masuk dan sanksi denda barang-barang pribadi bawaan WNI dari luar negeri. Padahal kalau ditotal presentasi penerimaan negara secara keseluruhan dari barang bawaan penumpang pesawat, persentasenya kecil. Dan itu sangat membuat masyarakat mengalami kesulitan sekembalinya ke Indonesia,” sebutnya.

“Lebih baik Bea Cukai fokus pada penerimaan negara dengan skala volume perdagangan besar antar negara. Bea Cukai harus mengevaluasi kembali sistem kerja, pengawasan,” tandas dia.

Pihak DPR RI akan memanggil Menteri Keuangan dan pihak Bea dan Cukai, apakah anggota parlemen ini akan serius “mengulik” apa sebenarnya yang terjadi di bea cukai, public menantinya. Jangan sempat viral dulu baru ditanggapi dan ada upaya perbaikan, namun public menginginkan ada keseriusan dalam pembenahan. [bg]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda